, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul MAKALAH: PEMBAHARUAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM PASCA KEJUMUDAN DAN REAKTUALISASI HUKUM ISLAM , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
PEMBAHARUAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM PASCA KEJUMUDAN DAN REAKTUALISASI HUKUM ISLAM
A. Latar Belakang Masalah
Gagasan dekonstruksi hukum Islam sesuai dengan subject matter yang selaras dengan dinamika perubahan sosial, menjadi suatu mainstream, dengan obsesi “membangun suatu corak keislaman yang puritan dan modern”. Gagasan dekonstruksi ini secara epistemologis, dihipotesakan dalam bentuk pemikiran sosial keislaman para pembaru pemikiran hukum Islam. Logika sangat berperan dalam menelaah rasionalitas al-Qur’an untuk memperoleh pengetahuan, sebagai suatu kerangka dasar bagi kebenaran sebuah kepercayaan. Dalam legislasi al-Qur’an terkandung prinsip umum dan legal spesifik. Prinsip umum merupakan makna dan argumentasi di balik ketentuan legal-spesifik, terkadang dinyatakan secara eksplisit mengiringi ungkapan-ungkapan legal spesifik.
B. Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam
Dalam konteks way of life bagi Muslim, Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber utama pengetahuan, sumber pokok yurisprudensi hukum (mashadir al-ahkam) dalam Islam. Al-Qur’an telah sempurna diturunkan dan Hadis telah berakhir terbit dengan wafatnya Rasulullah SAW. Berbagai aktifitas dalam Islam mengacu pada kaidah-kaidah yang termaktub dalam sumber tersebut. Secara praktis, ungkapan-ungkapan pesan al-Qur’an seyogianya digeneralisasikan kepada prinsip-prinsip moral dalam berbagai aktifitas dengan cara mengaitkan ungkapan-ungkapan spesifik al-Qur’an beserta latar belakang dinamika sosiokultural dan politik dengan mempertimbangkan ratio-legis (‘illathukum) yang dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan al-Qur’an.[1][1] Hakekat al-Qur’an sebagai ”firman Allah” (kalam Tuhan) bersandarkan pada aspek keyakinan dan karenanya menjadi dasar keimanan seseorang dan sumber acuan dalam melakukan berbagai aktifitas.[2][2] Legislasi al-Qur’an pada dasarnya merupakan pernyataan-pernyataan al-Qur’an yang bermuatan hukum, namun sekaligus juga merupakan kitab-kitab prinsip dan seruan-seruan moral dalam berbagai aktifitas dan bukan dimaksudkan sekadar legislasi semata. Sebagai kebijakan-kebijakan moral al-Qur’an mengangkat kedudukan “masyarakat kelas dua”: wanita, anak-anak yatim, fakir-miskin, dan budak menuju terwujudnya kondisi keadilan sosial dan persamaan esensial derajat manusia.[3][3] Dalam legislasi al-Qur’an terkandung prinsip umum dan legal spesifik. Prinsip umum merupakan makna dan argumentasi di balik ketentuan legal-spesifik, terkadang dinyatakan secara eksplisit mengiringi ungkapan-ungkapan legal spesifik. Legislasi zakat dalam hal ini bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial bidang ekonomi. Prinsip-prinsip umum ini secara praksis dijabarkan ke dalam aturan legal spesifik. Formula legal spesifik dimaksudkan sebagai solusi alternatif yang sarat dengan muatan nilai-nilai ilahiyyah transendental terhadap berbagai permasalahan aktual yang makin kompleks. Dengan demikian, ordonansi ilahiyyah tersebut mengandung aturan hukum spesifik dan sumber nilai serta muatan moral yang prinsipil.
Ayat-ayat al-Qur’an ada yang bersifat prinsipil-definitif (qath’i) dan kandungan general (zhanni). Ayat-ayat yang qath’imengandung makna yang cukup jelas dan spesifik, tidak memerlukan kepada interpretasi lain dari makna zhahir. Sedangkan ayat-ayat yang bersifat zhanni memerlukan interpretasi untuk bisa memahami kandungan maknanya. Porsi rasio sangat menentukan dalam melakukan interpretasi dalam konteks ini. Rumusan interpretasi yuristik yang bersifat rasional yang termuat dalam “Fikih” menjadi mainstream dalam melakukan pengamalan-pengamalan melalui penggunaan instrumen-instrumen tertentu.
