, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Manajemen Kalbu dalam Pendekatan Tasawuf, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PEMBAHASAN
Dalam pandangan al-Ghazali, pengenalan manusia terhadap dzat-Nya (ma’rifatullah), adalah melalui hatinya. Hatilah yang dapat mengenal-Nya dan ia pula yang dapat mendekatkan manusia kepada-Nya. Hati juga dapat berinteraksi dengan Allah dan selalu berjalan menuju kepada-Nya. Hati merupakan media penyingkap apa yang berada di sisi-Nya serta yang dimiliki-Nya. Fungsi dari semua anggota tubuh manusia tidaklah lebih dari sekedar pengikut atau pembantu hati dalam upaya menuju kepada-Nya. Hati akan memperoleh kemenangan dan merasakan kesenangan jika selalu dekat dengan Allah sepanjang manusia menjaga kebersihannya. Dalam keadaan lain hati akan menderita dan hilang harapannya jika ia dalam keadaan kotor dan berlumuran najis. Ketaatan dan kemungkaran kepada Allah adalah tingkah laku hati yang terefleksi dalam perbuatan lahir. Kegelapan dan terangnya hati akan menampakkan bekasnya dalam bentuk amal perbuatan baik dan buruk, seperti halnya setiap gelas akan memancarkan apa yang ada di dalamnya.
Jika manusia telah mengenal hatinya, berarti dia telah mengenal dirinya. Dan apabila seseorang telah mengenal dirinya sendiri, maka ia telah mengenal Tuhannya. Dan bahwa Allah swt. bersemayam di antara diri dan hati seseorang agar ia dapat menyaksikan-Nya, dapat mengenal sifat-sifat-Nya, mengenal gerak-gerik hati mereka yang berada di antara dua jari Al-Rahman.
Selain itu manusia juga dikaruniai sifat-sifat ketuhanan seperti senang berkuasa, keistimewaan, otoriter, ingin serba tahu dan yang lainnya. Bersamaan dengan itu ia dikaruniai sifat-sifat binatang seperti emosi dan nafsu syahwat. Kesemua karakter itu terdapat di dalam hati manusia.
Dengan demikian dalam diri manusia terdapat empat kombinasi unsur pokok yaitu sifat ketuhanan, sifat setan, sifat kebuasan dan sifat kebinatangan. Empat campuran ini bersenyawa dalam hati, sehingga di balik penampakan luar manusia seakan terkumpul binatang babi, anjing, setan dan orang bijak. Babi diibaratkan oleh al-Ghazali sebagai hawa nafsu, dan anjing diibaratkan amarah; dimana keduanya memiliki kecenderungan berbuat aniaya dan tercela. Setan adalah simbol yang senantiasa mengobarkan hawa nafsu, membangkitkan keberingasan, dan rasa geram yang dimiliki oleh sifat babi dan binatang buas.ia selalu membenarkan tindakan babi dan binatang buas.
Adapun orang bijak, ia adalah perumpamaan akal manusia yang senantiasa berjuang melawan tipu daya setan serta menyingkap tipu muslihatnya dengan pendangan batinnya yang tajam dan kebijakannya yang tegas. Ia bagaikan seorang manajer dari kedua kekuatan anjing dan babi, sehingga apabila ia berhasil mengelola keduanya dengan baik, maka akan terjadi keseimbangan dan keadilan dalam kerajaan badan, hingga seseorang akan berjalan di atas jalan yang lurus. Maka keberhasilan seseorang dalam mengekang syahwat dan amarahnya itu akan memunculkan sifat-sifat pemberani, dermawan, penolong, pengendali hawa nafsu, sabar, murah hati, tabah, pemaaf, tegar pendirian, ramah, cerdas, berwibawa dan sebagainya.
