, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul kebijakan NU terhadap konsep dan dasar negara, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PENDAHULUAN
Secara historis NU memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Jika dirunut maka akan didapati bagaimana peran NU dalam kehidupan bernegara bangsa tersebut, meskipun secara akademis sering menjadikan NU dianggap sebagai organisasi yang akomodatif, fragmatis dan bahkan oportunis.
Labeling seperti ini memang disandarkan atas realitas bahwa NU sebagai organisasi pernah melakukan tindakan politik untuk membela Soekarno dalam menggoalkan konsep Nasionalisme, Agama dan Komunis (Nasakom), yang saat itu dianggap sebagai sebuah konsepsi yang salah oleh organisasi sosial keagamaan lainnya, sebab menempatkan agama dan komunis dalam satu bangunan konsep. Selain itu NU juga pernah mengangkat Soekarno sebagai Waliy al-amri dharury bi al-syaukah, yang dianggap oleh lainnya sebagai langkah oportunisme politik.
Kemudian, di era Orde Baru NU juga sekali lagi memainkan peran penting di dalam menggoalkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi sosial keagamaan dan lainnya di Indonesia. Melalui forum Munas Alim Ulama di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo ditetapkan bahwa Pancasila dapat dijadikan sebagai asas bagi seluruh organisasi di Indonesia.
Terlepas dari berbagai macam simbol yang diatribusikan kepada NU tetapi yang jelas bahwa NU telah mewarnai sejarah pergerakan bangsa Indonesia semenjak awal kemerdekaan Indonesia hingga dekade akhir-akhir ini. Dan salah satu aspek penting dalam kontribusi NU tersebut adalah bagaimana NU dengan konsepsi tentang Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagai sesuatu yang final bagi bangsa Indonesia. Dan yang lebih penting adalah NU dengan konsepsinya tentang Pancasila telah mengarahkan pergerakannya untuk menjadi civil religion atau masyarakat madani.
BAB II
PEMBAHASAN
Setelah mengurai secara singakt namun jelas dan gamblang berdirinya organisasi Nahdhatul Ulama dari mulai menjelaskan embrio-embrio dari fenomena kemunculan Nahdhathul Ulama sampai pada akhirnya terbentuk secara de facto dan de jure organisasi yang bernama Nahdhatul Ulama yang bertujuan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai tradisionalis seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam pembahasan selanjutnya penulis akan membahas peran Nahdhatul Ulama dalam pembentukan Negara Republik Indonesia.
[1]Tidak diragukan lagi bahwa peranan NU dalam pembentukan NKRI sangat berperan aktif dalam pergerakannya. NU bukan hanya organisasi yang berbicara masalah keagamaan yang menjunjung nilai-nilai tradisionalis. Namun, NU juga berbicara mengenai motif Nasionalisme atau kemerdekaan atas Negara yang pada waktu itu dijajah oleh colonial Belanda.
Sepeti yang telah dibahas dibagian sebelumnya, NU dalam lintasan sejarah secara tidak langsung mempersiapkan kekuatan untuk pengusiran penjajah di Nusantara, salah satunya Nahdhatul Wathan yang didirikan pada tahun 1916 oleh kiai Wahab Hasbullah, sebagai pondasi awal semangat nasionalisme. Pembentukan Nahdhatul Wathan ditujukan untuk menggarap para murid-muridnya untuk menanamkan rasa nasionalisme, jalur ini memang lebih cendrung berorientasi pendidikan.
Namun setelah organisasi yang bernama Nahdhatuhul Ulama ini terbentuk, nahdhathul Ulama dalam anggaran dasarnya tidak menyebutkan kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya. Baru dikemudian hari, anti-kolonialisme diajarkan dan tertuang dalam buku-buku pegangan sekolah kaum tradisionalis. Bahkan Kiai HM dachlan menjelaskan bahwa perjuangan anti-penjajah merupakan asal usl Nahdhathul Ulama.