Problematika manusia dewasa ini banyak termasuk dalam kategorisasi mu’amalah. Spektrum mu’amalah didominasi oleh ayat-ayat yang bersifat zhanni dibanding qath’i. Oleh karena itu, paradigma ijtihadiyah yang didasarkan pada epistemologi Islam sangat fleksibel sesuai dengan dinamika dan mobilitas perubahan sosiokultural. Pengembangan kajian–kajian sebagai upaya reformasi dan reinterpretasi terhadap Islam sudah seyogianya mengacu pada analisis faktual terhadap implementasi konsep-konsep dalam dinamika perubahan sosial.
Dalam menafsirkan al-Qur’an pertama kali harus dicari penjelasannya pada al-Qur’an sendiri. Sebab, seringkali ada ayat-ayat yang disebutkan secara ringkas pada suatu tempat, sedangkan penjelasannya mencuat pada ayat lain. Jika tidak ditemukan ayat yang menjadi penjelas bagi sesuatu yang hendak ditafsirkan, kemudian dicari penjelasannya pada hadis. Sebab, Rasul lebih mengetahui makna hakiki suatu perintah atau berita yang disampaikan kepadanya. Jika dalam hadis tidak ada penjelasan, dilihat pada penafsiran sahabat. Penafsiran ini lebih dekat kepada kebenaran, karena para sahabat secara langsung mendengar sendiri dari Rasul dan menyaksikan sebab-sebab turun (asbab al-nuzul) ayat. Apalagi para sahabat mengetahui benar tentang bahasa Arab, lebih khusus lagi, bahasa Arab yang dipakai ketika ayat-ayat itu diturunkan.
Pemahaman terhadap arti atau makna suatu pernyataan (ayat) sangat penting, termasuk dengan mengkaji situasi atau problema historis di mana pernyataan al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga, bahkan keseluruhan kehidupan masyarakat, terutama masyarakat di Arabia pada saat Islam datang dan khususnya Makkah dan sekitarnya, serta konteks keindonesiaan, harus dilakukan terlebih dahulu.
Setelah itu, menggeneralisasikan respon-respon spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan moral-sosial umum, yang dapat “disaring” dari ungkapan-ungkapan ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan dalam sinaran rationes legis (illat) hukum yang sering dinyatakan. Al-Qur’an merupakan suatu kesatuan, sehingga setiap arti dari ayat tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan, dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koherensi dengan lainnya. Al-Qur’an sendiri mendakwakan secara pasti bahwa “ajarannya tidak mengandung kontradiksi, melainkan koheren secara keseluruhan”.
Ide pokok yang terkandung dalam cara berfikir dari ayat-ayat spesifik menuju kepada prinsip, atau dengan kata lain, berfikir dari aturan-aturan legal spesifik menuju kepada muatan moral sosial yang bersifat umum yang terkandung di dalamnya. Ada tiga perangkat untuk dapat menyimpulkan prinsip-prinsip moral sosial. Pertama, perangkat 'illat al-hukm (ratio legis) yang dinyatakan dalam al-Qur’an secara eksplisit. Kedua, illat al-hukm yang dinyatakan secara implisit yang dapat diketahui dengan cara menggeneralisasikan beberapa ungkapan spesifik yang terkait. Ketiga, perangkat sosio-historis yang bisa berfungsi untuk menguatkan illat al-hukm secara implisit untuk menetapkan arah maksud tujuannya, juga dapat berfungsi untuk membantu mengungkapkan illat al-hukmbeserta tujuannya yang sama sekali tidak dinyatakan.[4][4] Sumber kedua yurisprudensi Islam setelah al-Qur’an adalah Sunnah. Secara leksikal, Sunnah mengandung arti shawwara (mencipta) dan al-sirah (perilaku kehidupan). Selain itu, Sunnah juga bisa berarti cara atau kebiasaan hidup (custom or habitual actions). Dengan demikian, Sunnah dimaksudkan sebagai “tingkah laku yang merupakan teladan (exemplery counduct) baik berupa fi’liyah (doing: perbuatan), qauliyah (saying: ucapan), maupun sukutiyah (unconducting: diam).
