, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Ijtihad dan taqlid dalam NU, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam. Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
SYARAT-SYARAT IJTIHAD.
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid
harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian
persyaratan itu yang terpenting ialah:
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat
al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan
pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk
menggali hukum.
2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits
Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia
sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali
hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah
ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang
hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan
dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an
dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam
bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik
dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam
al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan
ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh
(mansukh) untuk menggali hukum.
7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u
'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u
'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara
tepat.
8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia
dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat
diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai
suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang
lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui
sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan
ta'dil tajrih (screening).
9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan
deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum
dan sanggup mempertahankannya.
10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar
dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa
dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu
permasalahan yang akan diketahuinya.
B. Taqlid Dalam NU
Taqlid bagi NU, sesuai dengan pengertiannya yang telah ditulis dalam kitab-kitab Syafi'iyah, ialah mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa tahu dalil-dalilnya atau hujjahnya. Tentang status hukumnya, taqlid di bidang fiqih (bukan aqidah) ada beberapa pendapat yang cukup panjang pembahasannya. Dalam hal ini Dr. Said Ramadlan mengutip kata Imam Ibnu al-Qoyyim yang disetujui oleh beberapa ulama sebagai berikut. Bahwa telah lengkapnya kitab-kitab al-Sunan saja belum cukup untuk dijadikan landasan fatwa, tetapi juga diperlukan tingkat kemampuan istinbath dan keahlian berfikir dan menganalisa. Bagi yang tidak memiliki kemampuan tersebut, maka ia berkewajiban mengikuti firman Allah: fas'alu ahla al-dzikri in kuntum laa ta'lamun, yang salah satu pengertiannya adalah taqlid.
Ibnu Khaldun juga menceritakan, para Shahabat tidak semuanya ahli fatwa. Begitu pula para Tabi'in. Ini berarti sebagian para Shahabat dan Tabi'in yang paling banyak jumlahnya, adalah bertaqlid kepada mereka yang ahli fatwa. Tidak ada satupun dari sahabat dan tabi'in mengingkari taqlid. Irnam al-Ghozali dalam kitabnya al-Mustashfa mengatakan, para Shahabat telah sepakat (ijma') mengenai keharusan bertaqlid bagi orang awam.
Fatwa para mujtahid dan hukum-hukum yang telah dihasilkan dari istinbath dan ijtihadnya, telah absah sebagai dalil bagi kalangan ahli taqlid. Imam al-Syatibi mengatakan, fatwa-fatwa kaum mujtahidin bagi orang awam adalah seperti beberapa dalil syar'i bagi para mujtahidin. Itulah sebabnya, maka kita-kitab fiqih di kalangan ulama Syafi'iyah menjadi penting dan berkembang dalam ratusan bahkan rnungkin ribuan judul dengan berbagai analisis, penjelasan dan tidak jarang berbagai kritik (intiqad dan radd).
Kitab yang besar diringkas menjadi mukhtashor, nadhom dan matan. Sebaliknya, kitab yang kecil diberi syarah dan hasyiyahmenjadi berjilid-jilid. Sampai pun tokoh ulama Indonesia, Syeikh Mahfudh al-Tarmasi (dari Termas Jawa Timur) menulis hasyiyah kitab Mauhibah empat jilid, bahkan lima jilid (yang terakhir belum dicetak).
Kedudukan kitab-kitab tersebut menjadi seperti periwayatan dalam Hadits/al-Sunnah. Kalau dalam al-Sunnah ada mustanad riwayah; bi al-sama' kemudian bi al-qira'ah dan lalu bi al-ijazah, maka para ulama dalam menerima dan mengajarkan kitab-kitab itu pun menggunakan mustanad tersebut dengan silsilah sanad yang langsung, berturut-turut sampai kepada para penulisnya (mu'allif) bahkan sampai kepada Imam al-Syafi'i (atau panutan mazhabnya).
