, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Mu'tazilah, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PENDAHULUAN
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatar belakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adala Mu’tazilah.
Banyak yang mengidentikkan Mu’tazilah dengan nyeleneh, sesat, cenderug merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang menganggap Mu’tazilah sebagai main icon kebangkitan umat Islam di masa keemasannya, sehingga berfikiran bahwa umat Islam mesti menghidupkan kembali pokok-pokok ajaran ini untuk kembali bangkit. Itu adalah sebagian dari sekian banyak fakta lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok ini memang tergolong kontroversial.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Munculnya Mu’tazilah
Kelompok ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah -pen).
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan dari pada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’,) dan akallah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal -menurut persangkaan mereka- maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil.
B. I’tiqad Mu’tazilah
1. Al-Ushul Al-Khamsah
Dalam perkembangan pemikirannya, para penganut aliran Mu’tazilah tidaklah selalu berada dalam satu garis yang sama, juga sering terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, perbedaan ini misalnya bisa dilihat pada buku Maqalat al-Islamiyin karangan Abu al-Hasan al-Asy’ari, dimana terdapat silang pendapat panjang antara tokoh-tokoh Mu’tazilah tentang sifat Allah SWT al-’Alim.
Namun perbedaan-perbedan itu semua bagi mereka masih dalam ruang lingkup masalah furu’. Perbedaan itu mungkin disebabkan oleh sikap mereka yang banyak lebih berpegang pada akal daripada naql atau nash, dan faktor pendorong mereka membahasa masalah-masalah tersebut adalah karena masalah-masalah tersebut tidak dibicarakan oleh nash al-Qur’an maupun Hadits, sedangkan masalah-masalah yang dibicarakan secara qath’i di dalam al-Qur’an dan Hadits.
Adabanyak hal yang disepakati Mu’tazilah dalam ide-ide teologinya, namun semuanya akan bermuara pada 5 hal pokok yang disebut al-Ushul al-Khamsah, yaitu:
1.Al-Tauhid (Tauhid)
2.Al-’Adl (Keadilan)
3.Al-Wa’dwaal-Wa’id (Janjidan Ancaman)
4.Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
5.Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menyuruh Kebaikan dan MelarangKeburukan)
Lima hal pokok itu merupakan standar bagi kemu’tazilahan seseorang, dengan artian seseorang baru dikatakan Mu’tazilah jika dia menganut dan mengakui kelima hal tersebut, namun jika dia tidak mengakui salah satunya atau menambahkan padanya satu hal saja, maka orang ini tidak pantas menyandang nama Mu’tazilah .
Terbentuknya al-Ushul al-Khamsah terjadi setelah melalui sebuah proses. Pada masa Washil baru terbentuk 4 dasar:
1. Al-Tauhidwaal-Tanzih(TauhiddanPensucian)
2. Manusia mampu berbuat dan menciptakan perbuatannya sendiri (al-Qadr)
3. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
4. Meyakini bahwa pasti ada salah satu pihak yang salah dalam pertikaian antara Utsman r.a dan lawan-lawannya, dan Ali r.a
Kemudian empat hal ini pada gilirannya berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran di kalangan Mu’tazilah, sehingga menjadi lima, sebagaimana di atas, ketika kepemimpinan Mu’tazilah beralih ke tangan Abu al-Hudzail al-’Allaf (w. 235 H) dan Ibrahim bin Sayyar al-Nazhzham (w. 231 H). Sebagian kalangan mengatakan al-Ushul al-Khamsah ini adalah rukun iman mereka, atau mereka mengatakan bahwa Mu’tazilah menambah atau merubah rukun iman dengan lima hal ini. sebuah usaha Mu’tazilah untuk menjelaskan konsep ushul (hal prinsipil) dalam teologi Islam dalam pandangan mereka. Sehingga dengan mengetahui hal ushul ini dapat dilihat perbedaannya dengan hal furu’ (hal cabang/teknis), yang pada gilirannya memperjelas hal apa saja yang tidak boleh diperdebatkan dan yang boleh diperdebatkan. Barangkali sama halnya dengan konsep para ulama tentang hal-hal qath’i dalam Islam yang kemudian disebut dengan al-Ma’lum min al-Din bi al-Dharurah.
2. Al-Tauhid (Tauhid/Keesaan)
Mu’tazilah adalah kelompok yang banyak melakukan pembelaan terhadap penyelewengan yang terjadi terhadap Keesaan Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk jism (tubuh) seperti halnya manusia, atau agama-agama lain di luar Islam yang tidak mengakui Keesaan Tuhan. Hal itu tidak lain mereka lakukan adalah untuk memantapkan Tauhid, bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan serupa dengan-Nya.
