, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Pola berpikir para penganut aswaja, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PEMBAHASAN
Pada dasarnya, tidak ada perbedaan yang prinsipil antara kelompok dan mazdab dalam Islam. Dalam ajaran Islam mereka semua meyakini bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumbernya. Para ulama’ dari berbagai madzhab juga tidak berbeda mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti tentang ke Esaan Tuhan. Kewajiban shalat, zakat, dan lain-lain. Tetapi, mereka memang berbeda dalam hal-hal yang tidak pokok, karena mereka berada dalam manhaj dalam berpikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan penekanan mereka atas otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan teks-teks sunna Rasul SAW.
Apabila ada diantara kelompok atau madzab dalam Islam yang bersikap liberal, maka hal itu karena liberal dalam menggunakan otoritas akal untuk menafsirkan ajaran Islam. Tapi perlu dicatat bahwa liberal disini berbeda dengan paham liberal dalam filsafat, karena metodologi berfikir pada semua aliran dalam Islam tidak ada yang mengesampingkan ‘naql’ (teks Qur’an) sebagai sumber ajaran dalam Islam.
Masing-masing kelompok dalam pemikiran Islam memiliki manhaj sendiri-sendiri. Mu’tazilah sering disebut sebagai kelompok liberal dalam Islam, Asy’ariyah disebut kelompok tradisional dan Maturidiah disebut kelompok yang bervariasi antara liberal dan tradisional (wasath-Mu’tadil)”. Keliberalan, kadang-kadang juga disebut rasional, paham Mu’tazilah, baik dalam konteks kalam atau fikih, berpangkal dari bahwa akal sebagai anugrah Tuhan, memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan dan hal-hal yang dianggap baik atau buruk. Sementara bagi kelompok tradisional Asy-ariyah, akal tidak sanggup mengetahui hal itu kecuali ada petunjuk dari naql atau nash, dan bagi kelompok wasath-mu’tadiln yang dalam hal ini di wakili oleh Maturidiah, akal itu mempunyai kekuatan tetapi juga sekaligus keterbatasan”. Apa yang dinyatakan oleh akal sebagai baik, tentu ia adalah baik dan juga sebaliknya. Tapi, tidak berarti semua perbuatan manusia sesuai dengan jangkauan akal, karena untuk menentukan baik dan buruk itu hanya dapat diketahui melalui naql. Jadi, kalau diringkas paradigma atau manhaj berpikir dalam Islam itu dapat di bagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok yang memberikan otoritas tinggi kepada akal, kelompok yang menganggap lemah terhadap akal dan kelompok yang bervariasi diantara dua kelompok yang pertama tadi. Apabila manhaj ini dihubungkan dengan paham aqidah, maka perna akal dan naql itu berhubungan dengan masalah-masalah Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya; dan apabila dihubungkan dengan masalah-masalah fikih, maka peran akal dan naql itu berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf). Adapun dalam konteks akhlak atau tashawuf, maka peran akal atau naql berhubungan dengan paham tentang hubungan spiritual antara manusia dengan Tuhan. Dalam ketiga aspeknya, yakni aqidah, fikih dan tasawuf, Ahlussuunah Wal Jama’ah memang memiliki prinsip manhaj berpikir taqdim al-Nashs ‘ala al-‘aql. Bedanya dengan paham liberal dalam Islam, meskipun sama-sama mengacu kepada nash, Ahlussunnah wal Jama’ah tidak terlalu mendalam menggunakan pendekatan ta’wil (mengalihkan arti harfiah terhadap ayat-ayat mutasyabihat), yang memberikan ruang agar nash sejalan dengan makna yang di tangkap aoleh akal. Dalam hal ini, ahlussunnah wal Jama’ah mendudukan akal hanya sebagai alat bantu untuk memahami nash. Karena itu, penafsiran agama tidak harus sejalan dengan akal seringkali juga salah dalam daya tanggapnya.