Bagi orang awam taqlid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam. Allah SWT berfirman :
وَمَاكَانَ اْلمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْاكَافَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِيْنِ وَلِيُنْدِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَارَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Artinya : “Tidak pantas orang beriman pergi ke medan perang semua, hendaknya ada sekelompok dari tiap golongan dari mereka ditinggal untuk memperdalam agama dan memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, mudah-mudahan mereka itu takut.” (QS At-Taubah: 122)
Dalam ayat ini jelas Allah SWT menyuruh kita untuk mengikuti orang yang telah memperdalam agama. Dalam ayat lain secara lebih tegas Allah SWT berfirman:
!ö 4 (#þqè=t«ó¡sù @÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. w tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ
Artinya : “Maka hendaknya kamu bertanya kepada orang-orang yang ahli Ilmu Pengetahuan jika kamu tidak mengerti.” (An-Nahl: 43)
Kepada siapakah kita bertaqlid? Kita bertaqlid kepada salah satu dari madzhab empat yang telah dimaklumi oleh seluruh Ahli Ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih.
Di samping itu telah dimaklumi pula ketinggian akhlaq dan taqwa mereka yang tidak akan menyesatkan umat. Mereka adalah orang yang takut kepada Allah SWT dan telah meletakkan hukum bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas. Namun, ketika kita boleh bertaqlid, bukan kemudian kita bertaqlid kepada sembarang orang yang belum mutawatir kemasyhurannya. Tentu taqlid semcam itu justru akan membawa kesesatan. Kita bertaqlid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlaq dan sikapnya sehari-hari, di mana fatwa mereka diyakini berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an :
3 $yJ¯RÎ) Óy´øs ©!$# ô`ÏB ÍnÏ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 3
Artinya : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah para Ulama.” (Fathir: 28)
Taqlid buta, atau taqlid kepada sembarang orang tentu dilarang oleh agama. Bagi mereka yang ada kesempatan dan kemampuan tentu wajib mengetahui seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqaha'. Namun, untuk mencapai derajat mujtahid barangkali sulit, walaupun kemungkinan selalu ada.
Mengenai "Taqlid" ini,justru dasar dari agama ini adalah Taqlid, karena taqlid berarti mengikuti atau memanut, namun orang orang wahabi memang tak mau memanut pada guru guru yg mempunyai sanad hingga Rasul saw, karena memang mereka tak punya guru, sanad mereka terputus.
maka mereka mengingkari taqlid, mereka lebih senang melihat dalil dari buku daripada taqlid kepada guru, padahal mencari dalil dari buku bukanlah sunnah, dan asal muasalnya iman dan syariah ini berdasarkan Taqlid sahabat pada nabi saw, lalu para tabi'in bertaqlid kepada sahabat, lalu tabi' tabiin bertaqlid kepada tabi'in, demikian seterusnya dari guru ke muridnya hingga kini.
maka mestilah kita mengikuti cara rasul saw yaitu bertaqlid kepada guru kita, dan lebih baik juga kalau tahu dalilnya,
namun disaat kita tak menemukan guru yg merupakan Ulama yg mengamalkan ilmunya, dan kita tak menemukan guru yg mempunyai sanad guru kepada nabi saw, maka kita tak boleh taqlid (memanut) kepada sembarang orang sebelum mengetahui dalilnya, karena bisa saja orang itu menipu, atau tak tahu apa apa, maka taqlid kita batil. (saya ambil dari Hb. Munzir di web majelisrasulullah)
C. Dampak Ijtihad dan Taqlid Dalam NU
Masalah ijtihad dan taqlid, merupakan salah satu isu besar yang direspons dengan antusiasme sangat tinggi di kalangan umat Islam. Betapa tidak, seluruh intelektual muslim terkemuka sejak abad ke-18 hingga ke-20 M, baik ulama reformis dan revivalis yang berideologi Islam, seperti Syah Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762), maupun intelektual modernis berideologi sekuler, seperti Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), senantiasa mendorong ijtihad di tengah umat dan bahkan mempraktikkannya. Semuanya sepakat ingin membuka dan bahkan mendobrak pintu ijtihad untuk mengatasi kemerosotan berpikir umat Islam yang telah berlangsung lama sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-4 H.
Namun sejauh ini usaha itu nampaknya belum berhasil secara gemilang. Buktinya, secara kuantitas, praktik ijtihad masih langka. Mujtahid masih sangat sedikit di tengah-tengah umat. Secara kualitas pun, konsep ijtihad itu sendiri kadang dipahami secara kurang tepat dan bahkan dipahami secara salah.
