, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Aswaja dalam bidang syariah, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PEMBAHASAN
Waktu nabi Muhammad SAW wafat, dasar-dasar syari’ah yang fundamental sertra umum sifatnya telah diletakkan secara lengkap dan memadai, sehingga para sahbat beliau lebih banyak melakukan upaya “penerapan” terhadap hokum-hukum syari’ah tersebut, atau pengembangan cabang rantingnya dari ketetapan umum tersebut. Dan apabila dirasakan ada sesuatu yang belum diketahui ketetapan hukumnya, atau diperselisihkan diantara mereka, maka dilakukan musyawarah atau semacam dialog terbuka untuk menemukan kesepakatan diatara mereka.
Pada saat kekuasaan Islam telah meluas menembus lintas geografis lintas budaya, lintas ras dan bangsa, dari Asia Timur sampai Eropa, banyak masalah-masalah baru yang dihadapi umat Islam dan pemerintahan Islam, bukan hanya masalah politik, ekonomi dan social saja, tetapi juga masalah hokum yang terkait dengan masalah agama, sebab banyak ditemui realitas lingkungan yang baru, yang tidak cukup diatasi dengan fatwa-fatwa hokum yang sebelumnya digunakan tapi dibutuhkan penalaran baru untuk memecahkannya.
Disitulah kebutuhan ijtihad-ijtihad baru haus dilakukan para mujtaid, baik dari angkatan sahbat maupun tabi’in. disisi lain, jumlah para saahbat yangbanyak mengetahui masalah syari’ah terus berkurang baik kuantitatif maupun kkualitatifnya akibat banyak diantara mereka yang wafat karena usia atau karena sakit, juga banyak diantaranya guru dalam medan pertempuran dibeberapa wilayah penaklukan atau dalam konflik internal umat Islam sendiri.
Pada akhir masa Dinasti Umaiyah dan masa-masa awal Dinasti Abbasiyah, elaborasi atau pemekaran keilmuan Islam menjadi meluas dan lebih kentara kemandiriannya, seperti terpisahnya antara imu fikih dan ilmu kalam, muncunya ilmu tasawuf, makin semaraknya ilmu Hadits dan Tafsir. Pada masa itu Ulama-Ulama fiqih yang dipandang mempunyai otorita membahas masalah-masalah hokum Islam atau masalah syari’ah yangkemudian terbadi menjadi dua aliran yaitu pertama, aliran pakar pakar hadits yang skriptualiis atau leteralis, yakni sangat terkait dengan teks nail, yang dikuasai dari guru ke murid secara langsung dari masa kemasa dan kedua, aliran Rasionalis yang lebih rasional, subtansialis, banyak menggunakan dalil-dalil aqli, lebih banyak mempetimbangkan realitas yang ada ditengah-tengah kehidupan umat manusia,
Dikalangan Ulama-Ulama Nahdliyin, kata ijtihad ini banyak dihindari, dan lebih menyukai penggunaan kata “istinbath” meskipun dalam kajian fiqih dan ushul fiqih kedua istilah tersebut tidak banyak berbeda. Namun dalam prakteknya para ulama tersebut telah melakukan aktivitas ijtihad secara kolektif dalam menetapkan pilihan hokum dari pendapat para ulama madzhab yang mereka akui, terutama menghadapi masalah-masalah kontemporer. Mungkin sikap tersebut didasarkan pada sikap tawadlu’ dan rasa etis, karena sebagai ulama-ulama di Pesantren yang pengaruh masih apriopi menutup pintu ijtihad tanpa memilah peringatnya.
A. Mengikuti Pola Bermadzhab
Bermadzhab ialah mengikutinya orang awam atau orang-orang yan tidak mencapai kemampuan ijtihad, kepada pendapat atau ajaran seorang Imam Jujtahid, baik dia itu mengikuti seorang mujtahid tertentu secara tetap, atau dalam hidupnya dia berpindah dari seorang mujtahid kepada seorang mujtahid yang lainnya. Dan yang disebut tidak bermadzhab ialah tidak mengikutinya orang awam atau orang-orang yang tidak mencapai kemampuan ijtihad, kepada mujtahid manapun, baik secara tetap maupun tidak tetap”.
