, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Pola muhammad ibnu idris beristimbat hukum, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PENADAHULUAN
Diantara pembahasan-pembahasa ilmiyah yang harus kita pelajari dengan seksama dan tekun ialah pokok-pokok pengajaran para imam madzhab dan manhaj istimbat yang di gunakan para mujtahid dalam mengungkap hukum syari’at. Dengan mendalam istimbat yan telah di lakukan para imam madzhab baik dalam kalangan ahlusunah maupun dalam kalangan syariah bahwa semua mujtahid pada dasarnya menggali hukum syariah dari sumber-sumber ulama yaitu kitabullah dan as-sunah Rasul. Mereka hanya berbeda pandangan dalam cara menggali dan dalam cara menggunakan alat penggali serta dalam penentuan dasar-dasar yang boleh dan tidak boleh di pakai setelah Al-Qur’an dan as-sunnah. Dengan kita mendalami analisa-analisa terhadap sebab-sebab terjadi perbedaan pendapat diantara para imam dapatlah kita mendekatkan pokok.” Peganggan itu hingga dengan demikian terbentangglah jalan mendekatkan satu” maadzhab dengan madzhab lain dan dapatlah kita menutup lubang-lubang yang meregangkan satu sama lain.
Demikian fiqih madzhab di amati oleh Muhammad Ibnu Idris keunggulan Muhammad Ibnu Idris sebgai ulama fiqih, ushul fiqih dan hadits dizaman di akui sendiri oleh ulama sejawatnya. Sebagai orang yang hidup di zaman merunan gaya pertentangan antara aliran ahlul hadits dan ahlul ra’yi.. Muhammad Ibnu Idris , berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini karenanya ia belajar pada imam Malik sebagi tokoh ahlul hadits dan imam Muhammad Ibnu Hasan, Asy’syafi’i sebagai tokoh ahlul Ra’yi.
BAB II
PEMBAHASAN
Muhammad Ibnu Idris (lengkapnya adalah al-Imam Asy-Syafi’i, Abu Abdilah as-Syafi’i, al-Hijazi Al-Qurasyi al-Hasim at-muththalih (Gaza,Palestina, 150 H- 204 H / 819 M). adalah seorang mufti besar islam dan juga terolong saudara dari Rasululah yaitu keterangan dari al-Muththalib saudara dari Hasim yang merupakan kekek Rasululah, beliau di lahirkan di desa Gaza masuk kota Saqolan pada tahun 150 H saat beliau di lahirkan kedunia oleh ibunya yang tercinya. Ayahnya tidak sampai membuainya. Karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam usia yang masih muda kemudian setelah berumur 2 tahun paman dan ibu membawa pindah kekota kelahiran Nabi Muhammd SAW. Makkah Al-Mukaromah saat usia 20 tahu Muhammad Ibnu Idris pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu Imam Malik dua tahun kemudian ia juga pergi ke Irak untuk berguru pada murid-murid imam Hanafi disana.
Beliau wafat pada hari kamis diawal bulan syaban tahun 204 H dan umur beliau sekitar 54 tahun (syiah 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau didunia 54 tahun, merurut anggapan manusia umur yang demikian masih muda. Walau demikian keberkahan dan manfaat dirasakan kaum mislimin di selantero belahan dunia. Hingga para ulama’ mengatakan imam Asy-Syafi’i di beri umur pendek namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”
Dan sunah sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an segitu juga sebelum imam Safi’i seperti imam Abu Hanifah yang menyetujui bahwa dalam pengambilan hukum pertama harus dari Al-Qur’an, kemudian kalau tidak di peroleh baru mengambil dari sunah, sama halnya juga dengan Mu’az bin Jabal ketika di Tanya oleh Nabi” dengan apa kamu menemukan sesuatu ? kemuadian dia menjawab saya memutuskan sesuatu dengan kitab Allah. Jika tidak di peroleh di dalamnya maka dengan sunah Rasululah dan jika tidak didapatkan lagi maka saya berijtihad dengan akal.
Syafi’I meletakan sunah sejajar dengan Al-Qur’an dalam hal sebagai hujah karena sunah juga berasal dari wahyu, Safi’i tidak menyamakan Al-Qur’an dan as-Sunah dalam segala aspek, menurutnya perbedaannya paling telah tidak bahwa Al-Qur’an Mu’tawatir dan merupakan ibadah bagi yang membacanya sedangkan kebanyakan sunah tidak mu’twatir juga membacanya tidak di nilai pahala. Kedua, Al-Qur’an adalah kalam Allah, sedangkan sunah adalah perkataan nabi Muhammad SAW.Safi’i juga menjelaskan bahwa sunah tidak semartabat dengan Al-Qur’an dalam masalah aqidah.