Akan tetapi, mengutip dari Choirul Anam, Nahdhatul Ulama, secara implicit bertujuan melawan Belanda. Empat tahun setelah berdirinya NU, yakni sekitar tahun 1930-an, dalam pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah yang didirikan oleh para kiai NU, diwajibkannya menyanyikan lagu kebangsaan setiap hari kamis setelah mata pelajaran selesai. Bukan hanya itu, tapi buku-buku yang dilarang dipelajari di sekolah-sekolah oleh penjajah, beredar di pesantren-pesantren serta madrasah-madrasah. Hal ini jelas bahwa Nahdhatul Ulama serius dalam pengusiran penjajah dengan menanamkan rasa nasionalisme sebagai pondasi awal perlawanan terhadap Belanda.
[2]Dalam bidang hokum khususnya pada urusan keagamaan umati islam, Nahdhathul Ulama secara tegas untuk menolak interfensi dari pemerintahan Belanda. Pada tahun 1931, masalah warisa ditarik dari wewenang Pengadilan Agama, artinya bahwa hokum adat yang kembali diberlakukan di Pulau jawa, Madura dan Klaimantan selatan. Hal ini bukan semata-mata diberlakukannya hokum adat akan tetapi penggrogotan wewenang Pengadilan Agama yang merupakan lambing wewenang kaum muslimin yang menimbulkan rasa tidak senang tersebut.
Di massa-masa persiapan kemerdekaan, meskipun NU tidak melibatkan diri secara langsung dalam dunia politik, para pemimpin NU memperhatikan juga bentuk Negara Indonesia yang akan datang. Hal ini dipertegas dalam Muktamar XV pada tahun 1940, Muktamar ini sekaligus Muktamar terakhir pada masa Colonial Belanda, dalam muktamar tersebut berkesimpulan menunjuk Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai calon presiden yang pantas memimpin bangsa. Muktamar tersebut dihadiri oleh 11 tokoh NU yang dipimpin oleh Mahfudz Shidiq.
Selanjutnya, di masa proklamasi kemerdekaan, berdebatan sengit mengenai bentuk Negara yang dimulai dari tahun 1920-an, akhirnya memuncak saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945. Sebenarnya bukan hanya bentuk Negara yang diperdebatkan, akan tetapi banyak hal lain yang diperdebatkan mengenai jati diri negar kedepannya, antara lain : mengenai batas wilayah, bentuk Negara, dan bentuk pemerintahan.
Yang pada akhirnya, di Bulan April 1945, dalam pidatonya, Soekarno meletakan dasar Negara dengan dasar 5 sila atau yang masyhur disebut dengan pancasila.
Peranan NU dalam melegalkan pancasila ini tercermin dalam iskusi antara Soekarno, kiai Wahab Hasbullah, kiai Masykur dan kahar Muzakar yang berkesimpulan bahwa 5 sila tersebut representasi dari ajaran Islam. Akan tetapi titik tekan yang dilakukan oleh para pemimpin Islam tersebut lebih kepada persatuan Indonesia yang terdiri dari beberapa agama dan banyak suku bangsa yang tersebar luas di belahan nusantara.
Lagi-lagi, pancasila kembali menimbulkan diskursus dengan golongan islam kanan dan golongan nasionalis, hingga pada akhirnya Soekarno memanggil panitia 62 kemudian membentuk panitia kecil yang terdiri dari 9 orang yang akan membahas kompromi antara kaum islam dan nasionalis. Kiai Wahid Hasyim sebagai representasi dari golongan islam tradisional atu NU, dalam rapat panitia tersebut membuahkan hasil dengan menambahkan acuan syariat islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab.
Tidak berhenti disitu perdebatan mengenai 5 sila tersebut, pada rapat selanjutnya, piagam Jakarta tersebut dipertanyakan kembali oleh tokoh nasionalis dan Kristen. Latuharahray, dari protestan, melontarkan dengan tegas kekhawatirannya mengenai ditambahkannya syariat islam dalam sila tersebut, yang berdampak pada perpecahan. Dari NU sendiri yang diwakili oleh Wahid Hayim mengusulkan agar agama Negara adalah islam, dengan jaminan bagi pemeluk lain untuk dapat beribadah menurut agamanya masing-masing.