Tentang langkanya mujtahid, hal ini sangat jelas. Coba, apakah Anda tahu, siapa mujtahid yang ada di negeri Anda sekarang ini? Bahkan bukan hanya sekarang, sejak jaman keemasan Islam pun, jumlah mujtahid memang relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah ulama di bidang lainnya (hadits, tafsir, dan sebagainya). Hal ini wajar, sebab untuk menjadi seorang faqih (mujtahid) ilmu-ilmu yang harus dikuasainya sangat banyak sehingga tak banyak orang yang mau mencurahkan seluruh waktu hidupnya untuk menguasai ilmu-ilmu itu. Di masa kejayaan Islam itu, jumlah mujtahid kira-kira 10 % saja dari jumlah ulama di bidang-bidang ilmu keislaman lainnya. Abu Muhammad ar-Ramahurmuzy dalam kitab al-Fashil meriwayatkan dari Asy’at bin Anas bin Sirin,"Aku telah mendatangi kota Kufah maka aku lihat di dalamnya ada 4000 orang yang sedang mempelajari hadis, dan ada 400 orang yang menjadi faqih [mujtahid]." (Fathi Muhammad Salim, al-Istidlal bi azh-Zhanni fi al-‘Aqidah, Beirut : Darul Bayariq, 1994, hal. 32).
Tentang konsep ijtihad itu sendiri, kadang-kadang ia dipahami secara kurang tepat, sehingga malah menjadi kontraproduktif dengan upaya menggalakkan ijtihad di tengah umat. Pada masa Imam Suyuthi (849-911 H), berkembang pesat paham yang mengatakan bolehnya zuatu zaman kosong dari adanya mujtahid. Maka dari itu, ketika Imam Suyuthi memproklamirkan kepada publik bahwa dirinya adalah seorang mujtahid, masyarakat awam pun tidak percaya dan bahkan mengecam beliau dengan keras. Imam Suyuthi pernah mengumumkan,"Sungguh telah sempurna padaku alat-alat untuk berijtihad, alhamdu lillah. Kalau Anda menginginkan aku untuk menulis sebuah kitab untuk setiap masalah, lengkap dengan dalil-dalil naqli dan qiyasnya, disertai dasar-dasarnya, bantahan-bantahannya, jawaban-jawabannya, serta perbandingan pendapat di antara berbagai mazhab pada masalah itu, niscaya aku mampu untuk melakukannya, alhamdu lillah." (Imam Suyuthi, Husnul Muhadharah, Juz I hal. 339).
Imam Suyuthi pun kemudian meluruskan paham yang kurang tepat mengenai ijtihad tersebut dengan menjelaskan tidak bolehnya suatu zaman kosong dari mujtahid. Mujtahid wajib ada pada setiap masa. Beliau menulis kitab al-Radd ‘Ala Man Akhlada ila al-Ardh wa Jahila anna al-Ijtihad Fardhun fi Kulli ‘Ashrin(Bantahan Kepada Orang Yang Ingin Hidup Kekal di Bumi dan Tidak Tahu Bahwa Ijtihad Itu Fardhu Untuk Setiap Masa). Imam Suyuthi juga menulis kitab Taysir al-Ijtihad (Memudahkan Ijtihad), yang dimaksudkan agar umat tidak menganggap ijtihad sebagai hal yang super sulit, namun suatu hal yang mudah dan mungkin, selama syarat-syaratnya terpenuhi dengan sempurna.
Dalam kitab Taysir al-Ijtihad ini, Imam Suyuthi menukilkan beberapa riwayat yang menggugah. Antara lain beliau menukilkan perkataan Syaikh Muhibuddin --ayah Syaikh Taqiyuddin Ibnu Daqiqil ‘Ied-- dalam kitabnya Talqih Al-Afham yang berkata,"Menjadi mujtahid telah dianggap berat pada masa sekarang ini. Hal itu bukanlah karena sulitnya mencari alat-alat ijtihad, melainkan karena berpalingnya manusia dari kesibukan yang akan menghantarkan mereka pada ijtihad." Imam Suyuthi juga menukilkan pendapat sebagian ulama yang menegaskan,"Ijtihad pada zaman ini (zaman Imam Suyuthi, red), lebih mudah daripada zaman permulaan Islam, sebab alat-alat ijtihad berupa hadits-hadits dan lain-lain telah dibukukan dan mudah untuk dirujuk. Ini beda dengan zaman permulaan Islam, sebab saat itu tak ada satu pun alat-alat ijtihad yang terbukukan." (Imam Suyuthi, Taysir al-Ijtihad, Makkah : Maktabah Tijariyah, hal. 28).