AL-QUR’AN
Syafi’I tidak memberikan batasan definisi bagi Al-Qur’an berdasarkan uraiannya, para pengikutnya lah yang memberikan definisi terhadap Al-Qur’an Misalnya definisi yang di ungkapkan Taj Al Din Al-Subki, bahwa Al-Qur’an adalah lafal yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai mujizat dan membacanya merupakan ibadah.
Menurut Asy-Syafi’i Al-Qur;an itu maha dan lafdzan. Seluruh Al-Qur’an terdiri atas bahasa arab, tidak satu katapun di dalamnya yang bukan bahasa arab, dengan memperhatikan berbagai hal tentang hubungan ungkapan dengan maknanya Syafi’i menjelaskan bahwa didalam Al-Qur’an terdapat lafad Am khas muthlaq muqoyyad, haqiqah, mazaz, mustarak, mujmal, mubayyan dan sebagainya.
1. Sunnah
Meskipun Syafi’i tidak mengemukakan rumusan dalam bentuk definisi dan batasan sunnah dapat di ketahui dengan jelas sunah menurut Ibnu Adris yaitu perkataan atau taqlid yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW secara umum batasan seperti ini di terima oleh para ulama yang datang kemudian. Seseorang pembaca kitab-kitab imam Syafi’i hampir dapat memastikan bahwa penegakan sunah sebagai sumber hukum merupakan obsesi agenda pemikirannya, bahwa yan paling asasi , karena itu kita tidak lupa dengan signifikan historis dan pemberian gelar nashir al-sunnah (pembela tradisi) kepadanya.
Syafi’i menegaskan bahwa sumber merupakan hujah yang wajib diakui bahwa sunah sebagai berikut :
Tentang hubungan antara sunah dengan Al-Qur’an Syafi’i mengemukakan bahwa fungsi sunah sebagai berikut :
a. Sebagai penguat dalil dalil dalam Al-Qur’an
b. Sebagi penjelas dari ayat-ayat al-qur’an yang masih global.
c. Sebagai tambahan : artinya mengetur hukum yang belum diatur dalam Al-Qur’an.
Syarat-syarat penerimaan sunah
Syafi’I membagi hadits menjadi 2 yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Persyaratan yang di tetapkan oleh Syafi’i agar suatu hadits dapat di amalkan sama dengan yang di kemukakan oleh para ahli hadits dan ahli ushul fiqih pada masa kemudian, yakni menyangkut tsiqah dan dhobith yang harus terpenuhi pada setiap perawi dan kesinambungan sanat yang di riwayatkannya serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits tersebut.
2.Ijma’
“Ijma’ adalah hujjah atas segala sesuatunya karena ijma’ itu tidak mengkin salah “ (syafi’i)
Syfi’i menyepakati bahwa ijma merupakan hujjah agama (hujjatd din) ijma merupakan Syafi’i adalah kesepakatan para ulama pada suatu masa tentang hukum syara’ kedudukan ijma sebagai hujjah adalah setelah Al-Qur’an dan assunah sehingga ijma di kahirkan dan pada Al-Qur’an dan sunah. Oleh karena itu ijma’ yang menyelisihi Al-Qur’an dan sunah bukan merupakan hujjah dan dalam kenyataannya tidak mungkin ada ijma’ yang menyelisishi Al-Qur’an dan sunah. Rumusan idris berbeda dengan rumusan Imam Malik yang menggap kesepakatan penduduk Madinah sebagi ijma’ dan rumusan madzhab zahiri yang membatasinya hanya pada kesepakatan para sahabat. Ijma’ yang mula-mula mendapat I’tibar dari Ibnu Idris ialah sahabat dan ia menerima ijma’ sebagi hujjah di tempat tak ada nash. Kemuadian yang perlu diingatkan bahwa Ibnu Idris tidak menerima ijma’ sukuti.
3.Qoul Shohaby
Qoul Shohaby ialah fakta-fakta yang di keluarkian oleh sahabat nabi SAW menyangkut masalah –masalah yang tidak di atur didalam nash baik kitab maupun sunah.