[3]Perdebatan sengit mengenai piagam jakarta ini, saat dua hari setelah jepang menyerah, yakni pada tanggal 17 Agustus malam, pada hari proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, menerima kunjungan perwira jepang yang menyampaikan keberatan-kebeatan penduduk di Indonesia Timur, yang tidak beragama Islam mengenai dimuatnya piagam Jakarta pada mukaddimah UUD, bila tidak diuabah, mereka lebih suka berdiri diluar republic Indonesia. Artinya mereka tidak akan bergabung dengan Indonesia dan perpecahan ini diakibatkan oleh piagam Jakarta pada muqadimahnya. Pada akhirnya pada tanggal 18 agustus Muhamad Hatta memanggil empat anggota panitia persiapan kemerdekaan yang diwakili oleh Islam. Antra lain yaitu: Ki Bagus Adi Kusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Muhamad Hasan dan Wahid Hasim. Hasil rapat panitia tersebut berkat usulan Wahid Hasim yaitu mengenai digantinya syariat Islam dengan ketunahan yang maha esa. Wahid Hasim sebgai representasi dari NU berperan penting atas persatuan bangsa Indonesia dengan kata lain beliau adalah pahlawan konstitusi Republik Indonesia yang menjungjujng tinggi persatuan dankesatuan, tanpa menghilangkan nilai-nilai Islam dalam piagan Jakrta tersebut.
Sebagai organisasi sosial keagamaan NU,memiliki komitmen yang tinggi terhadap gerakan kebangsaan dan kemanusiaan, karena NU menampilkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) ke dalam tiga pilar ukhuwah yaitu; Ukhuwah Islamiyah; Ukhuwah Wathoniyah dan Ukhuwah Insaniah atauUkhuwah Basyariyah. Ukhuwah Islamiyah merupakan landasan teologis atau landasan iman dalam menjalin persaudaraan tersebut dan ini sekaligus merupakan entry point dalam mengembangkan ukhuwah yang lain. Agar keimanan ini terefleksikan dalam kebudayaan dan peradaban, maka kepercayaan teologis ini perlu diterjemahkan ke dalam realitas sosiologis dan antropologis ini kemudian ukhuwah Islamiyah diterapkan menjadi ukhuwah wathoniyah (soladaritas kebangsaan).
Kalau ukhuwah Islam sebagai landasan teologis tidak dikembangkan ke dalam realitas sosiologi dan dijadikan sebagai budaya, maka akan berhenti sebagai ukhuwah Islamiyah yang sempit, menjadi sistem kepercayaan dan ritual belaka, yang hanya peduli dan komit pada umat Islam saja, padahal bangsa ini terdiri dari berbagai suku, agama dan kepercayaan. Dari situlah kemudian muncul aspirasi pembentukan negara Islam, ketika ukhuwah hanya dibatasi pada ukhuwah Islamiyah, tidak dikembalikan lebih luas menjadi ukhuwah Wathoniyah dan Insaniyah.
Sementara NU mengembangkan ukhuwah Islamiyah ini sampai ke dimensi ukhuwah Wathoniyah. Dengan adanya landasan iman ini ukhuwah wathoniyah terbukti menjadi paham kebangsaan yang sangat kuat. Inilah yang disebut dengan nasionalisme religius. Nasionalisme yang disinari dan disemangati agama. Ketika ukhuwah wathoniyah ini tidak dilandasi oleh keimanan dan keislaman dia akan rapuh dan akan mudah dirasuki oleh paham yang lain baik komunisme maupun liberalisme. Seperti yang terjadi di Indonesia selama ini. Komunisme telah terbukti menghanculkan sendi- sendi kehidupan sosial dengan terjadinya konflik sosial yang tidak pernah berhenti.
Sementara liberalisme yang berkembang saat ini juga telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan negara ini. Baik di bidang politik ketatanegaraan di bidang ekonomi dan termasuk di bidang kebudayaan. Islam menentang segala bentuk ideologi destruktif tersebut. NU berdiri paling depan dalam menentang ideologi liberal kapitalis tersebut, karena NU dengan akidah Alussunnah wal jamaah sebagai rahmatan lil alamin berusaha membangun karakter bangsa sebagai langkah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang sejahtera dan berdaulat.
Sebagai langka untuk mewujudkan Islam yang mutamaddin (berperadaban) itulah ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah itu ditingkatkan menjadi ukhuwah Insaniyah untuk menjamin persaudaraan universal, membangun tata dunia yang berkeadilan dan beradap. Keharusan membangun tata dunia ini ditegaskan dalam al-Qur’an.
