, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Madzhab dan taqlid, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PENDAHULUAN
Ajaran Islam di yakini oleh Umat Islam sebagai ajaran yang bersumber pada wahyu Allah. Keyakinan ini di dasarkan pada kenyataan bahwa sumber ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Kemudian dalam setting sejarah, proses terbentuknya hukum Islam sejatinya hanya berlangsung pada masa Nabi Muhammad SAW. Hal ini lebih di sebabkan karena nabi mempunyai kewenangan dan otoritas penuh, bahkan melekat pada dirinya legitimasi teologi untuk melakukan hal itu, sementara generasi setelah Nabi hanya berfungsi untuk mengembangkan konstruksi dasar hukum yang telah di bangun sebelumnya.
Fenomena ini terlihat dalam ijtihad pada fuqoha’ pada setiap periode yang telah berhasil fiqih melalui metodologi usul fiqih dengan modifikasi tertentu yang tak lepas dari kerangka Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Maka dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang pengertian ijtihad, pemahaman Mazhab serta bagaimana hukum tentang taklid.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah proses abstraksi usaha maksimal dalam proses dialekta penalaran, sehingga menghasilkan pendapat pribadi yang orisinil yang dalam perkembangannya telah mengalami derivasi pemaknaan.
Kata al-ijtihad, sebagaimana dielaborasikan dalam lisan al-Arab, diambil dari akar kata al-juhd, yang secara etimologis berarti al-Thaqah (tenaga, kuasa dan daya upaya), sementara al-Ijtihad dan al-tajahud berarti pengerahan segala kemampuan dan tenaga.Berdasarkan tinjauan etimologis ini al-Ghozali merumuskan untuk menghasilkan sesuatu yang berat dan sulit. Berdasarkan elaborasi ini, Muhammad Iqbal seorang pemikir Islam kontemporer misalnya, ketika membicarakan prinsip gerak dalam struktur Islam, mengidentifikasi ijtihad, dengan mujahadah, sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT :
Artinya : “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. Al-Ankabut : 69)
Memang dalam pengertian yang lebih umum, secara etimologis kedua kata ini, mujahadah dan ijtihad, sebagaimana dijelaskan dalam Munjid al-Thulab memiliki arti yang sama, yakni pengerahan segala kemampuan.Dalam pengertian khusus, mujahadah secara fisik disebut jihad, sementara mujahadah dengan akal dinamakan ijtihad. Sementara secara terminologi, para ulama’ mengajukan beberapa definisi yang secara redaksional beragam, namun tidak mengandung perbedaan yang prinsipil, bahkan antar definisi saling menguatkan satu sama lain. Beberapa definisi tentang ijtihad dimaksud antara lain :
Pertama, definisi yang di ajukan oleh Imam Al-Syaukani :
ﺒﺫﻞﺍﻠﻮﺴﻊﻓﻰﻨﻴﻝﺤﻜﻢﺸﺭﻋﻰﻋﻤﻠﻰﺒﻂﺮﻴﻘﺔﺍﻻﺘﻨﺒﺎﻂ
Mengerahkan segala kemampuan dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat amali melalui cara istimbath. Definisi ini menggunakan kata bazlul wus’i untuk menjelaskan bahwa ijtihad itu adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini berarti bahwa bila usaha itu ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak sungguh-sungguh, maka tidak termasuk dalam kategori ijtihad. Sementara penggunaan kata syar’i mengandung arti bahwa yang di hasilkan dalam usaha ijtihad adalah hukum syar’i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia. Penggunaan term ini untuk membedakan pengertian ijtihad sebagai usaha menemukan sesuatu yang bersifat aqli, lughawi dan hissi. Pengerahan kemampuan untuk kategori ini tidak dinamakan ijtihad.