Pada masa sekarang, kesalahpahaman tentang ijtihad lebih gila lagi. Kini ada kesalahpahaman ekstrem tentang ijtihad yang didemostrasikan sangat gamblang oleh kelompok Islam liberal (sekuler). Ini menjadi bukti lain belum berhasilnya upaya melahirkan ijtihad yang sahih di tengah-tengah umat. Kesalahan ekstrem ini jelas hanya akan menyesatkan umat dari hakikat ijtihad yang sebenarnya.
Menurut kaum liberal, ijtihad bukan dipahami sebagai usaha sungguh-sungguh untuk mengistinbath hukum syariah dari dalil-dalil syariah, melainkan sebagai upaya untuk menyesuaikan hukum Islam dengan realitas masyarakat yang telah diformat dalam citra ideologi kontemporer (kapitalisme-sekuler). Taufik Adnan Kamal dan Samsu Rizal Panggabean mengatakan,"Dalam debat-debat modern, pentingnya aplikasi ijtihaddikaitkan dengan kemungkinan yang diberikannya untuk menyegarkan pemahaman Islam dan hukum Islam selaras dengan kondisi masyarakat kontemporer." (Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta : Pustaka Alvabet,2004, hal. 196).
Benar bahwa ijtihad memang dimaksudkan untuk menghadapi tantangan zaman kekinian. Tapi bagi kaum liberal, ijtihad bukan dipahami sebagai upaya menghukumi realitas kontemporer dengan hukum Islam, melainkan upaya mengubah dan menyesuaikan hukum Islam agar cocok dengan realitas kontemporer. Dalam konsep ijtihad yang sahih, realitas tidak diasumsikan sebagai standar yang selalu dianggap benar. Sebab realitas itu bukanlah wahyu yang pasti benar, melainkan fakta yang tengah terjadi, yang bisa benar (sesuai wahyu) dan bisa juga tidak benar (menyimpang dari wahyu). Sebaliknya dalam benak kaum liberal, realitas telah dijadikan standar dan dianggap sebagai kebenaran mutlak, sedangkan wahyu diasumsikan sebagai sesuatu yang relatif dan harus mengikuti serta tunduk pada realitas itu.
Bukti yang jelas untuk cara berpikir merusak itu adalah adanya draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) yang dimaksudkan sebagai usulan RUU alternatif untuk mengganti Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama. Tapi alhamdulillah draft itu sudah dibatalkan oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni.
Namun yang menyedihkan, Ketua Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Dr Siti Musdah Mulia, yang memimpin penyusunan draft itu tanpa malu-malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI itu adalah hasil ijtihad. (Tempo, 7 Nopember 2004, hal. 47).
Padahal draft tersebut telah melahirkan sejumlah pasal yang menyeleweng jauh sekali dari Islam. Misalnya, mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLD KHI telah menundukkan hukum Islam di bawah realitas kontemporer yang dibentuk oleh nilai-nilai peradaban Barat, yaitu nilai-nilai gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi. Dengan kata lain, draft itu lahir sebagai hasil kesalahpahaman ekstrem dalam memahami hakikat makna ijtihad.
Senapas dengan konsep ijtihad di atas, konsep taqlid juga tak jarang kurang dipahami dengan baik oleh umat Islam. Tak jarang ulama memilih pendapat secara seenaknya tanpa kaedah dan tanpa standar. Fatwa ulama akhirnya ditundukkan kepada kepentingan dan hawa nafsu manusia. Kita masih ingat, pada pertengahan tahun 80-an, Prof KH Ibrahim Hosen LML (Komisi Fatwa MUI saat itu) mengeluarkan fatwa bolehnya judi undian PORKAS. Fatwa itu dimaksudkan untuk menyukseskan pembangunan, khususnya bidang olah raga. Padahal PORKAS jelas-jelas merupakan judi (maysir) yang haram hukumnya.
