, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sembilan pedoman politik NU, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PEMBAHASAN
A. NU Dan Politik
Persentuhan NU dengan politik dapat dikategorikan menjadi dua corak. Pertama, dalam bentuk institusional, formal, dan langsung. Kedua, dalam bentuk personal, tidak formal dan tidak langsung.
Sejarah politik NU secara monumental justru terjadi sejak 1984, ketika NU merumuskan kembali ke Khitah 1926 pada Muktamar Sitobondo. Inti khitah itu, pertama, NU tidak memiliki hubungan organisatoris dan berafiliasi dengan politik manapun.
Kedua, memberikan kebebasan kepada warganya berkiprah dalam politik. Kalangan pengamat menyebut gejala netral itu dengan istilah tidak terlibat dalam politik praktis. Artinya wilayah politik yang menjadi ranah permainan parpol yang memainkan fungsi-fungsi politik langsung dan formal.
Sejak 1984 itulah NU konsisten dalam mengambil jarak dengan partai politik, yang sering dikatakan pula sebagai sikap netral. Sejak itu pula muncul semacam keyakinan tertentu di kalangan elite dan warga NU bahwa NU tidak akan menjadi parpol, tidak mendirikan parpol dan tidak berafiliasi dengan partai mana pun.
Sikap netral itu hingga kini benar-benar tertanam kuat menjadi alam pikiran di kalangan NU sehingga dapat dikatakan sebagai ideologi politik atau budaya politik NU.
Ideologi atau budaya itu cocok dan memperoleh ruang yang subur pada Orba yang menempuh kebijakan depolitisasi dan deideologisasi yang memberikan kekhasan pada pragmatisme politik dan matinya kekuatan sosial politik di akar rumput yang memiliki basis ideologi.
Pada Pemilu 1999, NU melibatkan diri dalam arus reformasi dan hingga batas tertentu masuk suasana pesta pora politik. Orang-orang NU banyak masuk menjadi pengurus partai. PKB termasuk partai yang banyak didukung elite dan anggota NU, meski secara kelembagaan NU tetap berada di jalur Khitah 1926 dan keputusan PBNU yang terbaru adanya pelarangan jabatan. Tapi, larangan itu masih belum sepenuhnya berlaku.
Namun, kini mulai terasa imbas dari tarikan percaturan politik praktis yang gempita itu. Tenaga-tenaga dan energi NU banyak terkuras ke parpol, pada saat yang sama NU pun diklaim sebagai identik dengan PKB, kendati secara kelembagaan tetap netral.
PKB sebagai bentuk dari pilihan politik KH Abdurrahman Wahid (mantan Ketua Umum PBNU) memang memiliki kaitan moral dan kesejarahan politik tertentu dengan NU, sehingga banyak warga dan elite NU mendukung PKB. Namun belakangan ini terdapat gejala yang kurang sehat di tubuh PKB dengan NU.
Pertama, di beberapa wilayah dan daerah basis NU muncul gejala, kader NU yang diandalkan untuk menduduki eksekutif kalah bersaing dengan kader partai lain. Kedua, PKB sering diklaim sebagai "anak emas" NU oleh beberapa kader NU yang tidak duduk di struktur NU, dalam arti kader NU yang menyalurkan aspirasinya ke partai lain selain PKB.
Ketiga, baik politikus PKB maupun NU sebagai organisasi mengesankan berjalan sendiri-sendiri. Keempat, berbeda sekali dengan tokoh PKB KH Abdurrahman Wahid, tampaknya politikus PKB tidak begitu menonjol sebagai politikus yang gagah berani dan cerdas dalam memainkan politik.
Gejala politik yang tidak sehat itu menimbulkan kesan seakan NU dimanfaatkan secara politik. Ibarat pepatah "habis manis sepah dibuang," NU hanya menjadi batu loncatan bagi kader politik yang tidak begitu bertautan dengan kepentingan NU. Politik semacam itu jelas tidak menguntungkan NU, umat dan bangsa karena elite politik partai lebih bermain politik pragmatis.
Karena itu, agaknya NU perlu menghitung ulang sikap toleransinya dalam memberikan saham bagi kader politiknya, sekaligus dalam memberikan ruang bagi massanya yang selama ini dijadikan konstituen utama partai politik. NU tidak boleh memberi peluang untuk dijadikan sebagai sapi perah politik parpol dan elite politik manapun, termasuk PKB.
NU tidak boleh lagi memberikan keringanan politik apa pun kepada partai politik manapun, lebih-lebih dengan harga murah dan bahkan gratis. Jika NU sendiri maupun umat dan bangsa tidak secara signifikan memperoleh keuntungan politik.
B. Antipolitik
NU dengan kembali ke Khitah 1926, tidak berarti antipolitik sebab pada dasarnya politik itu penting dan setiap pihak berkepentingan dengan politik. Jika NU menjauhi politik, maka NU selain tidak akan memperoleh banyak hal dari politik, bahkan boleh jadi akan menjadi objek politik pihak lain.
