, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Qodariyah, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan pemikiran teologi dalam dunia Islam kian hari kian menjamur, tak pelak kadang hal ini menimbulkan berbagai pertentangan pemahaman antar kelompok, masing-masing kelompok mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan dalil-dali yang begitu meyakinkan baik dalil tersebut bersumber dari nash-nash agama (Naqli) maupun yang bersumber dari pemikiran rasional (Aqli) semuanya mengklaim bahwa mereka yang paling benar diantara pemahaman kelompok yang lain.
Perbedaan pemahaman ini sudah terjadi dari sejak masa-masa keemasan islam, terutama pada tahun 70 Hijriyah dimana pada waktu itu muncul dua golongan besar yang mempertentangkan tentang takdir dan kekuasaan manusia dalam segala tindak tanduknya. Kedua golongan ini dikenal dengan istilah Qadariyah dan Jabariyah, dimana kedua golongan ini sama-sama mempertahankan pendapatnya masing-masing yang jauh bersimpangan diantara keduanya, bahkan kalau bisa dikatakan kedua golongan ini di ibaratkan langit dan bumi.
Kelompok yang satu mengatakan bahwa manusia tiada memilki daya dan upaya untuk menentukan nasibnya, semuanya tergantung pada takdir Tuhan, dan manusia tidak dituntut untuk mempertanggung jawabkannya, sedangkan kelompok lainnya berpendapat sebaliknya yaitu Tuhan tidak ikut campur dalam penentuan nasib manusia, melainkan tergantung sejauh mana usaha manusia itu untuk menentukan perjalanan hidupnya, namun demikian manusia dituntut untuk mempertanggung jawabkan segala apa yang telah ia perbuat.
Dalam perjalanan pemikiran Islam dari jaman munculnya kedua kelompok ini sampai saat ini faham kedua kelompok ini terus saja menjadi perbincangan dikalangan ulama’ dan para pemikir kontenporer, hal ini kemungkinan besar adalah disebabkan kedua faham ini dianggap bertentangan dengan nash-nash syari’at walupun benar salahnya kedua pemahaman ini masih belum dapat dipastikan, hal ini diakibatkan karena perbedaan interpretasi dari teks-teks agama dan perbedaan teks-teks agama yang dijadikan dasar pijakan berfikir oleh masing-masing kelompok.
Berangkat dari hal tersebut diatas maka penulis memutuskan mengangkat judul “Analisis Kritis Terhadap Pokok-Pokok Pemikiran Qadariyah”
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis dapat merumuskan beberapa masalah yang akan dijadikan pokok pembahasan dalam penulisan makalah ini, diantaranya:
1. Apa Yang dimaksud dengan Qadariyah
2. Bagaimana latar belakang kemunculan aliran Qadariyah?
3. Seperti apakah faham-faham qadriyah?
4. Dapatkah kita menjadikan faham Qadariyah sebagai pijakan dalam kehidupan beragama?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini adalah sebuah tulisan yang disusun dan direncanakan oleh penulis, hal ini menunjukkan bahwa ada tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penulisan makalah ini, tujuan-tujuan tersebut adalah:
1. Mengetahui Esensi Qadariyah
2. Mengetahui latar belakang kemunculan aliran Qadariyah
3. Mengetahui Faham-Faham Qadariyah
4. Menganalisis pokok-pokok pemikiran Qadariyah benar atau tidaknya pemahaman seperti ini menurut nash-nash agama atau malah sebaliknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Qadariyah
Secara etimologi kata Qadariyah berasal dari suku kata Qadara yang mempunyai arti kemampuan dan Kekuatan adapun secra terminology “Qadariya” adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala perbuatan manusia tidak di intervensi oleh Tuhan Perlu diperhatikan bahwa di sini penulis menggunakan istilah Qadariyah untuk orang-orang yang mendukung aliran “kebebasan kehendak manusia” demi mengikuti istilah yang dikenal di kalangan para ahli teologi Islam, seperti pada galibnya dimaksudkan dalam kebanyakan riwayat. Padahal kata Qadariyah ini kadang-kadang juga digunakan oleh sebagian ahli ilmul-kalam dan pada sebagian riwayat, guna menunjuk kepada kaum Jabariyah yang tidak mengakui kebebasan kehendak manusia. Saling klaim ini mungkin diakibatkan oleh kata dasar yang digunakan dalam istilah Qadariyah, karena jika قدر yang dimaksud disini mempunyai arti berkuasa, maka Qadariyah adalah orang-orang yang percaya akan kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidupnya, dan jika قدر yang dimaksud disini adalah menentukan, maka Qadariyah berarti adalah orang-orang beranggapan bahwa manusia adalah makhluk pasif, semua yang dikerjakannya tergantung pada ketentuan Tuhan (takdir).
