, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul teori dan konsep ilmu sosial, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu social dasar adalah salah satu mata kuliah softskill yang merupakan mata kuliah yang wajib diberikan di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Mata kuliah ini menitik beratkan pada usaha untuk mengembangkan kepribadian para mahasiswa, berbeda dengan mata kuliah bantu adalah yang bertujuan untuk menopang keahlian dalam disiplin ilmunya.
Mengenai Ilmu Sosial Dasar, disini penulis hanya akan membahas tentang "Teori dan Konsep Ilmu Sosial"
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Teori-Teori Ilmu Sosial?
2. Bagaimanakah Konsep Ilmu Sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Ilmu Sosial
1. Teori Interaksi simbolis (Menurut Noeng Muhadjirin dalan Tjipto .2009: 81)
Konsep interaksi simbolik bertolak pada tujuh posisi dasar, yaitu:
a. Bahwa perilaku manusia itu mempunyai .makna dibalik yang menggejala, sehingga diperlukan metoda untuk mengungkapkan perilaku yang terselubung.
b. Pemaknaan kemanusiaan manusia perlu dicari sumbernya pada interaksi sosial manusia. Manusia membangun lingkungannya, manusia membangun dunianya, dan kesemuanya dibangn berdasrkan simpati, dengan bentuk tertinggi mencintai sesama manusia dan mencintai Tuhan.
c. Bahwa masyarakat manusia itu merupakan proses yang berkembang holistik, tidak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga.
d. Perilaku manusia itu berlaku berdasarkan penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan dan tujuan, bukan di tujukan atas proses mekamik atau otomatik, perilaku manusia bertujuan dan tidak terduga.
e. Konsep mental manusia itu berkembang dialektik, mengakui adanya tesis, antithesis, dan sintesis, sifatnya idealitik bukan materialistik.
f. Perilaku manusia itu wajar, dan konstruktif kreatif, bukan elementer reaktif.
g. Perlu di gunakan metoda instrospeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna (Muhadjir, dalam Tjipto 2009: 82).
Dari perspektif simbolik, semua organisasi sosial terdiri dari para pelaku yang mengembangkan definisi tentang suatu situasi atau prspektif lewat proses interpretasi dan mereka bertindak dalam makna definisi tersebut.
2. Teori Etnografi (Menurut Bogdan Dan Bilken Dalam Tjipto .2009: 83)
a. dijelaskan bahwa kerangka kerja yang digunakan dalam melaksanakan studi antropologi adalah konsep tentang kebudayaan (the concept of culture). Usaha untuk mendiskripsikan budaya atau aspek budaya disebut (ethnography). Budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh seseorang dan digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman yang menghassilkan sesuatu (Spradly dalam Tjipto, 2009: 83).
b. Beberapa antropologi mendefinisikan kebudayaan sebagai “Pengetahuan perolehan yang digunakan orang untuk menafsirkan pengalaman dan membuahkan tingkahlaku” (Spradly dalam Tjipto, 2009: 83).
c. Peneliti Etnografi agar dapat mencapai tujuan perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
· Peneliti dituntut memiliki pengetahuan dan dedikasi yang tingi, sebab etnografi diperlukan pengamatan, interaksi dengan responden, atau anggota komunitas tertentu dalam waktu yang relative lama.
· Etnografi umumnya tidak tertarik dengan generalisasi seperti pada penelitian psikometrik, tetapi lebih tertarik untuk memotret kondisi apa adanya.
· Fokus etnografi adalah situasi nyata dan setting secra alamiah dimana orang beraktifitas dan berhubungan sosial dengan anggota masyarakat lainnya.
· Etnografi menempatkan pada perlunya koleksi dan interpretasi data dari hipotesis yang sudah diterapkan.
· Etnografi bergerak dari data dalam mencari hipotesis, bukan hipotesis mencari data.
Dari hipotesis yang dibangun peneliti, etnografi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Naturalistic Ecological Hypotheses (NEH) dan Qualitative Phenomenological Hypothesis (QHP). Naturalistic Ecological Hypothesis menyatakan bahwa konteks duania perilaku terjadi pada subjek yang diteliti, memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku subjek tersebut. Sedangakan dalam penelitian Qualitatif Phenomenological Hypothesis lebih mengkonsentrasikan etnografi dibnding dengan psikometrik, karena peneliti lebih percaya bahwa perilaku manusia tidak dapat dimengerti dengan lebih baik tanpa meleburkan diri bersama (incorporating) kedalam pengamatan persepsi subjek serta system kepercayaan diri mereks yang terlibat dalam penelitian.