Juga hanya dijadikan sapi perah para politikus oportunis dan kekuatan-kekuatan politik di luar. NU pun terkesan tidak bertanggung jawab jika di satu pihak menjauhi tetapi pada saat yang sama ingin memperoleh keuntungan dari keputusan-keputusan politik dalam kehidupan nasional. Karena itu, NU harus memandang politik sebagai sesuatu yang wajar.
Khitah 1926 harus diartikan bahwa NU tidak akan pernah menjadi parpol, tidak mensubordinasikan dan mengidentikkan diri dengan parpol dan tidak melaksanakan kegiatan-kegiatan politik.
Tetapi, khitah 1926 memberi keleluasaan kepada anggota NU untuk aktif di parpol dengan membawa misi NU dengan ketentuan tertentu dan secara kelembagaan memainkan fungsi sebagai kelompok kepentingan.
NU dengan fungsi kelompok kepentingan dapat memainkan kegiatan-kegiatan politik tidak langsung, yakni melalui fungsi-fungsi sebagai berikut:
1. Memberikan masukan, dukungan, tekanan, kontrol dan protes terhadap kebijakan politik pemerintah agar menguntungkan dan sebaliknya tidak merugikan kepentingan NU sendiri, umat dan bangsa.
2. Memberikan dukungan atau sebaliknya penentangan terhadap aktivitas politik yang dimainkan oleh partai-partai politik dengan kepentingan agar setiap parpol melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya dan mengutamakan kepentingan umat dan bangsa.
3. Melaksanakan partisipasi politik baik konvensional maupun nonkonvensional yang berada dalam kerangka fungsi kelompok kepentingan seperti melakukan lobi, membuat mosi, dan kegiatan-kegiatan lainnya tanpa berambisi mendukung orang-orangnya di jabatan pemerintahan.
4. Jika NU berkepentingan dengan jabatan-jabatan publik di pemerintahan maka fungsi itu dapat diamanatkan melalui parpol yang satu haluan dengan misi NU. Karena itu dalam kondisi tertentu tidak ada salahnya NU memberikan dukungan politik yang terbuka manakala hal itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
5. Pada situasi politik tertentu, yang penting NU dapat menyatakan sikap tegas terhadap pemerintah atau menyatakan sikap mendukung politik tanpa harus kehilangan jati diri seperti sikap dalam menghadapi reformasi 1998 di mana NU nyaris tidak begitu jelas dalam mengambil posisi.
6. Melakukan koordinasi dan pengorganisasian terhadap kader politikus NU dari berbagai parpol untuk kepentingan misi NU dan kemaslahatan umat dan bangsa.
7. Melaksanakan pendidikan politik yang bermoral dan beradab sebagai sumbangan pembangunan sistem politik yang demokratik dan berkeadaban
Dimuat Suara Merdeka, 11 Mei 2002
C. 9 Pedoman Politik NU
Inilah 9 (sembilan) Pedoman Politik Warga NU. Nahdlatul Ulama (NU) memang sulit dipisahkan dari dunia politik, karena organisasi ini sudah puluhan tahun berkutat di dalamnya. Namun berpolitik menurut NU memiliki kriteria dan tujuan sendiri, bukan dilakukan dengan segala cara hanya sekadar untuk meraih kekuasaan. Dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta (1989) dirumuskan 9 (sembilan) Pedoman Politik Warga NU, yaitu garis-garis pedoman untuk melangkah bagi kaum Nahdliyin yang menerjuni dunia politik dengan tetap menjunjung tinggi Khitthah Nahdlatul Ulama. Di lingkungan NU juga dikenal istilah Politik Kebangsaan, Politik Kerakyatan danPolitik Kekuasaan. Berikut ini 9 Pedoman Politik Warga NU dimaksud: 1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-angkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai aural ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Ahlussunnah Waljamaah.
7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
8. Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal batik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.
Di sela-sela Muktamar NU ke-31 di Donohudan, Solo (2004), K.H. MA Sahal Mahfudz mengkategorikan politik NU menjadi tiga bagian:
1. Politik Kebangsaan, tujuannya membela Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Politik Kerakyatan, tujuannya membela rakyat.
3. Politik Kekuasaan, tujuannya mencari kekuasaan.
NU tidak boleh digunakan untuk mencari kekuasaan. Adapun warganya, tidak dilarang berpolitik, tapi ada aturan, etika dan pedoman, misalnya tidak boleh membawa institusi NU.
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Berikut ini 9 Pedoman Politik Warga NU dimaksud:
1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-angkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai aural ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Ahlussunnah Waljamaah.
7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
8. Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal batik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
http://pcnucilacap.com/9-pedoman-politik-warga-nu