Pada bagian kitab-kitab ushul dan madzhab Syafi’i mengatkan bahwa imam mereka (imam Syafi’i) mengambil qoul shohaby dalam madzhab barunya tetapi dalam kitabnya “risalah” bahwasanya imam Syafi’i mengambil qoul shohaby oleh Karen aiut telah jelas bahwa imam Syafi’i menggunakan qoul shohaby sebagai hujjah baik dalam madzhab lainnya maupun madzhab barunya Muhammad Ibnu Idris membagi qoul shohaby menjadi 3 yaitu :
- Pendapat yang memperoleh kesepakatan (ijma’) diklangan mereka ini jelas mengingkat dan harus di jadikan hujjah.
- Pendapat yang bragam dan tidak mencapai kesepakatan tentang ini, menurut Ibnu Idris harus di lakukan tarjih dengan mempedamani dalil-dalil dari al-qur’an dan sunah yang harus di ambil ialah pendapat yang sesuai dengan kitab sunah atau ijma’.
- Pendapat yang di keluarkan oleh seseorang sahabat saja tanpa dukungan atuapun bantahan dari sahabat lainnya. Mengenai pendapat ini dalam kitabnya” risalah” idris menyatakan bahwa ia menetapkan dari ahli ilmu ada yang mengambilnya dan ada yang tidak mengembilnya ia mengambilnya jika telah di temukan dalam al-qur’an sunah maupun ijma’.
Penggunaan qoul shohaby sebagi hujjah oleh Syafi’i dapat di jumpai beberapa kitabnya, seperti ketiak berbicara peperangan melawan kaum musrik, ia mengatakan bahwa orang yang sembunyi di bawah biara tidak boleh di bunuh karena mengikuti perkataan Abu Bakar ia mengatakan “ kami mengatakan ini hanyalah karena ittibar “ (mengikuti pendapat Abu Bakar), bukan berdasarkan qiyas.
4.Qiyas
Muhammjad Ibnu Idris adalaj mujtahid yang mula-mula menggunakan dasar qiyas para fuqoha sebelumnya membahas tentang ar-ra’yu tanpa menentukan batas-batas dan dasar-dasar penggunaannya tanpa menentukan nama-nama ra’yu yang sahih dan yang tidak syahih.
Dengan demikian Muhammad Ibnu Idris adalah orang pertama dalam meneranmgkan hakikat qiyas Ibnu Idris sendiri tidak membuat tariff qiyas. Kan tetapi penjelasan-penjelasnya contoh-contoh, bagian-bagian, dan syarat-syarat menjelaskan hakikat qiyas, yang kemuadian di buat di buat tarifnya oleh ulama’ ushul.
Pembagian qiyas
Qiyas di lihat dari kewtentuan illat yang terdapat pada far dan ushl menurut idris di bagi menjadi tiga bentuk yaitu :
1. qiyas yang illat hukum cabangnya (far’) lebih kuat dari pada illat pada hukum ushul qiyas ini, oleh ulama’ ushul fighiyah disebut sebagai qiyas awlawi. Misalnya mengqiyaskan memukul pada ucapan “ah” keharaman pada perbuatan memukul libih kuat dari pada keharaman ucapan “ah” karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada ucapan” ah”.
2. qiyas yang illat pada far’ sama keadaan dan ketentuan dengan ilat yang pada ashl qiyas sepeti ini, di sebut oleh ulama ushul syafi’iyyah dengan al-qiyas al-musawi.misalnya mengqiyaskan mebakar harta anak yatim kepada memakannya secara tidak patuh dalam menetapkan hukum –hukum . artinya membakar harta anak yaitu atau memakannya secara tidak patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim dan hukumnya sama-sama haram.
3. qiyas yang iklat yang hukumnya (far) lebih lemah dibandingka dengan iklat hukum ashl, qiyas seperti ini, disebut dengan qiyas al- adna, seperti mengqiyaskan gandum dengan apel dalam berlakunya riba dalam apel lebih rendah dari pada berlakunya hukum riba pada gandum karea illat lebih kuat.
ISTIHSAN
Dalam pembahasan tentang istihan sebagai salah satu dalil makhtalaf fi (yang tidak disepakati). Nama Syafi’i selalu tampil dengan pendeknya yang tegas terhada istihsan sebagai dalil hukum sikap itu di lakukan dalam sebuah kitabnya ibthal al-istihsan yang kemudian di masukan sebagai sebian dan kitab induknya, al umm.