Atas dasar itu, kurang tepat jika term Sunnah diartikan dalam konteks fi’liyah saja. Menurut Fazlur Rahman (intelektual Islam asal Pakistan), kepatuhan terhadap Sunnah (sifat normatif) dalam tesa historis tidak merupakan bagian integral dari Sunnah, melainkan berasal dari otoritas di luar Sunnah, walaupun untuk menyempurnakannya, Sunnah tersebut perlu dipatuh[i][i].[5][5] Dalam konteks ini, Sunnah tidak diartikan sebagai “praktek normatif,” karena Sunnah yang berkembang pada masyarakat awal muslim bukanlah Sunnah Nabi melainkan kebiasaan orang Arab pra Islam yang dimodifikasi al-Qur’an. Dengan demikian hadis dengan Sunnah memiliki “diferensiasi” yang khas. Hadis secara orisinil berasal dari Nabi, bukan berasal dari sunnah (praktek) yang hidup saat itu dan bersifat normatif.[6][6] Meskipun menurut para ahli hadis, Sunnah sama dengan hadis, tetapi pada hakekatnya ada perbedaan. Hadis ialah semua peristiwa yang disandarkan kepada Nabi, walaupun hanya sekali saja terjadi di sepanjang hayatnya, sedangkan Sunnah adalah amaliah Nabi yang mutawatir, lebih khusus dari segi maknanya.
Sunnah mengalami evolusi historis menjadi sunnah yang hidup dan selanjutnya diformalisir menjadi hadis. Dalam perspektif mayoritas ahli ushul Fikih, konsep Sunnah atau hadis berkembang cukup bervariasi: hadis mutawatir, masyhur, ahad, mawdhu’, dan lain-lain, dengan berbagai peringkat kehujjahannya: shahih, hasan,dha’if, dan lain-lain. Sunnah meskipun dari segi lafal penukilannya tidak mutawatir yang menyebabkan sanadnya pun menjadi tidak mutawatir, namun karena pelaksanaannya mutawatir, maka tetap dinamakan Sunnah. Otoritas Sunnah selain sebagai bayanterhadap al-Qur’an juga sebagai tasyri’ (legislasi Islam) dalam berbagai persoalan. Otoritas bayan Sunnah Nabi antara lain dalam bentuk tafsir al-mubham, tafshil al-mujmal, taqyid al-muthlaq, takhshish al’am. Semua bentuk bayan ini merupakan otoritas Sunnah sebagai tasyri,’ yakni sebagai penetap hukum yang bersifat independen, dalam kasus-kasus yang al-Qur’an tidak menetapkan hukumnya, merupakan otoritas Nabi yang bersifat ekstra Qur’aniy.[7][7] Ruang gerak atau sifat otoritas Sunnah Nabi lebih cenderung sebagai konsep perilaku, yang jika dipandang dari sisi al-Qur’an, Sunnah merupakan upaya operasional, karena itu lebih mencerminkan muatan situasional pada zamannya, kecuali yang menyangkut aspek religiositas dan moral Islam.[8][8] Sifat otoritas Sunnah Nabi, seiring dengan ungkapan-ungkapan legal spesifik al-Qur’an, yang seyogianya pemikiran- pemikiran seputar ini makin dikembangkan agar situasi dan kondisi baru dapat tercakup ke dalamnya. Dalam konteks ketetapan legal spesifik al-Qur’an, kedudukan Sunnah Nabi merupakan model atau pola aplikasinya. Sedang ketetapan legal spesifik al-Qur’an merupakan penjabaran dari prinsip-prinsip umum al-Qur’an. Perlu ada nuansa baru dalam reinterpretasi terhadap al-Qur’an dan Sunnah, sebagai ultimate goal Islam progresif, sehingga lebih adaptatif dengan dinamika perubahan
C. Epistemologi Hukum Islam
Dalam kaitannya dengan epistemologi hukum Islam dekonstruksi akan menimbulkan beberapa implikasi, diantaranya:
Pertama, dekonstruksi epistemologi hukum Islam akan membangkitkan pola diskursus mengenai formulasi epistemologi hukum Islam yang selama periode klasik-skolastik bahkan hingga ini diabaikan, seperti epistemologi hukum Islam di kalangan Syi'ah dan Khawarij. Dengan demikian, dekonstruksi ini akan melahirkan pemahaman baru terhadap epistemologi hukum Islam sesuai dengan perkembangan historis-sosiologis masyarakat muslim. Terbukti epistemologi hukum Islam klasik-skolastik sendiri selalu terkait dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik atau episteme periode formatif yang tidak lepas pertempuran-pertempuran ideologi saat itu.[9][9] Kedua, dekonstruksi epistemologi hukum Islam akan melahirkan perubahan struktur hirarkhis formulasi sumber hukum Islam klasik. Perubahan struktur hirarkis ini disebabkan adanya perubahan alat analisis yang digunakan dengan dimasukkannya alat analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang berkembang pada abad 20-an, semisal sosiologi, sejarah, dan linguistik. Alat analisis inilah yang cukup memadai untuk memahami Islam saat sekarang yang hidup di tengah-tengah tantangan dunia modern.[10][10] Ketiga, dengan bergesernya struktur hirarkis formulasi epistemologi hukum Islam ini dan diperkenalkannya ilmu-ilmu sosial dan humaniora, maka dimungkinkan akan muncul logika pluralisme dalam pola pikir umat Islam, sehingga berbagai dikhotomi dalam pemkiran hukum Islam klasik yang memandang segala hal atas dasar hitam-putih, halal-haram, sah-tidak sah, dan sebagainya akan diganti dengan keanekaragaman pemikiran hukum Islam secara lebih terbuka. Hal ini disebabkan karena dekonstruksi itu sendiri berusaha menempatkan berbagai diskursus dan interpretasi berada dalam posisi historis, sosiologis, dan epistemologis yang semestinya mengingat sistem aksiologis (value system) sangat terkait dengan kondisi kesejarahan tertentu.[11][11] Keempat, dengan adanya logika pluralisme ini maka dimungkinkan mengurangi atau bahkan menghilangkan fenomena dogmatisme dan ortodoksisme dalam pemikiran hukum Islam, baik di kalangan Sunni, Syi'i, maupun Khariji.[12][12] Dalam hubungan ini dengan wacana Islam progresif, epistemologi Fikih merupakan tema penting yang menarik untuk dikaji lebih spesifik mengingat pola pikir Fikih-oriented telah "menyejarah" dan hampir dominan di semua negara muslim.
Ada dua alasan mengapa Fikih begitu dominan. Pertama, Islam mempunyai ajaran yang menuntut tindakan praktis berkenaan dengan norma perilaku dan aturan peribadatan yang secara lahiriah harus bisa diukur. Kedua, kebutuhan ulama dan umara dalam mengendalikan atau membimbing umat Islam dalam perilaku sosial dan politik. Dominasi pola pikir Fikih-oriented ini kemudian menjadi salah satu unsur kelemahan umat Islam dalam memahami masalah berpindahnya "agama yang benar" kepada "ortodoksi ideologi". Atas dasar ini, sangat disesalkan lahirnya pembakuan dan pembukuan ajaran agama yang dianggap standar sehingga menyebabkan lahirnya kejumudan atau reifikasi ajaran Islam.[13][13] Reformasi hukum Islam dewasa ini semakin signifikan sehingga lebih akomodatif dengan dinamika perubahan sosial. Dalam konteks ini untuk mengeksplorasi kajian terhadap hukum Islam digunakan sistem berfikir eklektif. Suatu dalil yang diprioritaskan, mengacu pada dalil mana yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dan didukung oleh dalil yang kuat yang selaras dengan perkembangan masyarakat.