Selanjutnya difinisi ini juga menyebutkan cara menenukan hukum syara’ dengan metode istimbath, yang berarti mengeluarkan sesuatu dari dalam kandungan lafadz. Artinya bahwa, ijtihad adalah usaha memahami lafadz dan mengeluarkan hukum dari lafadz tersebut. Kata istimbath berasal dari kata nabath, yanbuthu, yang berarti ”air yang mula-mula keluar dari sumur yang digali”. Kata kerja tersebut, kemudian dijadikan
Bentuk transitif, sehingga menjadi anbatha dan istanbatha, yang berarti ”mengeluarkan air dari sumur (sumber tempat tersembunyinya air).Sementara secara istilah adalah mengeluarkan hukum-hukum fiqih dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah melalu kerangka teori yang di pakai oleh ulama’ ushul, sehingga term istimbath identik dengan ijtihad. Lebih jauh Ali Hasballah melihat, bahwa ada dua cara ulama’ ushul dalam melakukan istimbath, yakni : 1) pendekatan melalui kaedah kebahasaan dan 2) pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syari’at (maqashid al-syari’ah)
Kedua, definisi yang di ajukan Ibn Subki :
ﺍﺴﺗﻔﺮﺍﻍﺍﻠﻔﻘﻴﻪﺍﻠﺴﻊﻟﺘﺤﺻﻴﻝﻈﻦﺒﺤﻜﻢﺸﺭﻋﻰ
Pengerahan segala kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i. Jika dibandingkan dengan definisi yang di kemukakan oleh al-Syaukani, maka Ibnu Subki menambahkan lafazh al-faqih sesudah kata bazlu, dan kata zhan sebelum kata hukum syar’i. Dengan penambahan kata faqih mengandung pengertian bahwa yang mengerahkan kemampuan dan melakukan ijtihad itu bukanlah sembarang orang, melainkan hanya di lakukan oleh orang yang mencapai derajat tertentu dan memiliki kualifikasi yang di sebut faqih, karena orang faqihlah yang dapat berbuat demikian.
Kata zhanmengandung pengertian bahwa hasil yang di capai oleh usaha ijtihad itu hanyalah dugaan kuat tentang hukum Allah Yang Maha Mengetahui maksudnya secara pasti. Jadi jika ada firman Allah yang pasti menjelaskan tentang status hukumnya, maka tidak perlu ada ijtihad lagi.
Ketiga, definisi yang diajukan oleh Saif al-Din al-Amidi dari kalangan ulama’ Syafi’iyah, yakni :
”mencurahkan kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat zhanni, sehingga ia tidak mampu lagi mengusahakan yang lebih dari itu”. Dari rumusan-rumusan diatas, terlihat bahwa ijtihad dalam konteks hukum Islam adalah pengerahan kemampuan intelekual secara optimal untuk mendapatkan status hukum amali suatu persoalan pada tingkat zhanni. Kata amali memiliki pengertian bahwa pembahasan ijtihad hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat operasional, sementara pada aspek yang bersifat teoritis (nazhariyah) tidak termasuk dalam kategori ini. Sedangkan yang dimaksud dengan kata zhanni adalah, bahwa persoalan yaitu diijtihadi itu masih memungkinkan untuk di lakukan interpretasi, bukan sesuatu yang pasti atau pasti atau qath’iy, sehingga hasil dari suatu ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid dengan demikian bersifat relatif dan mutlak kebenarannya. Sebagai mujtahid yang lain untuk mengembangkan kreatifitas penalaran dalam rumusan istimbath hukum terhadap sautu persoalan hukum.
Ijtihad sebagamana telah di paparkan di atas, merupakan konsep fundamental ajaran Islam sebagai sarana agar ajaran Islam selalu dapat berdialekta dengan realitas kehidupan dalam menjawab persoalan-persoalan yang timbul sebagai konsekuwensi logis dari ajaran Islam yang berfungsi membawa rahmat bagi alam semesta dan selalu dapat beradaptasi dengan dimensi ruang dan waktu (sholihun li kulli zaman wa makan).