Menganai definisi istihsan para ulama berbeda dalam membrikan tarif istihsan di kalangan Hanafiyah ialah seperti yang di terangkan al-karakhi, yaitu berpalingnya mujtahid dari menetapkan hukum pada suatu masalah dengan seperti hukum yang telah di tetapkan pada masalah-masalah yang sepadan (qiyas) kepada hukum yang menyalahinya lantaran ada suatu jalan yang lebih kuat yang menghendaki beralih dari yang pertama sedangakan istihsan dalam pandangan melikiyah yang menurut ibnu araby ialah bermala dari yang lebih kuat dari dalil itu.
Dalam mufaqat syatiby mengutip pendapat Ibnu Aroby tentang istihsan yaitu mengutamakan meninggalkan suatu dalil sebagai penguwatiran dan demi kebanggaan berdasarkan adanya dalil lain yang cukup kuat menentang sebagaian. Tentunya setelah itu ia memberikan keterangan ibnu aroby, selanjutnya.
Menurut kita (malikiyah) dan hanafiyah, istihsan adalah mengamalkan yang terkuat diantara dua dalil Malik dan Abu Hanafi membenarkan takhshisih terhadap keumuman suatu dalil dengan dalil lain, baik berupa tunjukan dzohir maupun makna atas dasar istihsan Malik melakukan takhshish dengan maslahah dan Abu Hanafiah melakukannya dengan pendapat shabat mereka berdua menerima takhshih al-qiyas dan naqdh al-illah , tetapi Syafi’i berpendapat bahwa illah syara’ yang telah tetap (tsabit) tidak dapat di takhshih lagi.
Alas an syafi’I menolak istihsan
- Firman Allah SWT dalam Surat Al-Qiyamah ayat 26
Mengambil istihsan sebagai hujjah agama artinya tidak berhukum dengan nask makna beliau mewariskan kepada genarasi berikutnya sebagai mana yang di wariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang manfaat ilmu beliau banyak di riwayatkan oleh para murid-muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu ushul fiqih dengan karyanya yang momumental risdalah dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab al-umm yang di kenal oleh semua orang awamnya dan alirannya juga beliau menulis kitab jima’ul ilmi.
BAB III
KESIMPULAN
Muhammad Ibnu Idris merupakan seorang figur penting dalam sejarah peradaban Islam khususnya pemikiran arab fiqih Muhammad Idris berpusat pada lima sumber sebagaimana yang tertulis dalam kitabnya Al-Um’ pertama, Al-Qur’an dan Sunah kedua, Ijma’ jika tidak di lanjutkan dalam Al-Qur’an dan Sunah . ketiga, perkataan sebagian para sahabat dan tidak kita ketahui ada yang berbeda dari mereka. Keempat, ikhtilaf para sahabat dan keliama, qiyas dan tidak ada sumber lain slain Al-Qur’an dan Sunah dalam segala sesuatu dan sesungguhnya ilmu itu diambil dari yang paling atas. Sumber hukum tersebut menunjukan uruan proiritas, artinya bahwa yang muncul belakangan senantiasa bersandar kepada sumber yang mendahuluinya. Tingkatkan perama adalah nas-nas yaitu Al-Qur’an dan sunah dan selain keduanya merupakan sumber turunan dari Al-Qur’an dan Sunnah termasuk Ijma’ yang tidak mungkin keluar dari keduanya.
Oleh karena itu Ibnu Idris tidak sekedar mendasarkan sunnah pada Al-Qur’an tetapi juga berupaya melakukan asumsi dasar bahwa sunnah adalah bagian organik dalam struktur Al-Qur’an di tinjau dan sunnah menjadi struktur organik semantik, maka Idris pun dapat membangun Ijma’ atas dasar struktur tersebut hingga menjadi teks tasyri’ yang memperoleh segnufikansi dari pengertian teks yang tersusun dari Al-Qur’an dan Sunah sumber ke empat dalam fiqih Ibnu Idris adalah qiyas yang juga di ambil dari teks yang tersusun dari ketiga dasar sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.
Bakry Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka setia.
Romli. 1999 .Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta : Gaya Media Pratama
Qattan, Manna’. 1973 . Mabahits Fi Ulumil Qur’an. Riyadh : Mansyuratul ‘Asril Hadits.