Dalam kenyataannya, mereka semua, baik yang mendukung teori Jabariyah (determinisme takdir) yang menyatakan adanya kekuasaan takdir secara umum (menyeluruh), ataupun orang-orang yang mendukung teori kebebasan manusia dan penafian peran takdir dalam perbuatan-perbuatan manusia; menghindarkan diri dari sebutan Qadariyah ini, seraya menjuluki kelompok lainnya dengan nama tersebut. Rahasia sikap ini ialah adanya riwayat hadis Rasul saw. yang menyebutkan: “Kaum Qadariyah adalah Majusinya umat ini.” (H.R. Abu Daud) Karena itu, kaum Jabariyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “kaum Qadariyah” ialah orang-orang yang mengingkari qadar (takdir) Ilahi, sementara lawan-lawan mereka berkata bahwa kaum Qadariyah ialah orang-orang yang mengembalikan segala sesuatu, harta perbuatan manusia, kepada qadha dan qadar. Namun penulis mengikuti kebanyakan ulama’ yang mengatakan, bahwa Qadariyah adalah kelompok yang menafikan keberadaan takdir akan setiap tindak tanduk manusia.
Mungkin penyebab lebih dikenalnya sebutan Qadariyah untuk para pengingkar takdir adalah :
- Tersebar luasnya mazhab Asy’ariyah, sehingga menjadikan kaum Mu’tazilah sebagai minoritas di hadapan kaum Asy’ariyah yang mayoritas.
- Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama Majusi. Sebab, yang diketahui bahwa kaum Majusi membatasi takdir Ilahi hanya pada apa yang mereka namakan “kebaikan” saja, sedangkan “kejahatan” berada di luar takdir Ilahi, dan bahwa pelakunya adalah wujud setan pertama yang mereka namakan Ahriman .
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Qadariyah. adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah.
Orang yang mula-mula menfatwakan faham Qadariyah ini adalah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad Dimasyqi. Ma’bad al-Juhani sendiri adalah seorang tabi’in generasi kedua sesudah nabi Muhammad yang pernah belajar bersama Wasil bin Atha (Imam kaum muktazilah) kepada Syaikh Hasan Basri di Basrah, sedangkan Ghailan Al-Damisyqi adalah penduduk kota Dimsyaq (Syiria), bapaknya adalah salah seorang yang pernah bekerja pada Khalifah Utsman Bin Affan. Ia datang ke Dimsyaq pada masa Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik, salah seorang Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 105 sampai 125 H. selain sebagai seorang tokoh Qadariyah Ghailan juga adalah pemuka golongan Murji’ah dari kelompok Al-salihiah.
Sedangkan menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah sorang tabi’ien yang baik tetapi ia kemudian bermain diranah politik dan memihak Abd. Rahman Ibn al-Asy’as Gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasan dan system pemerintahan Bani Umayyah, dan pada saat pertempuran melawan Al-Hajjaj akhirnya Ma’bad mati terbunuh hal ini terjadi pada tahun 80 H.
Hal inilah yang memungkinkan Yusran Asmun berpendapat, bahwa munculnya pemahaman Qadariyah jika dipandang dari sudut pandang politik adalah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, hal ini dikarenakan kehadiran kelompok Qadariyah diwilayah kekuasaanya selalu mendapatkan tekanan, bahkan pada waktu Abdul Malik Bin Marwan memegang tampuk kekuasaan, kelompok ini bisa dikatakan lenyap sama sekali, tapi hanya untuk sementara, sebab dalam perkembangan selanjutnya pokok-pokok pemikiran ini kembali merebak saat munculnya kelompok Mu’tazilah.