B. Mazhab
Secara etimologis, kata mazhab, berasal dari sighat masdar mim (kata sifat) dan Isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi Dzahaba, yang berarti pergi, dan bisa juga berarti al-ra’yu, yang berarti pendapat.Menurut Ibrahim Hosein, Mazhab secara etimologis memiliki paling tidak tiga macam pengertian, yaitu : 1) pendirian, kepercayaan, 2) sistem atau jalan, dan 3) sumber, patokan dan jalan yang kuat diberarti jalanj, aliran atau juga berarti paham yang dianut. Sedangkan secara terminologis, mazhab adalah jalan pikiran (pendapat) yang di tempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di samping itu, mazhab juga dipahami dengan school, yang dalam bahasa arab dipahami sebagai madrasah fikriyah atau mazhab al-aqli. Jadi, mazhab esensinya adalah aliran pemikiran atau school of thought.
Secara histories, polarisasi mazhab dalam Islam dapat diidentifikasi menjadi dua kelompok besar, yaitu ahl al-ra’y dan ahli al-hadits, atau biasa dikenal sebagai faksi Kufah dan faksi Hijaz. Faksi pertama, diwakili oleh Imam Abu Hanifah, seorang faqih dan ulama’ yang lebih banyak menggunakan forsi ra’yu, atau paling tidak lebih cenderung rasional dalam pemikiran ijtihadnya.Sementara faksi kedua, diwakili oleh Imam Malik bina Anas ibn Amr, seorang faqih dan ulama’ yang lebih banyak menggunakan al-Hadits dan tradisi masyarakat Masinah sebagai referensi dalam pemikiran ijtihadnya. Sedangkan Imam Syafi’I, di kenal sebagi sintesa antara dua faksi ini, walaupun lebih cenderung kepada ahli al-Hadits dan Imam Ahmad Ibn Hanbali juga masuk dalam faksi ahl al-Hadits, karena ia seorang Muhadditsin, di samping juga sebagai mujtahid mustaqil, namun pola istimbathnya lebih dekat kepada metodologi gurunya, Imam Syafi’i. Secara sosiologis timbulnya berbagai mazhab dalam hokum Islam dipengaruhi oleh setting sosio-historis, dan sosio-sosial yang melingkupi para imam Mazhab dalam proses istimbath hukumnya. Di samping itu, Muhammad Syaltout dan Muhammad Ali Al-Sayis, mengidentifikasi beberapa factor yang menyebabkan timbulkan berbagai mazhab, antara lain :
- Perbedaan pemahaman tentang lafadz nash. Para ulama’ berbeda dalam memahami lafadz nash, karena bisa jadi suatu lafadz biasanya memiliki makna hakiki dan majazi. Sebagai contoh, lafadz quru’, adalah lafadz musytarak, sehingga fuqaha Hijaz mengartikan dengan arti ”suci”, sementara fuqaha Irak, memahaminya dengan ”haid”
- Perbedaan dalam masalah hadits. Perbedaan ini terjadi, karena ada hadits yang sampai kepada sebagian fuqaha dan tidak sampai keapda fuqaha yang lain. Di samping perbedaan dalam menilai kualitas sebuah hadits yang absah dijadikan basis argumentasi dalam ber-istidlal.
- Perbedaan dalam pemahaman dan penggunaan qaidah lughawiyah nash. Para fuqaha berbeda dalam memahami apakah suatu lafadz al’am itu qath’i atau zhanni. Sebagian memahami bahwa lafadz al-’am itu bersifat qath’i jika tidak ada takhsish-nya, sementara yang lain memahaminya sebagai zhanni bukan qath’i.
- Perbedaan dalam mentarjihkan dalil-dalil yang berlawanan (ta’arud). Para fuqaha berbeda pendapat, ketika terjadi pertentangan antara dua dalil dan cara penyelesaiannya melalui tarjih. Sebagian fuqaha mengatakan bahwa, pada dasarnya tidak ada pertentangan antar dalil, kecuali hanya pertentangan dalam pemahaman para mujtahid. Sementara fuqaha yang lain, memang mengakui adanya pertentangan sehingga harus dicarikan metode penyelesaiannya melalui tarjih.