3. Teori diskriptif (William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Menggambarkan apa-apa yang nyata-nyata terjadi dilapangan (memotret apa adanya). Artinya, semua kegiatan sosial yang terjadi di lapangan di gambarkan secara nyata. Misalnya seorang bocah membantu seorang nenek yang tua renta hendak menyeberang jalan. Sehingga apa yaang terjadi tersebut digambarkan dengan sebenar-benarnya, tanpa adanya rekayasa.
- Teori pre-skriptif (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Menggambarkan perubahan-perubahan untuk melakukan pembaharuan, koreksi dan perbaikan suatu proses teori dan fenomena tertentu.
5. Teori Normatif (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Pada dasarnya mempersoalkan peranan suatu kebijaksanaan/ perundang-undangan/ peraturan tertentu.
- Teori asumtif (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Lebih memusatkan perhatian pada usaha-usaha untuk memperbaiki suatu praktek dengan memahami hakekat suatu fenomena yang terjadi dalam lingkungannya.
- Teori instrumental (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Bermaksud untuk melakukan konseptualisasi mengenai cara-cara memperbaiki suatu teknis sehingga dapat dibuat sebagai sasaran yang lebih realistik (tools of analysis).
- Teori hubungan manusia (human relation theory) (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Menitik beratkan bahwa norma-norma sosial merupakan faktor kunci dalam menentukan sikap, perilaku dan tindakan seseorang terutama dalam lingkungan kerja.
- Teori pengambilan keputusan (decesion making theory) ( Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Lebih mengkonsentrasikan diri pada analisa proses pengambilan keputusan, apakah mempergunakan model statistik, model optimasi, model informasi, model simulasi, model liniar programming, model critical path scheduling, model inventory, model site location, ataukah model resources allocation, dan sebagainya (catatan : pada beberapa fakultas dan program training sudah merupakan mata pelajaran tersendiri).
10. Teori perilaku (behavior theory) (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Orientasi yang dikembangkan adalah efesiensi dan sasaran dengan cara mengintegrasikan komponen-komponen anggota organisasi, struktur dan prosesnya. Dengan kata lain teori perilaku lebih memahami pentingnya aspek dan faktor manusia sebagai alat utama untuk mencapai tujuan organisasi ( catatan : teori perilaku ini juga sudah merupakan mata kuliah tersendiri sebagai mata kuliah perilaku organisasi).
11. Teori sistem (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Merupakan suatu cara pendekatan yang memandang bahwa setiap fenomena mempunyai berbagai komponen yang saling berinteraksi satu sama lain agar dapat bertahan hidup (survival). Dalam sistem memiliki beberapa unsur sistem antara lain : unsur lingkungan, unsur masukan (input), unsur pengelola (konversi/throught put), unsur keluaran (out put/product), unsur efek atau unsur akibat (consequences), dan unsur umpan balik (feed back)
12. Teori kontingensi (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Sebagai perkembangan dari teori sistem yang dipersamakan dengan pendekatan situasional yang mengakui adanya dinamika dan kompleksitas antar hubungan (interaksi sosial).
13. Teori deskriptif eksplanatori (Menurut William L.Morrow, Stephen P.Robbin, Stephen K.Bailey, 1986)
Menjelaskan keaneka ragaman isi yang terkandung dalam fenomena lingkungan nyata (cenderung ke metode content analysis, discourse analysis, framing analysis).
14. Sosiologi adalah ilmu positip (Menurut August Comte)
Masyarakat. Ia menggunakan kata positip yang artinya empiris. Jadi sosiologi baginya adalah studi empiris tentang masyarakat. Menurut August Comte, obyek studi dari sosiologi adalah tentang masyarakat, ada dua unsure yaitu struktur masyarakat yang disebut statika sosial dan proses-proses sosial di dalam masyarakat yang disebut dinamika sosial.
15. Teori StrukturalFungsional (Konstruksionisme) (Menurut Talcott Parson)
Teori ini menjelaskan tingkah laku manusia berdasarkan suatu sistem sosial yang terbentuk oleh jaringan hubungan berbagai fungsi yang ada dalam suatu masyarakat, yaitu fungsi-fungsi seperti : peran, status, pendapatan, pekerjaan dll. Hubungan antara fungsi-fungsi sosial tersebut dianggap sama dengan hubungan antara fungsi-fungsi biologis dalam suatu organisme.
16. Teori StrukturalHistoris (Menurut Max Weber)
Dimana tingkah laku manusia seakan-akan ditentukan hanya oleh pranata ekonomi dengan tekanan khusus, padahal kenyataannya bahwa tingkah laku manusia berhubungan langsung dengan hubungan produksi yang melibatkannya.