Penetapan hukum oleh para fuqaha’ terdahulu, dalam analisis sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasyri’, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan sosio-kultural. Dengan pendekatan sejarah (dirasah tarikhiyah) dapat diketahui metode fuqaha’ dalam menggali hukum, situasi dan kondisi yang mempengaruhi, serta maksud mendasar dari penetapan hukum (istinbath). Dalam menelaah Fikih warisan fuqaha’, digunakan juga pendekatan tarikhiyah ini, apalagi umumnya, para ahli Fikih menetapkan hukum berdasarkan ‘illat.[14][14] Selain itu, dalam menghadapi perkembangan Fikih di masa mendatang, pendekatan dirasah waqi’ah (pendekatan sosio-kultural) juga amat penting. Dirasah waqi’ah ini dimaksudkan adalah ilmu hukum kemasyarakatan. Dalam konteks reformasi hukum Islam, dua model pendekatan ini sangat penting. Dirasah tarikhiyah dan dirasah waqi’ah perlu dikombinasikan sebagai acuan metodologis dalam penataan kembali hukum Islam yang lebih adaptatif dengan dinamika perkembangan dan perubahan sosial. Dengan demikian, Fikih bisa berubah sesuai situasi dan kondisi yang terjadi, dengan memperhatikan kemaslahatan masyarakat secara umum. Reformasi pemikiran hukum Islam tersebut mesti selalu berpijak pada nash. Makna esensial dari pembaruan itu sendiri bukan berarti meninggalkan nash. Dalam hal ini, pembaruan itu dengan memperbarui barang lama yang telah usang dengan mengembalikannya seperti keadaan semula. Pembaruan hukum dilakukan dengan mengembalikan pada muatan prinsip dan asas-asas hukum, bukan dengan merombak atau menghancurkan sendi-sendi hukum.[15][15]
D. Kesimpulan
Pembaruan dilakukan dalam lapangan yang menjadi garapan ijtihad. Lapangan tersebut adalah masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang memerlukan penetapan hukum yang prinsip-prinsip umumnya (mabadi ‘ammah) telah ada dalam syari’at; dan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang terinci mengenai masalah atau perkara yang mubah.
Pembaruan hukum Islam malah tidak dapat dilakukan, jika sikap skeptis dan jumud masih melanda para ulama dan umat Islam. Sebaliknya, sikap progresif dan dinamis amat penting, tetapi sikap hati-hati tetap merupakan keharusan, di samping mempunyai otoritas yurisprudensi, sehingga sangat probabilitas untuk ber-istinbath dan ber-istidlal dalam merepresentasi makna substantif syara’.
DAFTAR PUSTAKA
Efrinaldi, (2001), Reaktualisasi Hukum Islam, Suatu Kajian Metodologis dalam Pemikiran Fazlur Rahman, dalam Mimbar Hukum, No. 50 Thn. XII 2001, Jakarta: Al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam Depag RI.
Fauzan al-Anshary, (2001), Koreksi atas Tafsir Liberal Syari'at Islam, Republika, 31 Agustus 2001.
Fazlur Rahman, (1980), Mayor Themes of the Qur’an, Minneapolis-Chicago: Biblioteca Islamica.
-------------------------, (1980), Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: Chicago University Press.
-------------------------, (1965), Islamic Methodology in History, Karachi: Institute of Islamic Research.
Hasbi Ash-Shiddieqy, (1966), Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang.
--------------------------, (2007), Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang.
Luthfi As-Syaukani, (2002), pengantar Wajah Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: JIL.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, (1963), Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Mesir: Maktabah Wahbah.
Fazlur Rahman,
Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,
(Chicago: Chicago University Press, 1980),
hal. 6.
Efrinaldi,
Reaktualisasi Hukum Islam, Suatu Kajian Metodologis dalam Pemikiran Fazlur Rahman, dalam
Mimbar Hukum, No. 50 Thn. XII 2001 (Jakarta:
Al-Hikmah
& DITBINBAPERA Islam Depag RI, 2001),
hal. 98.
Fazlur Rahman,
Mayor Themes of the Qur’an, (Minneapolis-Chicago:
Biblioteca Islamica,
1980),
hal. 68.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), hal.7-10. Fazlur Rahman,
Islamic Methodology in History, (Karachi: Institute of Islamic Research, 1965), hal. 12.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib,
Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1963), hal. 23-26.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), hal. 91.
Fauzan al-Anshary,
Koreksi atas Tafsir Liberal Syari'at Islam, Republika, 31 Agustus 2001.
Luthfi As-Syaukani, pengantar
Wajah Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: JIL, 2002), hal. 34.