Sehingga bisa dikatakan inti konsep Tauhid mereka adalah Tanzih. Imam al-Asy’ari dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin menggambarkan konsep Tauhid yang diberikan oleh aliran Mu’tazilah sebagai berikut: “Allah, Yang Maha Esa (wahid ahad), tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya (laysa kamitslihi syai’), bukan jism (bentuk tubuh/benda), syabah, shurah (bentuk gambaran), daging atau darah, bukan syakhsh (pribadi), jauhar, atau ‘aradh. Tidak berwarna (dzi laun), berasa (tha’m), berbau (ra’ihah) dan tidak bisa diraba (mujassah), tidak memiliki sifat panas (dzi hararah), dingin (burudah), lembab (ruthubah) atau kering (yabusah)dan lain sebagainya:
1. Aliran Mu’tazilah mengenal pikiran-pikiran filsafat yang ada pada masanya, serta memakai beberapa istilahnya, seperti Syakhsh, Jauhar, ‘Aradh, Hulul, Qadim dan sebagainya.
2. Dengan perkataan “Laysa Kamitslihi Syai’ (Tidak ada yang menyamai-Nya)” mereka menolak pikiran-pikiran golongan Mujassimah (Anthromorpis) dan membuka luas pintu takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang menyifati Tuhan dengan sifat-sifat manusia dengan takwil majazi.
3. Dengan Tauhid yang mutlak, aliran Mu’tazilah menolak konsepsi agama dualisme dan trinitas tentang Tuhan.
4. Dengan perkataan “Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak)”, mereka menolak kepercayaan orang Nasrani, bahwa al-Masih anak Tuhan yang dilahirkan dari Tuhan Bapa sebelum masa dan jauharnya juga sama.
5. Dengan perkataan “Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala mitsal sabiq)”, mereka menolak teori Idea (contoh) dari Plato dan Demiurge, juga teori Emanasi (limpahan) atau Triads yang dianggap menguasai alam semesta ini oleh aliran Neo-Platonisme, yaitu Tuhan (Yang Pertama), Logos, dan Jiwa Dunia (Worldsouls) .
Disamping kesimpulan tersebut, juga ingin menegaskan sebuah kesimpulah bahwa pada intinya Mu’tazilah ingin mengatakan bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-Nya hadits (baru), Dia Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada tandingan-Nya serta tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja – bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :
1. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim, al-Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena al-Qur’an mengakui hal tersebut. Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke dalam dua kategori: Pertama, sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan, disebut Shifah dzatiyah, dan Kedua, sifat yang berkenaan dengan tindakan Allah dan berkaitan dengan makhluk, dikategorikan Shifat fi’liyah. Hanya saja Mu’tazilah tidak mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan terhadap Dzat Allah (za’idah ‘ala al-dzat) atau berada di luar Dzat (wara’ al-dzat) sebagaimana pandangan Asya’irah. Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-dzat) . Karena jika sifat itu za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia berada diluar Dzat, dan akan menyebabkan banyaknya jumlah yang Qadim (ta’addud al-qudama’), yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah, Kehendak Allah dan seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya yang Qadim itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka mengatakan:
Berbeda dengan jumhur Mu’tazilah, al-’Allaf berpendapat agak berbeda, dia mengatakan: “Allah Mengetahui dengan Ilmu, Ilmu itu adalah Dzat-Nya, Allah Berkuasa dengan Kuasa, Kuasa itu adalah Dzat-Nya, dan Berkehendak dengan Kehendak (iradah), Kehendak itu adalah Dzat-Nya”. Pendapat ini tidak berbeda dengan jumhur Mu’tazilah dari sisi bahwa sifat-sifat itu pada dasarnya adalah ‘ain dzat, namun pendapat ini dikritik, karena memiliki arti, bahwa Ilmu Allah adalah Allah, sementara menurut logika “orang yang mengetahui” bukanlah “ilmu/pengetahuan” itu sendiri.Itu diantara sedikit perbedaan dikalangan Mu’tazilah tentang sifat Allah, namun pada intinya mereka semua bersepakat menolak pendapat Asya’irah yang mengatakan bahwa Sifat Allah itu suatu tambahan terhadap Dzat (za’idah ‘ala al-dzat). Dari sisi ini Zuhdi Jarullah, mengutip al-Ghazali dari bukunya al-Iqtishad fi al-I’tiqad, mengatakan Mu’tazilah berada pada posisi yang tepat, dan Asya’irah juga benar sampai batasan pendapat mereka bahwa Sifat Allah Qadim dan menyatu dengan Dzat (qa’imah bi al-dzat), namun ketika mereka menjelaskan konsep ini dengan bahwa Sifat-Sifat itu bukan ‘ain dzat (Dzat itu sendiri) melainkan za’idah ‘ala dzat, mereka telah melakukan sebuah kekeliruan.
2. Mengatakan Al-Qur’an Makhluk.
Di atas dijelaskan bahwa Mu’tazilah tidak mengingkari Sifat yang Qadim jika yang dimaksudkan adalah ‘ain dzat, yang mereka ingkari adalah bahwa jika Sifat itu membawa kepada banyaknya yang Qadim, yaitu jika Sifat itu za’idah ‘ala dzat (tambahan terhadap Dzat) atau wara’ dzat (dibelakang/luar Dzat). Tapi ketika berbicara tentang Kalam (Firman Allah), mereka seolah-olah tidak lagi berpegang pada kesimpulan di atas. Mereka mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan sifat Ilmu dan Qudrah (Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf yang teratur dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib . Kalam bukanlah sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah sebuah istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT sebagai Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu. Hakikat-hakikat yang mereka simpulkan inilah yang menyebabkan mereka mengatakan bahwa kalam itu adalah sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak bersifat qadim, sehingga pada gilirannya al-Qur’an sebagai Kalamullah adalah sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah makhluk.Namun timbul banyak kerancuan dan kekacauan ketika mereka mencoba menjawab “bagaimana Allah menciptakan Kalam itu?”. Inti kekacauan itu dapat dilihat ketika mereka berhadapan dengan firman Allah QS Al-Nisa’ ayat 164:
3. Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata telanjang di akhirat (baca: di sorga), membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut mereka, ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara “yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian, oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.