17. Teori StrukturalHistoris (Menurut Hegel)
Dengan demikian orang-orang yang mempunyai akses terhadap faktor-faktor produksi akan mempunyai bentuk tingkah laku yang berbeda dari mereka yang tidak memiliki akses tersebut.
18. Teori StrukturalHistoris (Menurut Karl Marx)
Relasi produksi tersebut menimbulkan klas-klas sosial dalam masyarakat, dan tingkah laku sosial sebetulnya tidak lebih dari masalah yang muncul dari pertarungan antar kelas.
19. Teori StrukturalA-Historis (Menurut Levi Strauss)
Teori ini beranggapan bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh beberapa struktur apriori yang asal-usulnya tidak dapat dijelaskan oleh perkembangan sejarah, bahkan sebaliknya sejarah dibentuk oleh watak struktur-struktur tersebut.
20. Teori Fenomenologi(Menurut Muhadjir, Dalam Tjipto 2009: 68)
Pendekatan fenomenologi mengakuai adanya kebenaran empiric etik yang memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelasskan serta berargumentasi. Akal budi ini mengandung makna bahwa kita perlu menggunakan criteria lebih tinggi lagi dari sekedar true or false.
B. Konsep Ilmu Sosial
Kita tidak dapat membayangkan jika kehidupan manusia tidak berada dalam masyarakat (sosial). Karena manusia adalah makhluk sosial, mereka tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia membutuhkan orang lain untuk bisa bertahan hidup (survive). Kesalingketergantungan itu akan menjadikan suatu kerja sama yang bersifat tetap dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu.
Secara keilmuan, terdapat banyak teori tentang masyarakat maupun sosial. Sebelum lahirnya teori-teori sosial raksasa, seperti Thomas Hobbes (yang dikenal dengan teori individualisme instrumental dengan diktumnya homo homini lupus), Adam Smith yang dikenal teori sistem sosial dengan invisible hand-nya tentang system yang terintegrasi, Karl Marx yang dikenal dengan teori konflik dan kekuasaan, Durkheim yang dikenal dengan teori struktur dan fungsi, Max Weber yang dikenal dengan teori tindakan sosial dan birokrasi rasional, serta Alfred Schutz yang dikenal dengan pendekatan fenomenologisnya(Campbell, 1994:61-231).
Mereka semua telah memberikan kontribusi yang bermakna dalam memahami, apa itu manusia dan apa itu masyarakat manusia? Karena hingga sekarang tidak ada teori sosial yang disetujui bersama.
Konsep kita mengenai social (masyarakat) pun mendasar bagi pemahaman diri kita sendiri. Dengan kata-kata Aristoteles, manusia adalah seekor hewan sosial, yakni bahwa ia tidak bisa hidup terus di luar sebuah kelompok sosial, tetapi apakah kita tergantung pada masyarakat kita hanya sebagai dukungan dari luar untuk pemeliharaan kehidupan pribadi kita, ataukah kita tidak memiliki kehidupan lepas dari hubungan-hubungan social kita? Bagaimana kita menjawab pertanyaan tersebut tidak lepas dari gambaran yang kita miliki tentang masyarakatatau sosial(Campbell, 1994:7).
Istilah sosial (social dalam bahasa Inggris) dalam ilmu sosial memiliki arti yang berbeda-beda, misalnya istilah sosial dalam sosialismedengan istilah Departemen Sosial, jelas keduanya mailiki arti yang sangat jauh berbeda. Menurut Soekanto (1993: 464) istilah sosial pun berkenaan dengan perilaku interpersonal, atau yang berkaitan dengan proses-proses sosial.
Secara keilmuan, masyarakat yang menjadi objek kajian ilmu-ilmu sosial, dapat dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari berbagai segi. Dilihat dari segi ekonomi, akan membahas tentang usaha-usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan materialnya dari bahan-bahan yang terbatas ketersediaannya. Sedangkan dari segi politik, berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat. Berbeda dengan psikologi sosial, yang pada hakikatnya mempelajari perilaku manusia sebagai individu secara sosial. Selain itu terdapat antropologi budaya yang lebih menekankan pada masyarakat dan kebudayaannya, dan begitu seterusnya untuk ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti geografi sosial, sejarah, maupun sosiologi.
