, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Ruang lingkup aswaja, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup Aswaja
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, rnaka ruang lingkup Aswaja berarti ruang bngkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, flqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek akidah. Aspek mi krusial karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al-Asyari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagi koreksi atas pemikiran teologi Mutazilah dalam beberapa hal yang dianggap bidah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asyari. Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi ( W. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi AsyTariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai Imam penyelamat akidah keimanan,karena karya pemikiran dua imam ni tersiar keseluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi SAW serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham yaitu Imam al-Thohawi (238 H — 321 H) di Mesir, akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan rumusan akidah Imam Asyari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.
Secara materill banyak produk pemikiran Mutazilah yang karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (taqdimu al-‘Aql ‘ala al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehQq sarat dengan bidah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang Dada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk madzhab. Karena itu secara historis, term aswaja baru dianggap secara resmi muncul dan periode mi.
Setidaknya dan segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib KW tetapi dan segi fisik dalam bentuk madzhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi dan al-Thahawi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dan disiplmn ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah, dalan fiqh adalah madzhab empat dan dalam tasawuf adalah al-Ghozali dan ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.
Ruang Iingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah SWT, dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Dalam konteks historis, ruang Iingku yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dan empat madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafil dan Hanbali. Secara substantif, ruang Iingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dan empat madzhab diatas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Quran, Hadits, Jima dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdimul al-Nash ‘ala al-‘Aql (mengedepankan daripada akal).
Ruang lingkup ketiga dan Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang Iingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghozali, Yazid al-Busthomi dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama ulama sufi yang sepaham. Ruang flngkup ketiga mi dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam din seseorang. Iman menggambarkan keyakmnan, sedang Islam menggambarkan syariah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain. mi yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artmnya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang Iingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yankedua, sehingga keberadaannya sama Dentinclnya dencian keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil diantara kelompok dan madzhab dalam Islam.
Pertama, dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakmni al-Quran dan al-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam.
Kedua, para ulama dan masing-masing kelompok tidak ada yang berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan Allah SWT, kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi mereka berbeda daIan beberapa hal diluar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda didalam manhaj bepikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan teks-teks sunnah.
Masing masing tirqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj sendmni-sendmni. Mutazilah disebut kelompok liberal dalam Islam. Keliberalan Mutazilah, berpangkal dan paham bahwa akal sebagal anugerah Allah SWT, memiliki kekuatan untuk mengetahul hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Sementara bagi kelompok Asy’ariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahum hal tersebut, kecuali ada petunjuk dan naqi atau nash. Kelompok Maturidiyah sedikit lebih “menengah° dengan pernyataanya, bahwa perbuatan manusia mengandung efek yang disebut balk atau buruk, apa yang dinyatakan oleh akal balk, tentu a adalah balk, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk
Jika manhaj-manhaj mi dihubungkan dengan akidah, maka peran akal dan naqi berkaitan dengan masalah-rnasalah ketuhanan, jika dikaitkan dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naq berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau tasawuf, maka akal dan naqi berhubungan dengan hubungan spiritual antara manusia dengan tuhannya. Baik dalam ruang lingkup akidah, fiqh dan tasawuf, Aswaja memiliki prinsip manhaj taqdimu al-nash ‘ala alnaql. Maka paham keagamaan Aswaja dengan manhaj seperti itu selalu berorientasi mengedepankan nash daripada akal. Berbeda dengan paham Mutazilah, meskipun sama-sama mengacu pada nash, Aswaja tidak terlalu mendalam dalam menggunakan pendekatan akal, sehingga tidak memberikan akses, bahwa nash dalam agama hams sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal, tetapi akal hanyalah menjadi alat bantu untuk memahami nash yang karena itu penafsiran nash agama tidak selalu harus sejalan dengan akal. Meskipun dengan pertimbangan yang matang sekalipun, akal seringkali salah daya tangkapnya.
B. Bidang Istinbath Al-Hukm (Pengambilan Hukum Syari’ah)
Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’
4. Qiyas
AI-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath ai-hukrn) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqii posisinya tidak diragukan. A1-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.Sementara As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam A1-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dan apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.AsSunnah sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal (masyhur) ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat AsSunnah tersebut dilakukan oleh Ijma’ Shahabah.Menurut Abu Hasan AU Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok iegislatjf (ahi al-haiti wa ai-aqdz) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukurn dan suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang rnukailafdari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dart suatu kasus. Dalam AI-Qur’an dasar Ijrna’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: 115 “Dan barang siapa menentang rasul sesudah jetas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mu/cp!j, Karni biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang teiah dikuasainya itu dan Kami rnasukkan ia ke daiarn Jahannam, dan Jahannarn itu seburuk-buruk tempat kembali” dan ”Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
Menurut Syekh Abu at-Fad! ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya “Al- Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah” (kitab mi telab disahkan oleh Muktamar NU ke XXIII di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jama’ah sebagi kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw dan thoriqoh para sahabatnya dalam ha! akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh ‘Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, prilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian fama’ah adalah sega/a sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa’ arRasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”
Secara historis, para imam Aswaja dibidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi SAW sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah ‘AN bin Abi Thahb RA, karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan pendapat Qodariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Dimasa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya “Risalah Bali ghah fi Raddi Qodariyah”. Para mujtahid flqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang paham-paham diluar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar”, Imam Syafi’i dengan kitabnya ‘Ti Tashihi alNubuwwah wa al-Raddi ‘ala al-Barohimah “.
Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H — 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oteh Imam al-Asy’ari, tetapi beliau adalah salah satu diantara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dan disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama ‘ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pen gikut rumusan yang di gagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghozali, Abu Yazid al-Bisthomi, Imam al-Junaydi dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah
Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dan kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantmf. Diantara teks-teks Hadits Aswaja adalah:
“Dan Abi Hurayrah RA. Sesungguhnya Rasu/ullah SAW bersabda: Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 go/on gan. Semuanya masuk neraka kecuali satu. Berkata para saha bat: “Siapakah mereka wahal Rasulullah?”