Ketiga kelompok tersebut sebenarnya bisa diringkas menjadi dua kelompok, karena kelompok yang ketiga, yakni wasath mu’tadil, dapat digabungkan dalam kelompok yang kedua, mengingat dalam manhaj berpikirnya sama-sama menempatkan akal sebagai alat bantu memahami nash dan terbatas daya tangkapnya. Meskipun demikian perlu dicacat bahwa antara kelompok tradisional Asy’ariah dan kelompok moderat maturidiah terdapat perbedaan kecil dalam hal akal tadi, bagi kelompok tradisional Asy’Ariyah, akal hampir sama sekali tidak memiliki daya dan otoritas, sedangkan bagi kelompok maturidiah akal mempunyai daya dan otoritas, meskipun tidak setinggi seperti yang dikonsepsikan paham liberal. Meskipun akal bagi Maturidiah sanggup mengetahui perbuatan yang baik dan buruk bagi manusia (dalam konteks fikih), ia tetap terbatas dan tidak mutlak, sehingga dalam keadaan tertentu tetap harus tunduk kepada makna nash apa adanya.
Dalam paham Libera ta’wil digunakan secara ketat, sehingga nash harus sejalan dengan makna yang di tunjukkan oleh akal. Dalam Asy’ariyah, takwil didudukan dalam otoritas sangat terbatas, sehingga paham keagamaannya terkesan tradisional, karena penafsiran tidak boleh melampuai makna yang tersurat dalam nash. Sementara Maturidiyah menggunakan metode ta’wil secara mendalam tetapi terbatas. Manhaj berpikir seperti ini tidak hanya terjadi dikalangan ulama kalam dan fikih, tetapi juga terjadi dikalangan ulama’ tasawuf.
Karena Ahlussunnah wal Jama’ah selalu mengambil jalan yang moderat, paham tasawuf yang ekstrim, seperti paham tasawuf yang di sebut dengan istilah wahdah al-wujud (unity of being) tidak diakui sebagai paham Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Semua paham yang menggunakan manhaj berfikir seperti itulah yang kemudian disebut sebagai paham “Sunni”. Para penganut manhaj berpikir yang oleh ulama diyakini mendekati kebenaran itu disebut juga sebagai kelompok purifikasi yang berusaha mengembalikan paham keagamaan yang di nilai bid’ah kepada paham yang sesuai dengan sunnah. Tetapi, manhaj berpikir ahlussunnah wal jama’ah seperti di sepakati oleh Jumhur (mayoritas) ulama itu tidaklah satu, tetapi variatif. Diantara mereka ada yang sangat terikat kepada nash. Dengan pola ini, maka penganut sunni pun beragam, yakni ada yang berpola tradisional, eksklusif dan ada yang modern-ekslusif. Maka, paham ini dapat menerima budaya pluralisme dan cenderung lebih terbuka untuk meng-cover dan mengakomodasi semua bentuk perubahan, karena mereka menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber yang utama. Al-Qur’an telah di jadikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai sumber utama dan pertama. 1) Apabila terdapat masalah-masalah kehidupan masalah yang mereka hadapi, mereka mencari pemecahannya lebih dahulu dalam Al-Qur’an. Apabila masalah tersebut terdapat pemecahannya dalam Al-Qur’an, maka selesailah sudah permasalahan tersebut.
2) Apabila masalah tersebut tidak mereka temukan dalam Al-Qur’an, maka Ahlussunnah wal Jama’ah mencari pemecahannya dalam sunnah Nabi SAW. Apabila hal itu terdapat dalam sunnah Nabi, maka selesailah masalahnya.
3) Apabila masalah itu tidak ada pemecahanya dalam sunnah Nabi, maka mereka mencari pemecahanya dalam ijma’ (kesepakatan ulama) para ahl al-hall wa al-‘aqd dikalangan para ulama’ yang lebih dahulu. Apabila masalah tersebut terdapat pemecahannya dalam ijma’, maka Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak mencari pemecahannya kesumber yang lain.
4) Apabila masalah yang di hadapi juga tidak ada pemecahanya dalam ijma’, maka Ahlussunnah Wal Jama’ah menggunakan akal mereka untuk melakukan ijtihad dengan mengqiyaskan hal-hal yang belum di ketahui status hukukmnya kepada hal-hal yang sudah diketahui status hukumnya apabila kedua hal tersebut memiliki faktor-faktor persamaan. Sebagian dalil dalam penggunaan empat sumber ini adalah firman Allah SWT dalam surat AN-Nisa’ : 59 :
Firman Allah , taatlah kamu kepada Allah menunjukkan keharusan merujuk kepada Kitab Allah, yaitu Al-Qur’an Firman Allah (dan taatlah kamu kepada Rasulullah SAW), memberikan isyarat untuk menggunakan Sunnah Nabi SAW. Firman Allah Memberikan isyarat tentang kewajiban menggunakan ijma (kesepakatan) umat yang di wakili oleh para ulama ah al-hall wa al-‘qad, dan kalimat , memberikan isyarat tentang penggunaan qiyas. Para sahabat dalam kehidupan beragama mereka telah mengikuti jejak Rasulullah baik dalam ucapan, perbuatan, petunjuk dan tingkah laku. Demikian pula para tabi’in tabi’it tabi’in, mengikuti para sahabat. Dengan demikian, maka Al-Qur’an, kehidupan Rasul SAW, para sahabat dan tabi’in merupakan sumber dan keteladanan bagi kehidupan umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di dalam melaksanakan berbagai kehidupan beragama, termasuk tasawuf dan akhlak.