Istilah ilmu sosial menurut Ralf Dahrendorf, seorang ahli sosiolog Jerman dan penulis buku Class and Class Conflict in Industrial Societyyang dikenal sebagai pencetus Teori Konflik Non-Marxis, merupakan suatu konsep yang ambisius untuk mendefinisikan seperangkat disiplin akademik yang memberikan perhatian pada aspek-aspek kemasyarakatan manusia. Ilmu-ilmu sosial, mungkin istilah tersebut merupakan bentuk yang lebih tepat. Ilmu-ilmu sosial mencakup sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, geografi sosial, politik, bahkan sejarah walaupun di satu sisi ia termasuk ilmu humaniora (Dahrendorf, 2000: 999).
Istilah ilmu sosial tidak begitu saja dapat diterima di tengah-tengah kalangan akademisi. Sciences Sociale dan Sizialwissenschaften adalah istilah-istilah yang lebih mengena, meski keduanya juga membuat “menderita” karena diinterpretasikan terlalu luas maupun terlalu sempit (Dahrendorf, 2000: 1000). Ironisnya, ilmu sosial yang dimaksud sering hanya untuk mendefinisikan sosiologi, atau hanya teori sosial sintetis.
Berjalannya waktu tidak banyak membantu dalam mengusahakan diterimanya konsep itu. Ilmu-ilmu sosial tumbuh dari dari filsafat moral. Di kalangan filsuf moral Skotlandia, kajian ekonomi politik selalu diikuti oleh kajian isu-isu sosial yang lebih luas, meski tidak disebut sebagai ilmu sosial. Comte menyebutnya science social, dari Charles Fourier (1808), untuk mendeskripsikan keunggulan disiplin sintetis dari bangunan ilmu. Sedikitpun ia tidak ragu bahwa metode ilmu sosial sama sekali tidak berbeda dengan ilmu-ilmu alam.
Ternyata penggunaan metode ilmu sosial yang digagas oleh Comte tersebut cukup mengaburkan gambaran metodologis tentang ilmu-ilmu sosial. Sistem sosial memiliki empat subsistem, yakni ekonomi, politik, budaya, dan system integratif. Dengan demikian, ekonomi, ilmu politik, kajian budaya, dan integrasi sosial (sosiologi) merupakan disiplin yang berhubungan dan interdependen. Turunan dari sistem sosial, yakni semua subsistem tersebut memerlukan analisis yang serupa.
Pandangan beberapa ahli tentang ilmu-ilmu sosial, tidak sepesimis Ralf Dahrendorf, namun ia pun tetap kritis terhadap pandangan-pandangan yang menyeret ilmu sosial. Untuk ilmu kealaman (sains) yang kemudian sering didefinisikan sebagai pencarian hukum-hukum mengenai alam yang tetap benar, mengatasi segala ruang dan waktu (Wallerstein, 1997: 4). Sedangkan untuk ilmu-ilmu sosial, Wallerstein lebih menekankan pada suatu perilaku sosial yang menekankan jauh melebihi kearifan secara turun-temurun dan merupakan hasil deduksi dari padatnya pengalaman hidup manusia sepanjang zaman.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, teori-teori ilmu social sebagai berikut:
- Teori Interaksi simbolis
- Teori Etnografi
- Teori diskriptif
- Teori pre-skriptif
- Teori Normatif
- Teori asumtif
- Teori instrumental
- Teori hubungan manusia (human relation theory)
- Teori pengambilan keputusan (decesion making theory)
- Teori perilaku (behavior theory)
- Teori sistem
- Teori kontingensi
- Teori deskriptif eksplanatori
- Sosiologi adalah ilmu positip
- Teori Struktural Fungsional (Konstruksionisme)
- Teori Struktural Historis
- Teori Struktural Historis
- Teori Struktural Historis
- Teori Struktural A-Historis
- Teori Fenomenologi
Konsep kita mengenai social (masyarakat) pun mendasar bagi pemahaman diri kita sendiri. Dengan kata-kata Aristoteles, manusia adalah seekor hewan sosial, yakni bahwa ia tidak bisa hidup terus di luar sebuah kelompok sosial, tetapi apakah kita tergantung pada masyarakat kita hanya sebagai dukungan dari luar untuk pemeliharaan kehidupan pribadi kita, ataukah kita tidak memiliki kehidupan lepas dari hubungan-hubungan social kita? Bagaimana kita menjawab pertanyaan tersebut tidak lepas dari gambaran yang kita miliki tentang masyarakatatau sosial(Campbell, 1994:7).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Abu. 1988. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bina Aksara
Aziz, Amricun. 2008. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
Hartomo. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
Mawardi, Dkk. 2000. IAD-IBD-ISD. Jakarta: Pustaka Setia
Wahyu, Drs. MS. 1986. Wawasan Ilmu Sosial Dasar. Surabaya: Usaha Nasional