Pada masa Imam-imam Madzhab empat, Imam abu Hanifah, Imm Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Indris As-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal, antara abad ke 2 – 3 H. Ijtihad pada masa itu itu sudah memasuki era metodologi istinbath, sudah merumuskan parameter dalil, sudah memiliki kategori qiyas sahih dan qiyas bathil, sebagai dampak positif dari “Ar-Risalah”, karya cemerlang Imam Syafi’I yang meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqih sebagai metodologi Istinbath.
Dalam pola bermazhab, akan selalu melibatkan dua pihak, yakni :
Pertama, pihak yang diikuti pendapatnya, atau diikuti hasil ijtihadnya, mereka adalah para mujtahid 9orang-orang yang mampu dan memenuhi syarat-syarat berijtihad), dengn berbagai macam tingkatannya.
Kedua, pihak yang mengikuti pendapat atau hasil ijtihad para Mujtahid, mereka adalah orang-orang awam yang tidak mempunyai keahlian bidang agama, mereka justru mayoritas masyarakat muslim dimana-mana. Pada umumnya mereka perlu mengetahui masalah-masalah praktis dalam menjalankan amaliyah agamanya, seperti bagaimana mereka harus mengikuti zaman hartnya atau bagaiaman mereka harus melakukan shalat jenazah. Mereka memerlukan penjelasan singkat, praktis dan tidak memerlukan waktu yangalam. Mereka mengikuti orang lain yang diyakini sebagai orang yang dapat dipercaya omongannya, dan layak dijadikan panutan.
Selanjutnya dikatakan; kalau kita amati dengan seksama bermazhab dapat dikelompokkan menjadi beberapa tingkatan atua level sebagai berikut :
1. Taqlid kepada Ulama Syafi’iyah;
Ungkapan atau anggapan taqlid kepada Imam Syafi’I selama ini kita saksikan, pada hakikatnya taqlid kepada fuqoha’ Syafi’iyah yang rankingnya jauh dari Imam Syafi’I itu sendiri.
2. Taqlid kepada Imam Syafi’I secara langsung
Ini merupakan levl yang lebih tinggi dari pada taqlid kepada fuqoha’ Syafi’iyah. Caranya dengan mengkaji kepada kitab-kitab Imam Syai’I sendiri, seperti kitab al-Umm, Al-Risalah, Ikhtilaf Ahli Al-Hadits, dan lainnya.
3. Ittiba’ kepada Fuqoha’ Syafi’iyah atau langsung kepada Imam Syafi’i.
Level ini diatas level sebelumnya. Karena sudah diikuti dengan mengkaji dalil-dalil dan alasannya, tetapi tetap mengikuti apa yang difatwakan.
4. Bermazhab fi al-Manhaj
Dengan mengikuti metodologi atau manhaj yang dipakai imam Mazhab, katakanlah manhajnya Imam Syafi’i. dalam tingkatkan ini seorang boleh jadi menambil resiko untuk berbeda pendapat dengan imam madzhabnya dalam tataran hasil penalarannya, meskipun tetap terikat dengan manhajnya dan dia tetp menempatkan dirinya sebagai pengikut dan pendukung mazhab Syafi’i.
5. Mengembangkan Metodologi
Meskipun ia sudah melakukan ijtihad namun masih banyak mengikuti prinsip-prinsip imam mdzhab tertentu dalam metodologi maupun fatwa, tapi dalam hal-hal tertentu bisa berbeda kesimpulan pendapatnya.
B. Sebab-Seab yang menimbulkan Perbedaan
Dikalangan ulama madzhab juga terjadi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ini.
- Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal, berpendapatbahwa barang rampasan perang, supaya dibagi kepada para prajurit yang mengikuti perang, baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Alasannya adalah ayat al-Qur’an pada surat al-Anfal tadi, disamping sunnah Nabi SAW waktu membagi tanah-tanah Khaibar kepada para prajurit yang ikut perang disana.
- Imam Malik berpendapat, sebaliknya barang yang tidak bergerak seperti tanah, tidak dibagi-bagi tetapi menjadi barang waqaf, yang hasil untuk kepentingan umum dan untuk biaya operasional pemerintah, serta fasilitas social lainnya.
- Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa tanah-tanah yang didapati melalui peperangan, terserah kepada Kepala Negara untuk mengambil pilihan kebijakan. Apakah akan dibagikan kepada para prajurit seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW atau dijadikan sumber pendapatan Negara untuk pendapatan Negara untuk kepentingan umum, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a.