Setelah kematian sahabatnya, Ghailan meneruskan misi besarnya dalam menyebar-luaskan faham Qadariyah, hal ini kemudian mengundang reaksi keras dari kalangan pemerintah yang pada waktu itu dipimpin oleh Umar Bin Abd. Aziz. Setelah, Umar Bin Abd. Aziz meninggal Ghailan terus menyebarkan ajarannya, hingga akhirnya maut pun menjemputnya ketika pemerintah menjatuhkan hukuman mati padanya pada masa pemerintahan Hisyam Bin Abd. Malik (724-743 M.).
Menurut Rosihon Anwar & Abdul Rozak berdasarkan penemuan dokumen W. Montogomy Watt yang ditulis oleh Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang di-publikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933, faham Qadariyah terdapat pada kitab Risalah yang ditulis oleh Hasan Al-Basri untuk Khalifah Abdul Malik pada tahun 700 M.
Namun demikian, kelompok ini diperkirakan muncul pada tahun 70 H. bertepatan dengan tahun 689 M. adapun tempat yang menjadi markas dari penyebaran faham kelompok ini masih terjadi perselisihan pendapat diantara kalangan para sejarawan Islam, ada yang mengatakan di Irak dan ada yang mengatakan di Baghdad, kemungkinan kebenarannya sama-sama besar karena pada abad ke II dan ke III H. didua tempat inilah terjadinya pergolakan pemahaman.
Menurut Ibn Natabah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Damisyqi mengambil faham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak, kemudian kembali lagi ke agama asalnya, ia dikenal dengan nama Susan. Namun pandapat ini masih diragukan kebenarannya karena diyakini bahwa pendapat semacam ini hanyalah rekayasa orang-orang yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak setuju sama sekali dengan faham yang dibawa oleh kelompok ini.
Setelah kematian kedua pembesarnya, faham ini kembali berkembang pesat ketika munculnya golongan Mu’tazilah hal ini terbukti ketika salah seorang Imam Mu’tazilah, Ibrahim Sayar Al-Nazam (w. 211 H.) menyebar luaskan pemahaman ini ia menuai banyak simpati dari masyarakat.
Sampai saat ini -setelah lama tak terdengar- faham ini kembali merebak walaupun itu hanya sebatas ungkapan-ungkapan belaka seperti ungkapan “bagaimanapun juga tokh pada akhirnya manusia juga yang dapat menentukan nasibnya” dan lain sebagainya, yang menitik beratkan segalanya pada perbuatan manusia belaka. Hal ini mungkin disebabkan karena akal fikiran kebanyakan orang kerap kali dikuasai penuh oleh akal dan fikirannya, dan memang semua doktrin-doktrin yang dicetuskan oleh Qadariyah, semuanya bertumpu pada rasionalitas pemikiran manusia, walau pun sebagaimana diungkapkan diatas, pemikiran ini bukanlah tanpa pijakan, akan tetapi banyak sekali ayat yang mendukung akan rasionalisasi faham ini.
B. Doktrin-Doktrin Qadariyah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehinggga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.
Namun demikian, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa Qadariyah adalah kelompok yang menafikan takdir Tuhan, dalam artian bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri dengan kodrat yang telah diberikan oleh Tuhan ketika mereka lahir kealam maya pada ini, Tuhan tidak ada sama sekali hubungannya dengan manusia sekarang, dan bahkan Tuhan pun tidak tahu akan apa yang akan dikerjakan oleh manusia, baru ketika manusia mengerjakannya baru pada saat itu Tuhan mengetahuinya.
Adapun hubungan manusia dengan Tuhannya adalah masalah pahala dan siksa, dimana ketika manusia melakukan perbuatan yang baik maka Tuhan akan memberikannya pahala karena telah menggunakan qodrat yang telah diberikan-Nya pada sesuatu yang baik, sebaliknya Tuhan akan menghukum atau memberikan siksaan kepada manusia ketika ia melakukan perbuatan jelek karena telah menggunakan qodrat yang telah diberikan oleh-Nya pada sesuatu yang jelek
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan, sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar & Abdul Rozak, “bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri, dan manusia sendiri pula yang mengerjakan atau menjahui perbuatan jelek atas kemauan dan daya yang ia milki pendapat Ghailan ini dipertahankan dihadapan Al-Awza’i ketika ia akan di eksekusi mati oleh pihak pemerintahan Hisyam Bin Abdul Malik, dimana pemerintah pada saat itu ingin mengetahui yang sebenarnya faham yang dibawa oleh tokoh Qadariyah ini, oleh karena itu diadakanlah perdebatan antara Ghailan dan Al-Awza’i.
Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain, An-Nazam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya
Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat fahami bahwa doktrin Qadriyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapat hukuman (siksa) atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga atau pun neraka kelak diakhirat itu suatu hal yang semestinya, karena apa yang telah ia kerjakan adalah murni atas kehendaknya sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan, sebaliknya sungguh tidak pantas apabila manusia menerima siksaan apabila apa yang telah diperbuatnya bukan atas keinginannya sendiri, melainkan ada intervensi Tuhan.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang biasa dipakai oleh bangsa Arab pada waktu itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa segala sesuatu berkenaan dengan manusia telah digariskan oleh yang Maha Kuasa, manusia hanya mampu untuk berperan sebagai pelaku dari garis-garis yang telah ditentu-kan oleh Tuhan sejak zaman azali. Dalam faham Qadariyah takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang oleh Al-Qur’an biasa di istilahkan dengan sunnatullah, Faham yang diajukan oleh kelompok ini bukan hanya berdasarkan rasionalitas
Terkait ayat ini pun mereka berargumen, bahwa kekalahan kaum muslimin pada waktu peperangan Uhud itu semua diakibatkan oleh kelalaian dan kedurhakaan pasukan panah terhadap perintah Rasulullah saw., dimana mereka diperintahkan agar tidak meninggalkan tempat mereka walau apa pun yang terjadi, tapi karena tergiur akan harta rampasan perang mereka meninggalkan tempat mereka, hingga akhirnya pasukan musuh memporak-porandakan pasukan muslim pada waktu itu. hal ini pun menunjuk-kan bahwa kesalahan pada waktu itu sepenuhnya berada ditangan kaum muslimin (pasukan panah) tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan Demikianlah sekelumit tentang faham yang dicetuskan oleh kelompok Qadariyah benar atau salahnya Tuhan jualah yang tahu.
ANALISIS
Sebelum lebih lanjut dibicarakan tentang hal ini, baiknya kita kilas balik terlebih dahulu pada tahun dimana golongan ini muncul, saat munculnya aliran ini, tak urung menimbulkan tantangan keras dari masyarakat Arab pada waktu itu, ada beberapa alasan mengapa aliran ini begitu ditentang oleh bangsa Arab pada waktu itu:
Pertama, bangsa Arab sebelum masuknya Islam adalah satu bangsa yang hidup sangat sederhana dan jauh dari ilmu pengetahuan, mereka selalu terpaksa mengalah pada ganasnya alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul, mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya, yang kemudian faham ini dikenal dengan istilah Fatalisme (kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya) dan faham ini terus mereka pertahankan kendatipun mereka sudah memeluk agama islam, oleh karena itu ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya karena dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
Kedua, kalangan pemerintah yang notabene penganut faham Jabariyah juga menentang mati-matian akan berkembangnya faham semacam ini, hal ini kemungkinan disebabkan ketakutan pemerintah pada saat itu pada aliran ini, mereka khawatir hadirnya faham ini akan mengerogoti kekuasaan mereka karena faham ini dianggap sesuai dengan dinamisasi dan daya kritis kebanyakan rakyat, yang pada gilirannya nanti rakyat akan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah bahkan tidak menutup kemungkinan akan mampu menggulingkan kekuasaan mereka.
Berkaiatan dengan pemahaman Qadariyah tentang hubungan manusia dengan tuhannya (dalam hal ini yang dimaksud adalah Takdir) timbul berbagai macam pertanyaan, seperti: jika memang manusia yang menciptakan perbuatannya sendiri lalu daya yang ia gunakan itu milik siapa dan siapa yang membuatnya? Kalau mungkin dijawab bahwa itu juga milik dan diciptakan oleh manusia, maka akan timbul pertanyaan lain, Apakah manusia sendiri yang mewujudkan perbuatannya ataukah daya Tuhan turut mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatan itu?
Faham ini pun seakan menunjukkan bahwa tuhan itu hanyalah dzat yang mau terima jadinya, tidak menentukan, tidak memeberikan kerangka, atau setidak-setidaknya mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh makhluk ciptaanya, Tuhan itu berarti pasif dan tidak mau tahu akan urusan makhluknya, jika demikian untuk apa Dia jadi Tuhan apabila tahunya hanya memberikan siksa dan pahala?