Artinya: wahai umat manusia telah kuciptakan kalian yang terdiri dari kaum lelaki dan wanita dan aku jadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling berinteraksi (secara setara dan adil), sesungguhnya orang yang paling beradap di antara kalian adalah orang bertakwa yakni mampu membangun dan memajukan suku dan bangsa kalian. (Al-Hujurat: 13).
Pemimpin yang terhormat yang paling beradap dihadapan Allah adalah pemimpin yang mampu membangun bangsa dan masyarakat dalam konteks Islam tidak hanya dilandasi oleh semangat kebangsaan (wathoniyah), tetapi sekaligus perlu dilandasi oleh ukhuwah Insaniyah. Di sinilah tugas kaum cendikiawan termasuk ISNU adalah melakukan kajian Ilmiyah sebagai sarana membangun bangsa. Sebagaimana Firman Allah:
Artinya: “Seharusnya tidak semua orang Mukmin pergi ke medan perang. Hendaklah setiap kelompok di antara mereka giat menggali ilmu pengetahuan guna membangun masyarakat dan menyebarkan pengetahuan kepada mereka”.(QS: Attaubah: 122).
Peringatan ini sangat relevan buat kita dan buat ISNU khususnya, bahwa tidak semua orang harus berjuang melalui partai politik, perjuangan melalui ilmu pengetahuan, melalui dunia profesi untuk membangun peradapan juga sangat penting, yaitu perjuangan membangun masyarakat dan membangun bangsa. Sebagaimana dikatakan didepan bahwa NU menegaskan ukhuwah wathoniyah menjadi kebangsaan ini kebangsaan yang religius, maka menghadapi kemerosotan kondisi bangsa Indonesia dewasa ini NU ikut prihatin dan berjuang sekuat tenaga untuk membangun kembali Indonesia.
Dampak buruk reformasi belum bisa diatasi hingga saat ini, akibat dari reformasi yang lepas kendali yang tidak lagi berdasarkan Pancasila, tetapi lebih didasari oleh semangat liberalisme para elit. Liberalisme di semua sektor kehidupan yang dikukuhkan melalui berbagai undang-undang itu telah merugikan rakyat dan negara. Bahkan Liberalisme telah mengeliminir Pancasila dengan demikian bisa mengeser UUD 1945. Di sisi lain muncul kekuatan Islam fundamentalis yang melihat Pancasila sebagai thoghut dan UUD 1945 sebagai undang-undang sekular dan kafir. Dengan ini NU menyarankan agar siapa saja yang menentang Pancasila dan UUD 1945 digolongkan menjadi kelompok kriminal bahkan subversif yang tidak boleh hidup leluasa di negara Republik Indonesia ini.
NU tidak mensakralkan UUD 1945, tetapi juga tidak mensakralkan hasil amandemen yang sudah dilakukan. Sesuai dengan amanat pasal 37 UUD 1945 itu, konsitusi bisa dan perlu disempurnakan. Dalam rangka penyempurnaan itu maka Amandemen kelima yang direncanakan itu harus berani melakukan amandemen atau review terhadap berbagai hasil amandemen yang telah dilakukan sebelumnya. Sebab jelas-jelas Amandemen tersebut merugikan kepentingna rakyat dan bangsa serta merendahkan harga diri dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila dan UUD 1945 merupakan Khitan Indonesia, yang merupakan puncak dari keseluruhan cita-cita bangsa ini yang berproses sejak zaman Kebangkitan Nasional yang kemudian dirumuskan menjadi dasar Negara Pancasila, dicetuskan melalui Proklamasi Kemerdekaan, dirumuskan menjaid Pembukaan UUD serta dirinci ke dalam batang tubuh UUD 1945 secara tuntas dan menyeluruh. Dengan demikian NU berpendirian bahwa Penyempurnaan UUD 1945 haruslah:
Pertama : dilaksanakan dengna penuh ketelitian dan kecermatan.
Kedua : haruslah sesuai dengan Pancasila sebagai dasar dan Ideologi negara,
Ketiga : Harus sesuai dengan semangat Proklamasi.
Keempat : haruslah sejalan dengan amanah Mukadimah UUD 1945.
Kelima : mempertimbangkan aspirasi, tata nilai dan tradisi bangsa ini.