Selain itu hati juga diibaratkan sepeti cermin yang dikelilingi oleh hal-hal potensial yang mengelilinginya. Pengaruh kebaikan akan membuat cermin tersebut semakin bersih, mengkilap, cemerlang dan bersinar. Dengan demikian sinar kebenaran akan terpancar darinya, sehingga hakikat agama akan tersingkap. Mengenai hal ini Nabi bersabda : “ Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Allah menjadikan hatinya sebagai penasihatnya”.(H.R. ad-Dailami). Dan sabdanya : “ Barang siapa mempunyai penasihat dari hatinya, niscaya ada penjaga dari Allah untuknya.” Hati inilah yang selalu mengingat Allah (Q.S. Ar-Ra’du : 28).
Sebaliknya pengaruh keburukan bagi hati adalah ibarat cermin yang diterpa asap hitam, sehingga cermin yang pada dasarnya cemerlang itu menjadi menghitam dan pekat, hingga seluruh permukaannya tersekat dari Allah swt. Inilah maksud firman Allah : “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang mereka usahakan itu menutupi hati mereka”. (Q.S. Al-Muthaffifîn :14). Juga ayat : “……….dan kami kunci mati hai mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)” (Al-A’raf : 100).
Apabila dosa telah bertumpuk-tumpuk, ia akan menutupi hati sehingga hati tidak akan mampu mengetahui kebenaran dan kebaikan agama. Ia akan meremehkan urusan akhirat dan mennganggap penting urusan dunia, hingga ia mencurahkan segala pehatiannya pada urusan dunia. Maimun bin Mahran berkata : “Apabila seorang hamba melakukan suatu dosa, maka noda hitam akan melekat di hatinya. Apabila ia menghapusnya dan bertobat, hati terssbut akan mengkilap kembali. Dan apabila ia mengulanng berbuat dosa, maka noda yang ditimbulkan lebih hitam dari noda lama yang telah terhapus, sampai-sampai ia mampu mengalahkan hatinya”. Pendapat ini diperkuat hadits Nabi : “Hati orang mukmin itu bersih, di dalamnya terdapat pelita yang bercahaya. Sedang hati orang kafir itu hitam seluruh permukaannya”. (H.R. Thabrani dan Ahmad).
Terangnya hati dan kemampuannya untuk melihat (ma’rifah) dapat dicapai dengan berdzikir. Dan dzikir tidaklah mungkin dilakukan kecuali oleh orang-orang yang berakwa. Maka taqwa dalah pintu dzikir, dan dzikir adalah pintu tersingkapnya rahasia-rahasia ilahi (al-kasyf), dan al-kasyf adalah kemenangan terbesar, yaitu pertemuan dengan Allah swt.
Perbuatan buruk yang diikuti perbuatan baik akan terhapus nodanya, dan tidak menghitamkan hati. Akan tetapi ia akan dapat mengurangi cahaya hati. Hal ini diibaratkan sepeti cermin yang ditiup kemudian diusap, lalu ditiup dan diusap lagi, maka ia tetaplah keruh.
Adapun masuknya pengaruh-pengaruh yang muncul di dalam hati, dalam keadaan apapun hanya akan muncul melalui sarana lahir yaitu panca indera, atau melalui sarana batin seperti khayalan, syahwat, amarah, dan akhlak yang terbentuk dari tabiat manusia. Manakala panca indera menangkap suatu objek, kesan yang ditimbulkannya akan membekas di dalam hati. Demikian juga apabila syahwat sedang berkobar lantaran terlalu banyak makan atau karena tabiat syahwat memang kuat, maka bekasnya akan sampai pula dalam hati. Jadi hati itu selalu berubah-ubah dan tepengaruh oleh sebab-sebab tertentu.
Dengan demikian menjaga dan memelihara kebersihan hati menjadi sangat penting. Seseorang hendaknya menyibukkan diri menahan serangan-serangan musuhnya (setan melalui was-was). Ia harus betul-betul mengetahui apa yang harus dipersiapkan untuk itu, agar dapat menolak tipu daya setan dan gejolak nafsu. Dari sini diketahui betapa pentingnya berbagai wiridan dan dzikir sebanyak-banyaknya, I’tikaf, khalwat (mengasingkan diri dari hal-hal yang berpretensi maksiat), takhannust (perenungan) dan lainya, sebagaimana Rasulullah melakukannya di gua hira` menjelang wahyu pertama turun.