- Perbedaan dalam qiyas. Perbedaan ini bukan hanya antara yang menolak qiyas sebagai dalil hukum, tetapi juga antara yang menerima qiyas pun terjadi perbedaan, terutama dalam intensitas penerimaannya.
- Perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil hukum. Dalil hukum di bagi menjadi dua bagian, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Dalil naqli, adalah dalil-dalil al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan dalil naqli, adalah dalil berdasarkan ijtihadiyah. Berkaitan dalil yang di sebut terakhir ini, para ulama’ berbeda dalam penerimaannya sebagai basis ber-istidlal.
- Perbedaan dalam pemahaman illat hukum dasn nasakh. Illat hukum, merupakan dasar bagi penetapan suatu ketentuan hukum syara’. Para fuqaha berbeda dalam penetapan illat, dan mereka juga berbeda dalam nasakh, yaitu penghapusan suatu hukum dengan ketentuan hukum yang datang kemudian.
Di samping empat mazhab fiqh yang di sebutkan di atas, terdapat sejumlah mazhab fiqh lain, seperti mazhab Zahiri, Thabari, Laits, dan sebagainya. Namun saat ini mazhab-mazhab tersebut kurang berkembang, karena sedikit pengikutnya. Sedangkan di luar kelompok Sunni (Ahlus sunnah wal jama’ah) terdapat mazhab Syi’ah, yang terdiri dari dua mazhab besar, yaitu Syi’ah Imamiyah yang terdiri dari dua belas imam dan mazhab Syi’h Zaidiyah. Untuk mengamati fenomena eksitensi sautu mazhab, biasanya menggunakan teori back-ward projection. Menurut teori ini, suatu mazhab dapat di terima dan diapresiasi oleh masyarakat jika berasal dan memiliki referensi tokoh yang terkenal adan popular dalam masyarakat. Dalam konteks bermazhab, terlihat bahwa eksistensi mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali memiliki bais dan elan vital yang kuat dalam komunitas masyarakat Islam, karena para murid dan pengikut mazhab-mazhab tersebut mengapresiasi dan mengembangkan sehingga konstruksi mazhab tersebt semakin mengakar.
C. Taklid
Taklid, secara etimologis diambil dari akar kata al-qaladah, yaitu kalung yang di sematkan seseorang kepada orang lain. Orang yang taklid berarti telah membebankan seluruh tanggung jawab hukum ke pundak mujtahid yang ia ikuti, seperti kalung yang di sematkan seseorang ke leher orang lain. Sedangkan secara istilah, sebagaimana dikemukakan oleh al-Syaukani, taklid berarti mengamalkan ucapan orang lain tanpa didasari oleh suatu dalil. Berdasarkan pengertian ini, maka taklid adalah mengamalkan pendapat orang lain, tanpa mengetahui landasan dan basis argumentasi yang di gunakan.