Karena itu dalam konteks ini NU menyarankan kepada bangsa ini agar kembali kekhittah Indonesia 1945 yaitu berusaha kembali menegaskan Pancasila sebagai ideologi negara. Proklamasi sebagai sprit bangsa dan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Barang siapa mengganggu atau menentangnya harus segera dicegah, karena ini musuh negara. NU juga mendesak agar dalam UUD itu ada pasal yang menegaskan bahwa Mukadimah UUD 1945 yang telah ada itu sama sekali tidak boleh di ubah atau amandemen, karena Mukadimah tersebut menjadi pedoman yang memuat filosofi serta arah perjuangan bangsa ini.
Dengan ukhuwah wathoniyah itu NU peduli untuk membangun bangsa ini, karena ini merupakan langkah penting untuk menegakkan kembali kedaulatan negara. Dan ini menjadi sangat penting untuk mengembangkan ukhuwah Insaniyah untuk memperbesar peran bangsa ini dalam membantu dan bekerjasama dengan bangsa lain di dunia. Dengan demikian NU juga bisa mengembangkan perannya lebih aktif dalam membangun peradapan dunia, mengingat NU saat ini tampil sebagai kekuatanAswaja terbesar didunia. Dengan ditopang oleh bangsa dan negara yang kuat dan terhormat perjuangan Aswaja NU ditingkat dunia akan semakin strategis dalam mewujudkan Islam sebagai penyangga perdamaian dunia. Terbukti selama ini NU tidak hanya menjadi tumpuan bangsa lain didunia. Tidak hanya dunia muslim, dunia non-muslim terbukti selama ini sangat tergantung pada peran NU. Semua langkah stategis NU dipersiapkan untuk menjalankan tugas nasional dan peran universal tersebut.
Ideologi adalah refleksi dan dilahirkan oleh sejarah, diproduk dalam fikiran, tidak bisadijadikan landasan keimanan dan keyakinan dalam beragama. Tetapi ideologi di perlukan untuk menjaga kelestarian kehidupan beragama itu sendiri. Nahdlatul Ulama (NU) menerima pancasila, karena selain hasil kesepakatanwakil-wakil bangsa, pancasula tidak bertentangan dengan doktrin Ahlusunnah WalJama’ah. Dengan kata lain, islam akan berkembang di Indonesia, manakala pancasilamenjadi landasan ideologisnya. Sebaliknya, akan semakinpelik persoalannya,manakala ajaran islam di formalkan untuk kepentingan-kepentingan sejarah keindonesia.
Umat islam memang pernah mengalami fase”perdebatan ideologis”, dalam proses pembentukan landasan kebangsaan dan kenegaraan. Apalagi, sebelum pancasilaterumuskan sebagai mana adanya saat ini, warna islam begitu formal, sebagaimanatertera dalam Piagam Jakarta. Kenyataan ini mewarnai perdebatan ideologis, setelahakhirnya mengalami jalan buntu dan “dead lock” sejak dekrit presiden 5 Juli 1959rumusan ketatanegaraan, dan kebangsaan indonesia, kembali kepancasila dan UUD1945. Namun, persaingan ideologis terus berlanjut, karena justru munculnya ancamanideologi itu sendiri. Situasi ini baru selesai, setelah dengan tegas, di sepakatinya, pancasila sebagai satu-satunya asas bernegara dan berbangsa.
Disamping itu pula penerimaan Ulama (NU) atas pancasila di tegaskan dalamanggaran dasar. NU menerima dengan panjang lebar, NU menerima dengan sifat positif menerima dalam rangka perjuangan bangsa dan negaramencapai masyarakatadil dan makmur. Penerimaan atas pancasila sudah di muat didalam muqaddimah(Pembukaan) anggaran dasar, bahwa kemaslahatan dan kesejahteraan warga NahdlatulUlama adalah bagian mutlak dari kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakatIndonesia, maka dalam perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur yangmenjadi cita-cita seluruh masyarakat indonesia, dengan Allah SWT, Organisasi Nahdlatul Ulama berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaandalam permusyawaratan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahnyamemperoleh dasar kokoh, yang memerintahkan berbuat benar melaksanakan keadilan,kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan. Dengan politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi di ciptakan tercapainya “Suatu keadilan bagiseluruh Rakyat Indinesia”.