Mengenai berapa jumlah dzikir dan wiridan yang harus dibaca seseorang (sâlik), para guru (mursyid) biasa menyesuaikannya dengan kondisi rohani setiap orang. Keadaan hati yang sangat gelap tentu saja memerlukan lebih banyak dzikir agar ia dapat segera berpindah dari sata khal (kondisi ruhaniah) ke khal berikutnya yang lebih tinggi, hingga ia dapat segera mencapai tingkatan makrifatullah.
Para pengamal sufisme yang melakukan perjalanan ruhaninya melalui tarekat biasa menyebut usaha menjaga kebersihan, kebeningan dan keselamatan hati ini dengan mujahadah (perjuangan di jalan Tuhan). Al-Hujwiri menyebut bahwa mujahadah adalah usaha bersusah payah dalam melakukan disiplin ibadah yang ketat dan berjuang keras melawan hawa nafsu untuk mencapai musyahadah (penyaksian). Mujahadah adalah bukti kekokohan cinta seorang sufi kepada Yang Satu.
Sebenarnya kemunculan tasawuf sejalan dengan tabligh Nabi Muhammad saw kepada manusia di Arab.
Namun ajaran tasawuf ini diajarkan Nabi Muhammad khusus kepada beberapa sahabatnya yang memiliki tingkat spiritual yang lebih tinggi dibandingkan dengan sahabat lainnya, seperti Ali kwh, dan sebagainya. Tidak semua sahabat beliau yang diajarkan tentang ajaran tasawuf ini, mengapa? jawabnya adalah bukankah nabi Musa as sebagai simbol eksoteris tidak dapat mengikuti “alur pikir” Khidr, simbol pembawa pesan esoteris. Demikian juga dengan para sahabat nabi, tidak semua dapat menjangkau ketinggian ajaran ini. Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa ajaran tasawuf belum banyak diketahui saat itu.
Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa tradisi tasawuf ini sudah ada sejak Nabi saw hidup, misalnya:
1. Nabi Muhammad: Aku adalah orang ‘Arab dengan tanpa huruf ‘ayn (rab), dan Ahmad dengan tanpa huruf mim (ahad). Barang siapa yang yang telah melihatku, maka ia telah melihat Haqq.
2. Dalam suatu riwayat dikisahkan suatu ketika Aisyah memasuki kamarnya. Nabi yang waktu itu di dalam, bertanya: “Siapa kau?”. “Putri Abu Bakar”, jawabnya. “Siapa Abu Bakar?” tanya beliau. Saat itu barulah Aisyah menyadari bahwa Nabi sedang dalam keadaan yang berbeda.
3. Nabi Muhammad: Seandainya Abu Dzar mengetahui apa yang tersembunyi di hati Salman, maka dia pasti bakal membunuhnya.
4. Ali: “Aku mempunyai sejenis pengetahuan dalam batinku, yang bila saja aku membukanya pada orang banyak, niscaya engkau akan gemetar seperti tali panjang yang dijulurkan ke dalam sumur yang amat dalam“. Dalam riwayat lain diriwayatkan melalui Abu Hurairah dengan perbedaan redaksi. Kemungkinan besar Abu Hurairah tidak menyebutkan nama Ali sebagai narasumbernya sebagaimana yang terjadi pada riwayat-riwayat dari Abu Hurairah biasanya.
5. Pada hari Thaif Rasulullah SAW berbicara berdua saja dengan Ali, maka sebagian sahabat berkata “Lama sekali pembicaraan beliau dengan anak pamannya”. Ketika disampaikan pada Rasul, Beliau SAW berkata “Bukan aku yang berbicara dengannya tetapi Allah yang berbicara dengannya”.