Lebih jauh al-Syaukani mengomentari persoalan ijtihad dan taklid ini dengan mengatakan bahwa, ijtihad wajib atas orang yang memiliki kualifiaksi mujtahid dan melarang taklid berdasarkan atas kandungan ayat al-Qur’an :
Artinya : “............Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)..............” (Q.S. An-Nisaa’ : 59)
Menurut Al-Syaukani, Allah tidak memerintahkan kembali kepada pendapat seseorang dalam masalah agama, tetapi diperintah-Nya kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian, maka seseorang harus dapat memetik kandungan Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan cara melakukn istinbath. Akan tetapi, jika suatu permasalahan tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka ia harus melakukan ijtihad bi al-ra’yi, sebagaimana disyari’atkan oleh hadits yang di riwayatkan dari Mu’az bukan dengan pendapat orang lain, tanpa reserve. Pandangan al-Syaukani ini dapat diterima oleh para pengikut mazhab yang empat. Namun persoalannya kemudian adalah, bagaimana jika kasus ini terjadi pada orang awam, apakah mereka tetap melakukan ijtihad ? dalam konteks ini, para pengikut imam Mazhab yang empat mewajibkan bagi orang awam untuk bertaqlid kepada salah seorang mujtahid. Menurut mereka, orang awam yang tidak memiliki pengetahuan sedikit pun tentang hukum Islam, mustahil dapat melakukan ijtihad ; dan jika mereka tetap juga di wajibkan melakukan ijtihad, maka akan terjadi kekacauan hukum dalam masyarakat atau dapat mengakibatkn terbengkalainya berbagai sektor kehidupan, karena setiap orang sibuk mempersiapkan diri untuk melakukan ijtihad. Mengomentari hal ini, al-Syaukani berpendapat bahwa, seseorang yang belum mencapai peringkat mujtahid, maka ia tidak boleh, hanya bertaklid dengan pendapat (ra’y) mujtahid, melainkan ia harus meminta keterangan dan argumentasi dalil-dalil berupa ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah yang dijadikan dasar atas fatwa hukum yang dikeluarkan mujtahid tersebut. Cara ini telah di praktekan oleh masayarakat awam pada masa sahabat dan tabi’in, mereka tidak berhenti sebats memint para mujtahid di kalangan sahabat dan tabi’in, tetapi juga menanyakan alasan dan sumber pendapat mereka. Praktek ini tidak lagi disebut sebagai taklid, karena taklid adalah menerima pendapat orang laink tanpa mengetahui alasan/dasar dalilnya, dan hukum taklid adalah haram, tegasnya.
ANALISIS
Ijtihad adalah usaha besar yang mengerahkan segala kemampuan, bagaimanakan bila usaha itu ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak sungguh-sungguh? Maka ijtihadi yang di tempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak sungguh-sungguh adalah bukan termasuk kategori ijtihad.
Ibn Subki mengatakan bahwa ijtihad itu di lakukn oleh orang yang mencapai drajat tertentu dan memiliki kualifikasi yang di sebut faqih, karena orang faqihlah yang dapat berbuat demikian. Lalu bagiamana orang-orang yang bukan faqih hanylah takild saja tetapi yang mengetahui dasar hukumnya.
Bagaimana hukumnya taklid bagi orang awam ? bila mana dia mengamalkn suatu pendapat kalau minta penjelasan yang di sertai dengan dalil al-Qur’an/Sunnah. Maka ini di perolehkan, tetapi bilamana tanpa di dasari dengan dalil dan alasan hukum sebagai basis argumentasi, maka taklid seperti hukumnya haram. (taklid buta).
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ijtihad merupakan kewajban atas seorang mujtahid, yaitu seorang yang memiliki kualifikasi dan kapabilitas keilmuan untuk melakukn istinbath hukum.
Sedangkan bagi masyarakat awam yang tidak memiliki kualifikasi, maka kewajiban ini gugur, dan ia tidak boleh hanya bertaqlid kepada ulama’, namun ia dapat meminta penjelasan yang di sertai dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai alasan-alasan hukum. Metode ini tidak di pandang sebagai taklid, melainkan meningkat menjadi Ittiba’ yang di bolehkan dan mendapat justifikasi dalam hukum Islam. Jadi taklid yang di larang dalam Islam adalah mengamalkan ucapan (pendapat) orang lain tanpa didasari oleh suatu dalil dan alasan hukum sebagai basis argumentasinya. Taklid semacam ini biasa dikenal dengan sebutan taklid buta.
B. Penutup
Alkhamdulillahirabbil ‘alamin kami panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi yang telah memberikan hidayah serta Ma’unah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sangat sederhana, mohon saran dan kritiknya, makalah inSi jauh dari kesempurnaan akhir kata dari kami mohon maaf atas segala kekurangan.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.