Selain itu, paham relativisme yang banyak bercokol di benak kaum liberal, menambah parah kesalahpahaman seputar taqlid ini."Semua adalah relatif (All is relative)," begitulah slogan mereka. Padahal slogan ini bukan dari ulama apalagi dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, melainkan dari Michael Fackerrell, seorang missionaris Kristen asal Amerika Serikat (Hamid Fahmi Zarkasyi, "Kebenaran", Majalah Islamia, Vol III, No. 1, Th 2006).
Yang repot, paham relativisme Kristiani itu akhirnya dimasukkan ke dalam wacana keislaman, lalu dihasilkan dikotomi begini : yang berasal dari Tuhan, absolut kebenarannya. Sedang kalau dari manusia, sifatnya relatif, siapa pun juga manusia itu. Maka pemahaman Imam Syafii, Imam Maliki, atau imam siapa pun, semua relatif. Dan karena semuanya relatif, kita boleh memilih atau bahkan membuang pendapat mereka dengan bebas.
Berangkat dari dikotomi yang absurd itu, kaum liberal akhirnya memasukkan "fatwa-fatwa" mereka agar dianggap bagian dari pendapat ulama yang boleh untuk ditaqlidi umat Islam. Hmm, enak benar,ya? Buku Fiqih Lintas Agama (2004) yang ditulis Nurcholish Madjid dkk (kaum sekuler) dan disponsori Yayasan Asia Foundation (dari Amerika) merupakan contoh upaya menjajakan "fatwa-fatwa" liberal dalam naungan konsep relativisme agama tersebut.
Tentu saja kaedah taqlid gaya liberal dengan dikotomi absolut-relatif itu tidaklah benar. Sebab bahwasanya Tuhan itu Maha Mengetahui dan pengetahuan-Nya absolut benar, itu sudah jelas. Maka tak perlu dimasukkan dalam dikotomi. Sebab dikotomi yang seharusnya kita miliki adalah dikotomi untuk pendapat di antara manusia, bukan antara "pendapat" Tuhan dan pendapat manusia. Selain itu, dikotomi sebelumnya itu sungguh tidak adil, karena meletakkan semua pendapat manusia dalam posisi yang sama (sama-sama relatif). Samakah pendapat orang berilmu dengan pendapat orang tak berilmu? Samakah ulama dengan juhala (orang bodoh)? Maka, dikotomi yang benar adalah, ada pendapat ulama yang benar dan kuat (yang layak ditaqlidi), dan ada pendapat ulama yang salah atau lemah (yang tidak layak ditaqlidi). Itulah dikotomi yang benar.
Nah, berkaitan dengan dikotomi itu, kehadiran buku Kaedah Taqlid Tuntunan Islam Dalam Mengikuti dan Memilih Suatu Pendapat, karya sahabat kami A. Said 'Aqil Humam 'Abdurrahman, patutlah disambut dengan gembira. Buku ini dengan tepat memberikan pencerahan mengenai kaedah-kaedah mengenai taqlid untuk membedakan mana pendapat ulama yang layak diikuti dan mana yang tidak. Selain itu, buku ini juga ingin berkontribusi dalam menjelaskan konsep ijtihad secara benar.
Semuanya bermuara pada satu keinginan besar untuk mengentaskan umat Islam dari kemerosotan berpikirnya yang sangat dahsyat, khususnya perihal aktivitas ijtihad dan taqlid. Buku ini kiranya sudah bisa dianggap berhasil, jika bisa menghasilkan para muqallid yang baik, bukan lagi muqallid bermasalah. Syukur-syukur bisa melahirkan para mujtahid yang cemerlang di kemudian hari. Insya Allah.
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Taqlid bagi NU, sesuai dengan pengertiannya yang telah ditulis dalam kitab-kitab Syafi'iyah, ialah mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa tahu dalil-dalilnya atau hujjahnya.
Masalah ijtihad dan taqlid, merupakan salah satu isu besar yang direspons dengan antusiasme sangat tinggi di kalangan umat Islam. Betapa tidak, seluruh intelektual muslim terkemuka sejak abad ke-18 hingga ke-20 M, baik ulama reformis dan revivalis yang berideologi Islam, seperti Syah Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762), maupun intelektual modernis berideologi sekuler, seperti Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), senantiasa mendorong ijtihad di tengah umat dan bahkan mempraktikkannya. Semuanya sepakat ingin membuka dan bahkan mendobrak pintu ijtihad untuk mengatasi kemerosotan berpikir umat Islam yang telah berlangsung lama sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-4 H.