C. Dominasi Pengaruh Madzhab Syafi’i
Pada abad ke-2 sampai engan pertengahan abad ke-4 H disebut sebagai puncak perkembangan Ilmu Fiqih, da pada waktu itu lahir tokoh-tokoh besar Mujtahidin yang melahirkan beberapa madzhab fiqih, yang pendapat dan fatawanya terbukakan, sebagian diantaranya masih terpelihara secara utuh sampai sekarang dan dicetak dalam kitab-kitab modern, dikomentari, di ulas oleh para pengikutnya. Tetapi sebagian lagi masih tersimpan sebagai manuskrip tulisan tangan yang berada di perpustakaan besar, tersebar di beberapa tempat, dan sebagian lagi sudah tidak dtemuan dalam keadaan utuh.
Madzhab Empat, yaitu madzhab fiqih terbesar yang dirintas oleh empat Imam Mdzhab, yakni para Mujtahid mustaqil yang masing-masing mempunyai konsep metodologi sendiri, melahirkan fatwa-fatwa masalah fiqih yang relative lengkap, dan kesemuanya ditulis secara sistematis menjadi karya tulis yang dapat dipelajari dan dikaji oleh para pengikutnya dan ornaglain yang berminat. Para Imam Tersebut ialah :
1) Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit
2) Imam Malik bin Anas
3) Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i
4) Imam Ahmad bin Hambal
Tidak aneh apabila para pendiri Jami’iyyah Nahdlatul Ulama menambil sikap bijaksana, atas dasar prinsip moderatnya (at-Tawassuth), yakni memadukan antara visi Ahlu al-Hadits dan visi Ahlu ar-Ra’yi, dengan memilih Madzhab empat sebagai rujukan pemahaman dan pengamalan hokum fiqihnya. Hal demikian ditegaskan dalam Qanun Asas (Peraturan Dasar) Nahdlatul Ulama sampai sekarnag. Hanya saja dan prakteknya dan realitas yang berlaku dalam komunitas Nahdliyin, mulai dari ulama-ulama Pesantren sampai ulama-ulama structural NU ( Syuriyah) sampai dngan kaum awam warga Nahdlatul Nahdliyin 99% hanya pengikuti madzhab Syafi’I, atau lebih tegasnya lagi sebagai pengikut “Fuqaha’u as-Syafi’iyah”. atau lebih tegasnya lagi sebagai berikut “Fuqaha’u as-Syafi’iyah terutama dalam masalah ibadah/ubudiyah sebagai contoh dapat dikemukakan :
- Membaca Basmalah waktu membaca Fatihah dalam Shalat
Menurut Madzhab Syafi’I, membaca basmalah dalam fatihan waktu shalat hukumnya wajib. Apabila shaalt itu termasuk “Shalat Jahriyah”, maka basmalahnya harus dibaca keras, dan apabila termasuk “Shalat Sirriyah maka basmalah juga dibaca pelan.
Madzhab hanafi dan Hambali juga membaca basmalah apabila fatihan, tetapi cara membacanya dngan pelan baik dalam sholat jahriyah maupun shalat sirriyah.
Menurut Madzhab Maliki, Basmalah itu bukan merupakan bagian dari surat Fatihan atau surat-surat lain. Basmalah itu memangbagian dari al-Qur’an atau lebih tegasnya basmalah itu bagian dari 30 surat an-Naml,
- Membaca Qunut pada Shalat Subuh
Dikalangan umatIslam di Indonesia, dan terutama di lingkungan warga Nahdliyin, dikenal tiga macam qunut, yaitu pertama yang dibaca pada raka’at kedua setiap shalat Subuh. Kedua qunut yang dibaca pada raka’at terkahir shalat witir.
Diantara Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali) terdapat perbedaan dalam menyikapi masalah, qunut ini. Dan menurut Madzhab Syafi’I, qunut itu seharusnya dibaca pada raka’at kedua (akhir setiap shalat subuh), dan dilakukan sesudah rukuk.
Menurut Madzhab Malik, qunut itu seharusnya dibaca pada raka’t kedua shalat subuh, dan yang utama dilakukan sebelum ruku’. Menurut pendapat yang diunggulkan dalam madzhab Maliki, bahwa membaca qunut selain apda waktu shalat subuh hukumnya makruh.
Madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat, bahwa qunut itu hanya dianjurkan dilakukan pada shalat witir saja, tidak ada qunut diluar shalat witir.
- Shalat Tarawih, tata cara dan jumlah Raka’at
Menurut Madzhab Syafi’I, shalat tarawih itu termasuk shalat sunah mu’akkadah’ yang jumlah raka’tnya sebenarnya tidak dibatsi, tergantung kemamuan yangmelakukannya. Hanya saja madzhab Syafi’I memilih jumlah raka’at shalat Tarawih 20 Raka’at ditambah 3 raka’at witir, karena alas an-alasan yangakan dikemukana kemudian. Juga madzhab Syafi’I menetapkan cara-cara shalat tarawih dilakukan dua raka’t kemudian salam, dan kemudian diulang lagi sampai mendapat 20 raka’at.
Alas an Imam Syai’I memilih jumlah rak’at shalat tarawih 20 raka’t tersebut, karena Ijma’ as-Shohabat sejak zaman Umar bin Khattab r.a. sampai masa-masa berikutnya. Juga kesepakatan ulama-Ulama ahlu al-Madinah, selama ini shalat Tarawih di Masjid Nabawi di Madinah dilakukandengan 20 raka’at, juga di masjid al-Haram Makkah, dan Masjid al-Aqsha di al-Quds.
Sebagai kenyataan kuatnya pengaruh madzhab Syafi’I dilingkungan warga Nahdliyin, maka hamper semua masjid, mushola, langgar dan pesantren-pesantren yang berada di bawah binaan Nahdlatul Ulama, pelaksanan dan tata cara shalat Tarawih selalu dengan jumlah 20 raka’at ditambah 3 raka’at untuk witir, sepertiga hal itu merupakan trademark dan symbol yang mencirikan warga Nahdliyin.
Kuatnya pengaruh madzhab Syafi’I dilingkungan warga Nahdliyin, bahkan sebagai besar umat manusia di Indonesia tidak lepas dari peranan Pondok Pesantren, dengan para Kiai dan Kitabkuningnya. Seperti kita maklumi, bahwa Nahdlatul Ulama mempunyai jaringan Pondok pesantren yang sangat kuat sampai sekarang.
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Pada akhir masa Dinasti Umaiyah dan masa-masa awal Dinasti Abbasiyah, elaborasi atau pemekaran keilmuan Islam menjadi meluas dan lebih kentara kemandiriannya, seperti terpisahnya antara imu fikih dan ilmu kalam, muncunya ilmu tasawuf, makin semaraknya ilmu Hadits dan Tafsir
Bermadzhab ialah mengikutinya orang awam atau orang-orang yan tidak mencapai kemampuan ijtihad, kepada pendapat atau ajaran seorang Imam Jujtahid, baik dia itu mengikuti seorang mujtahid tertentu secara tetap, atau dalam hidupnya dia berpindah dari seorang mujtahid kepada seorang mujtahid yang lainnya
Pada abad ke-2 sampai engan pertengahan abad ke-4 H disebut sebagai puncak perkembangan Ilmu Fiqih, da pada waktu itu lahir tokoh-tokoh besar Mujtahidin yang melahirkan beberapa madzhab fiqih, yang pendapat dan fatawanya terbukakan, sebagian diantaranya masih terpelihara secara utuh sampai sekarang dan dicetak dalam kitab-kitab modern, dikomentari, di ulas oleh para pengikutnya. Tetapi sebagian lagi masih tersimpan sebagai manuskrip tulisan tangan yang berada di perpustakaan besar, tersebar di beberapa tempat, dan sebagian lagi sudah tidak dtemuan dalam keadaan utuh.
Madzhab Empat, yaitu madzhab fiqih terbesar yang dirintas oleh empat Imam Mdzhab, yakni para Mujtahid mustaqil yang masing-masing mempunyai konsep metodologi sendiri, melahirkan fatwa-fatwa masalah fiqih yang relative lengkap, dan kesemuanya ditulis secara sistematis menjadi karya tulis yang dapat dipelajari dan dikaji oleh para pengikutnya dan ornaglain yang berminat
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, Lantabora Press, Jakarta, 2006.