6. Suatu hari sesudah menunaikan shalat, Nabi melihat seorang pemuda (Haritsah bin Malik bin Nu’man al-Anshari?) yang lemah dan kurus, wajahnya pucat, matanya cekung serta berjalan gontai dan susah payah. Nabi pun lantas bertanya: “Siapakah engkau?” “Aku telah meraih tingkat keimanan tertentu,” jawabnya. “Apa tanda-tandanya?” tanya Nabi. Dia menjawab, “Keimananku itulah yang membuatku sedih, yang menyebabkanku bangun malam dan membuatku senantiasa haus di siang hari (lantaran puasa). itulah yang membuatku lupa akan segala sesuatu di dunia ini. Aku melihat seolah-olah Arsy Allah ditegakkan untuk menghitung amal-amal manusia yang dikumpulkan di padang mahsyar dan aku termasuk salah seorang di antara mereka. Aku melihat para penghuni surga bergembira dan berbahagia, dan para penghuni neraka sedang diazab dan disiksa. bahkan, sekarang ini, telingaku seakan-akan mendengar gelegak api neraka yang demikian dahsyat.” Nabi pun berpaling kepada sahabat-sahabatnya dan bersabda, “Dia adalah salah seorang yang hatinya telah diterangi Allah dengan cahaya keimanan.” Kemudian beliau menoleh kepada pemuda itu dan bersabda, “Pertahankan keadaanmu seperti sekarang ini, jangan sampai keadaan ini sirna.” Pemuda itu pun menyahut, “Wahai Rasulullah! Tolong doakan aku agar Allah menganugerahkan kesyahidan kepadaku.” Tak lama setelah pertemuan ini, terjadilah peperangan. Pemuda itu kemudian ikut perang dan gugur sebagai syahid.
7. dan berbagai riwayat lainnya seperti percakapan Imam Ali dengan sahabatnya Kumayl tentang Wali Tuhan yang ada di setiap zaman.
Tatkala Nabi saw wafat, Saidina Abu Bakar meneruskan tali estafet spiritual sentral dari Nabi, meskipun sahabat Nabi lain juga meneruskan dakwah Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar memiliki keunggulan yang diakui oleh sahabat-sahabat lain. Abu Bakar bukan hanya memegang kekhalifahan dunia akan tetapi juga kekhalifahan kerohanian. Saidina Ali adalah sahabat Nabi yang juga meneruskan kepemimpinan kerohanian dari Nabi. Keyakinan akan keunggulan dan afdhaliyah Imam Ali as. di atas para sahabat lainnya telah diyakini sebagian sahabat besar seperti Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari, al-Miqdad bin al-Aswad, Khabbab, Jabir ibn Abdillah al-Anshari, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Arqam, dkk.
Seiring dengan berjalannya waktu, tasawuf mulai lebih dikenal pada masa para raja dinasti Islam melakukan berbagai kemajuan dalam Islam, mulai dari penyebaran agama Islam, kemajuan ekonomi, penyerapan ilmu pengetahuan, filsafat dan teknologi. Beberapa latar belakang yang memungkinkan tasawuf mulai dikenal misalnya: kebobrokan moral dan spiritual yang marak seiring dengan kemajuan ekonomi dan kemaksiatan yang merajalela. Kekeringan spiritual tersebut semakin bertambah parah sejalan dengan semakin eksisnya ajaran fiqih yang lebih menekankan pada aspek-aspek lahiriyah dan saling menyalahkan dan memusuhi antar pemeluk mazhab. Selain itu masalah lainnya adalah masuknya filsafat dalam tradisi Islam. Wilayah Islam yang semakin luas menjadi jalan masuk bagi filsafat, cara berpikir wilayah lain dalam tradisi pemikiran Islam. Filsafat Yunani, Persia menjadi salah satu bagian ilmu pengetahuan dalam tradisi umat Islam sehingga memunculkan para filosof Muslim dan ahli kalam yang pada akhirnya filsafat menjadi bintang dalam tradisi Islam. Mereka menggunakannya untuk menjawab segala persoalan yang ada, termasuk tentang Tuhan dan masalah yang berhubungan dengan-Nya.