Mereka mengatakan bahwa kata (ناظرة) di sana tidak berarti melihat (رؤية) malainkan menunggu (انتظر) dan kata (إلى) bukanlah huruf jar melainkan musytaq (pecahan kata) dari kata (الآلاء) yang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah: “Wajah-wajah itu menanti nikmat dari Tuhannya”.
4. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan ancaman Allah benar-benar ada dan terjadi, maka janji-Nya akan memberikan pahala dan ganjaran baik kepada orang yang berbuat baik pasti terjadi, demikian juga ancaman-Nya dalam bentuk hukuman dan siksaan bagi orang yang melakukan kesalahan dan keburukan juga pasti terjadi. Sehingga tidak ada pengampunan bagi seorang pelaku dosa besar kecuali taubat, sebagaimana tidak ada halangan bagi siapapun yang melakukan kebaikan untuk mendapatkan ganjaran baik.
Ini pada hakikatnya adalah bantahan terhadap pandangan Murji’ah dalam masalah perbuatan manusia (khususnya dosa besar) bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sedikitpun kepada keimanan, sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh pada kekufuran seseorang. Dalam pandangan Mu’tazilah pendapat Murji’ah ini telah menganggap ancaman Allah sebagai sebuah permainan belaka, tidak serius.
C. Alternatif Mengatasi Mu’tazilah
Marilah kita kembali kepada syariat Islam, yang mana dalam syariat Islam ini selalu adanya pembangunan, pelestarian dalam segala hal, perdamaian dan keadilan serta menjunjung harkat dan martabat kita sebagai pemimpin di bumi Allah SWT ini. Syariat Islam adalah hukum yang sempurna dari segala hukum yang ada.
Bagi kristen mungkin mereka punya alasan mengapa gereja mengekang mereka. Mengapa kita (muslim), lebih suka menghancurkan dan menjatuhkan diri dalam kehinaan di mata Tuhan dan makhluk lainnya ?, sedangkan kita dibekali akal sehat, dibekali ilmu, dibekali agama yang sempurna untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia agar tidak jauh dalam kehinaan dan kenistaan.
Seharusnya kita bersyukur atas agama Islam dan kita sebagai muslim, sebab Islam yang berarti “selamat”.
ANALISIS
Kelompok ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik
Pelopornya adalah seorang pendudukBashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.
alam perkembangan pemikirannya, para penganut aliran Mu’tazilah tidaklah selalu berada dalam satu garis yang sama, juga sering terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, perbedaan ini misalnya bisa dilihat pada buku Maqalat al-Islamiyin karangan Abu al-Hasan al-Asy’ari, dimana terdapat silang pendapat panjang antara tokoh-tokoh Mu’tazilah tentang sifat Allah SWT al-’Alim
Mu’tazilah adalah kelompok yang banyak melakukan pembelaan terhadap penyelewengan yang terjadi terhadap Keesaan Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk jism (tubuh) seperti halnya manusia, atau agama-agama lain di luar Islam yang tidak mengakui Keesaan Tuhan. Hal itu tidak lain mereka lakukan adalah untuk memantapkan Tauhid, bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan serupa dengan-Nya.
BAB III
KESIMPULAN
Kalau kita runut ke belakang adanya golongan mutazilah sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar yaitu terbunuhnya khlaifah Utsman bin Afan. Peristiwa tersebut merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan.
Disamping kesimpulan tersebut, juga ingin menegaskan sebuah kesimpulah bahwa pada intinya Mu’tazilah ingin mengatakan bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-Nya hadits (baru), Dia Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada tandingan-Nya serta tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja – bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah itu.
Pokok ajaranya mutazilah: Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT, Mengatakan Al-Qur’an Makhluk,Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang, dan Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-Ashri ‘Arabi-Indunisi (Kamus Kontemporer Arab-Indonesia), Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, tt.
Al-Badawi, Abdurrahman, Madzahib al-Islamiyyin, Beirut: Darul ‘Ilm li al-Malayin, 1983.
Al-Gharabi, Ali Mushtafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Awladih, tt.
Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Hanafi, A., M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
Jarullah, Zuhdi, al-Mu’tazilah, Beirut: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1974.
Jaya, Yahya, Teologi Agama Islam Klasik, Padang: Angkasa Raya, 2000.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
Salim, Abdurrahman, Al-Mu’tazilah, Mausu’ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al-’Alam al-Islami, Kairo: al-Majilis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 2007.