Dengan menerima pancasila sekaligus NU juga menyatakan dirinya kembalimenjadi organisasi keagamaan yang terkenal dengan semaboyan Kembali KepadaKhittah (Semangat )1946. Suatu langkah untuk mengukuhkan kembali peranan ulamasebagaimana hakikatnya ketika didirikan tahun 1926, agar ulama memegang kendalisepenuhnya dalam peranan NU sebagai organisasi keagamaan (Jamiah diniyah). Sebab bila NU sudah mengakui negara dan pancasila sah menurut islam maka peranansebagai partai politik menjadi tidak relefan lagi. Apalagi NU sudah menyadari selamamenjadi partai poalitik ia telah banyak menghabiskan tenaga untuk prestasi politik sedangkan usaha-usaha keagamaan terbengkalai.
Dari pernyataan tersebut NU menetapkan dan menggambarkan sebagai eksperidari penerimaan terhadap pancasila, sehingga dalam bertingkah laku sebagai wargamasyarakat harus sesuai dengan pancasila, dan ketika mengambil sebuah kebijakanoleh elite politik juga bersandar atas pancasila agar dampak yang di timbulkan darisebuah pengambilan kebijakan publik tidak berdampak negatif demi kesejahteraanrakyat, jadi antara pancasila dan agama berada di tengah-tengah beground bangsaIndonesia harus berjalan beriringan selaras dan serasi agar cita-cita luhur bangsaIndonesia dapat tercapai.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Sebagai organisasi sosial keagamaan NU,memiliki komitmen yang tinggi terhadap gerakan kebangsaan dan kemanusiaan, karena NU menampilkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) ke dalam tiga pilar ukhuwah yaitu; Ukhuwah Islamiyah; Ukhuwah Wathoniyah dan Ukhuwah Insaniah atauUkhuwah Basyariyah. Ukhuwah Islamiyah merupakan landasan teologis atau landasan iman dalam menjalin persaudaraan tersebut dan ini sekaligus merupakan entry point dalam mengembangkan ukhuwah yang lain. Agar keimanan ini terefleksikan dalam kebudayaan dan peradaban, maka kepercayaan teologis ini perlu diterjemahkan ke dalam realitas sosiologis dan antropologis ini kemudian ukhuwah Islamiyah diterapkan menjadi ukhuwah wathoniyah (soladaritas kebangsaan).
Sementara NU mengembangkan ukhuwah Islamiyah ini sampai ke dimensi ukhuwah Wathoniyah. Dengan adanya landasan iman ini ukhuwah wathoniyah terbukti menjadi paham kebangsaan yang sangat kuat. Inilah yang disebut dengan nasionalisme religius. Nasionalisme yang disinari dan disemangati agama. Ketika ukhuwah wathoniyah ini tidak dilandasi oleh keimanan dan keislaman dia akan rapuh dan akan mudah dirasuki oleh paham yang lain baik komunisme maupun liberalisme. Seperti yang terjadi di Indonesia selama ini. Komunisme telah terbukti menghanculkan sendi- sendi kehidupan sosial dengan terjadinya konflik sosial yang tidak pernah berhenti.
NU tidak mensakralkan UUD 1945, tetapi juga tidak mensakralkan hasil amandemen yang sudah dilakukan. Sesuai dengan amanat pasal 37 UUD 1945 itu, konsitusi bisa dan perlu disempurnakan. Dalam rangka penyempurnaan itu maka Amandemen kelima yang direncanakan itu harus berani melakukan amandemen atau review terhadap berbagai hasil amandemen yang telah dilakukan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sitompul, Martahan Einar, M.th, NU dan Pancasila, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989. Hal. 56
Luqman Hakim, Muhammad, NU di Tengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat, Tulungagung: Yayasan pondok PETA, 1994. Hal. 89.
Zada, Khamami dkk, Nahdlatul Ulama Dinamika Idologi dan Politik Kenegaraan, Jakarta: Kompas, 2010. Hal. 53
Sitompul, Martahan Einar, M.th, NU dan Pancasila, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989. Hal. 56 Luqman Hakim, Muhammad, NU di Tengah Kelemahan Ulama dan Kemunduran Umat, Tulungagung: Yayasan pondok PETA, 1994. Hal. 89. Zada, Khamami dkk, Nahdlatul Ulama Dinamika Idologi dan Politik Kenegaraan, Jakarta: Kompas, 2010. Hal. 53