Pertumbuhan tasawuf yang awal masih minim dengan istilah-istilah asing. Semua penjelasan tasawuf masih sederhana. Namun tatkala filsafat mulai masuk dalam tradisi Islam, istilah-istilah asing mulai dimunculkan. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana jalan hidup bertasawuf, menjelaskan ‘perasaan’ para sufi kepada para murid-murid yang baru memulai perjalanan mistik. Tasawuf juga mengajarkan bahwa untuk ‘menjumpai’ Tuhan bukanlah dengan akal filsafat sebagaimana yang marak saat itu. Tasawuf pulalah yang mengisi kekosongan aspek moral spiritual yang tidak diajarkan dalam hukum fikih saat itu yang hanya mengajarkan dan berdebat tentang aspek-aspek lahiriyah semata.
Namun diterimanya tasawuf di tradisi Islam, bukan tanpa aral. Sebagian tokoh, terutama kalangan ulama fikih menganggap tasawuf bukan dari ajaran Islam, tasawuf ajaran sesat, meninggalkan syariat dan sebagainya. Namun semua tuduhan tersebut terbantahkan, banyak ayat-ayat Qur’an yang menunjukkan kebenaran tasawuf. Semua para sufi besar menempatkan al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai landasan mereka. Hanya saja mereka, kelompok penentang tasawuf tidak memahami ajaran tersembunyi dalam al-Qur’an sehingga mereka menentang tasawuf. Bukankah Nabi pernah bersabda: “al-Qur’an mempunyai makna lahir dan batin“. Rumi juga menuliskan bahwa: “al-Qur’an adalah pengantin wanita yang memakai cadar dan menyembunyikan wajahnya darimu. Bila engkau membuka cadarnya dan tidak mendapatkan kebahagiaan, itu disebabkan caramu membuka cadar telah menipu dirimu sendiri, sehingga tampak olehmu ia berwajah buruk. Ia mampu menunjukkan wajahnya dalam cara apapun yang disukainya. apabila engkau melakukan apa-apa yang disukainya dan mencari kebaikan darinya, maka ia akan menunjukkan wajah yang sebenarnya, tanpa perlu kau buka cadarnya“.
Mengenai tuduhan bahwa sufi meninggalkan syariat merupakan tuduhan yang tidak berdasar. Para tokoh sufi memegang syariat dengan kuat, bahkan lebih teguh daripada para penentangnya. Lihatnya saja bagaimana Abu Yazid al-Bustami – yang pernah ekstase dan mengucapkan “Subhani, subhani, Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada lagi tuhan selain Aku, maka menyembahlah kepada-Ku“,- tidak pernah meludah di tanah di dekat Masjid, tidak pernah makan buah melon karena ia tidak tahu bagaimana sunnah Nabi Muhammad saat memakannya, Bahkan salah satu perintah Tuhan yang difirmankan kepadanya, “Untuk keluar dari keakuanmu, ikutilah kekasih kita, Muhammad orang Arab. Lumurilah matamu dengan debu kakinya dan teruslah mengikuti dia“.
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Para sufi telah sepakat bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai penyaksian Tuhan (musyahadah) adalah dengan kesucian jiwa. Hati manusia merupakan refleksi dzat Tuhan yang suci, dan karena itu hati manusia harus mencapai tingkat kesucian dan kesempurnaan. Untuk mencapai hal itu setiap muslim haruslah memiliki semangat dan ketekunan yang kontinu untuk dapat sampai dan memperoleh hati yang bening, bersih dan selamat (qalbun salîm).
Menurut Imam Abu Hamid al-Ghazali, kemuliaan dan keutamaan manusia terletak pada kesiapan manusia untuk mengenal (ma’rifah) Allah sang Pencipta. Karena pengenalan manusia kepada Allah itulah manusia memperoleh keindahan, kesempurnaan dan kebanggaan hidup di dunia, dan kelak di akhirat ia akan memperoleh apa yang dijanjikan oleh-Nya.
DAFTAR PUSTAKA