Ahli tasawuf Sunni bersepakat (ijma’), bahwa tujuah tasawuf adalah untuk mendapatkan Ridha Allah. Hal tersebut ditempuh dengan jalan memerangi hawa nafsu. Didalam mengamalkan tasawuf, Ahlussunnah wal jama’ah mengikuti cara tasawuf dari tariqat Syeikh Junayd al-Baghdadi. Adapun akhlak menurut Ahlussunah Wal Jama’ah adalah perbuatan manusia yang dilakukan dengan bebas dan penuh kesadaran. Ia terdiri dari perangai mulia, karakteri dan agama.Hal itu didasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Firman Allah SWT :
Artinya : Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
(Q.S. Al-Qalam : 4)
Ibn ‘Abbas mengatakan bahwa akhlak adalah beragama dengan sempurna. Sedang tafsir al-Jalayn (Kitab Tafsir yang ditulis oleh Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti) mengartikan akhlak sebagai karakter dan adat.
Dengan demikian, maka pengertian akhlak adalah adat, karakteri, perangai, kehalusan hati dan istiqomah dalam beragama. Tersebut dalam Hadits.
Mukmin yang sempurna adalah mereka yang karakter dan adatnya baik. (H.R. Al-Turmudzi dan Al-Hakim).
BAB II
ANALISA
Dari pemaparan diatas dapat dianalisa mengapa pola pikir para penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah dapat di katakan lebih moderat dari kelompok yang lain. Hal ini dikarenakan :
a. Menggunakan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman dan menggunakan bahasa kontemporer dalam upaya membela akidah dalam menghadapi arus yang berusaha untuk menghancurkan dalam menghamburkan ajara Islam.
b. Berpegang pada sikap tawqif, tanzih dan tafwidh dalam masalah-masalah mutasyabihat yang ada dalam Qur’an dan Sunnah, seperti : Tangan Allah diatas semua tangan mereka .............(Q.S. Al-Fath : 10)
c. Merupakan mazhab jalan tengan (moderat), tidak menafikan sifat Allah dan tidak men-tasyib-kan (menyerupakan)-Nya dengan makhluk.
d. Memadukan akal dan nash dalam pengertian mendahulukan nash sebagai dasar utama, dan akal sebagai penunjang. Apabila teradi pertentangan antara akal dan nash, maka didahulukan nash, karena akal tidak mampu untuk memahami kehendak nash.
Dalam bidang Syari’ah Ahlussunnah Wal Jama’ah menetapkan 4 (empat) sumber yang dijadikan rujukan bagi pemahaman keagamaannya, yaitu al-Qur’an al-Karim, Sunnah Nabi, Ijma’ (kesepakatan Ulama), dan Qiyas (analogi).
BAB III
KESIMPULAN
Secara sederhanan biasa disarikan bahwa pola berpikir Ahlussunnah Wal Jama’ah itu :
1. Selalu menggunakan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman dan menggunakan bahasa kontemporer dalam upaya membela akidah dalam menghadapi arus yang berusaha untuk menghancurkan dan mengaburkan ajaran Islam.
2. Selalu berpegang pasa sikap tawqif, tanzih dan tafwidh dalam masalah-masalah mutasyabihat yang ada dalam Qur’an dan Sunnah.
3. Memadukan akal dan nash dalam pengertian mendahulukan nash sebagai dasar utama, dan akal sebagai penunjang. Apabila terjadi pertentangan antara akal dan nash, maka didahulukan nash, karena akal tidak mampu untuk memahami kehendk nash.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI-PRESS, Jakarta, 1986.
Mujamil Qomar, NU “Liberal Dari tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, Mizan,_
Said Aqil SIRADJ, Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, Penerbit, Lkis, Jogyakarta, 1999.