Ada dua metode untuk memahami pola hubungan kekuasaan Tuhan dengan perbuatan manusia
1. Pemahaman secara Syar’ie
Kekuasaan Tuhan adalah mutlak atas semua yang dialami makhluk, termasuk perbuatan manusia. Dia berkehendak dan berbuat secara mutlak, maka tidak ada sesuatu apapun yang terjadi pada manusia muncul dari kekuatan manusia sendiri, Malainkan hanya dengan kehendak dan kekuasaan-Nya.
Dengan demikian segala pekerjaan manusia tidak diciptakan oleh manusia sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan, sedangkan bersamaan dengan wujud perbuatan itu manusia memilki andil yang biasa disebut dengan kasab (usaha).
Sehubungan dengan hal ini maka keadilan Tuhan adalah apa yang dikehendaki dan diperbuat-Nya Dia menghukum masuk neraka dan memberi pahala masuk surga bukanlah dari daya upaya manusia akan tetapi mutlak sesuai dengan yang Ia kehendaki, akan tetapi tidak mungkin juga Allah dengan sembarangan menyiksa dan memberi pahala kepada makhluknya dengan tanpa alasan, itu namanya Tuhan ngaur, sembrono dan lain sebaginya padahal semua itu tidak mungkin dimilki oleh Tuhan.
2. Pemahaman secara Haqiqi
Tuhan adalah Dzat Yang Maha Berkehendak lagi Maha Kuasa atas semua ciptaan-Nya, pengatur atas segala apa yang Ia ciptakan. Manusia dan perbuatannya adalah termasuk dari sekian ciptaan-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada tahun 70 hijriyah muncul golongan yang banyak menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dan doktrin yang berlaku pada waktu itu, kelompok ini menentang pendapat yang menyatakan bahwa segala pekerjaan dan tindak tanduk manusia semuanya bergantung pada takdir, mereka berpendapat bahwa tuhan tidak tahu menahu tentang apa yang dikerjakan oleh makhluknya, semuanya tergantung pada manusia sendiri.
Faham ini pertama kali disebar-luaskan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad Dimasyqi, keduanya diyakini mendapatkan faham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam bernama Susan, namun pendapat ini oleh sebagian ulama’ ditentang karena dianggap hanya sebuah rekayasa dari orang-orang yang keberatan dengan faham ini.
Faham ini jelas sekali mempunyai pijakan berfikir yang jelas, namun demikian tidak sedikit pijakan-pijakan lain yang menentang faham ini, jadi dengan demikian faham ini tidak bisa disalahkan pun tidak bisa dibenarkan, akan tetapi sebenarnya faham ini bisa kolaborasikan dengan pemahaman yang menentang faham ini (Jabariyah) yaitu semuanya memang Tuhan yang menetukan akan tetapi manusia juga memilki andil dalam perbuatannya yaitu usaha.
B. Saran-Saran
1. Hendaknya dalam menyikapi pemikiran ini kita harus menelaah nash-nash yang berhubungan dengannya agar bisa menentukan langkah yang benar.
2. Berhati-hatilah dalam menyikapi satu pendapat yang bertolak belakang dengan pemahaman kita, karena tidak mudah menentukan penadapat yang benar dan pendapat yang salah.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an & Terjemahnya, PT. Tanjung Mas Inti, Semarang, 1992
http\www.wisdoms4all.com, Membincang Takdir Manusia [1].mht
http://id.wikipedia.org/wiki/QadaF
Luice Ma’luf Al-Yusui’i, al-Munjid, Al-Khatatahulukiyah, Beirut, 1945.
Rosihon Anwar, Drs, M.Ag., & Abdul Rozak, Drs., M.Ag., Ilmu Kalam, Pusataka Setia, Bandung 2001
Sirajuddin Abbas, K.H., I’tiqad Ahlussunah wal-jama’ah, Pustaka Tarbiyah Baru, Jakarta, 2008.
Syahrastani, Al-Syaikh, Al-‘Allamah, Al-Milal wa An-Niha, Dzar Al-Fikr, Beirut, Vol. I,F tt.
Yusran Asmun, Drs., Pengantar Studi Sejarah kebudayaan dan Pemikiran Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 1996.
Harun Nasution, Teologi Islam “Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press Jakrata 2002.
Muhammad Asnawi Ridwan, Membela Sunni, Pustaka Amanah Grafika, Kendal, 2008.