, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul PUTUS PERKAWINAN, TATA CARA PECERAIAN, DAN MASA IDDAH, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
A. PUTUS PERKAWINAN (KARENA KEMATIAN, PERCERAIAN, DAN PUTUSAN PENGADILAN) SERTA AKIBAT-AKIBATNYA
1. Putus Perkawinan
Putus perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dnegan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan bisa berarti salah seorang di antara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah seorang diantara keduanya pergi ke tempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu, dapat berarti ikatan perkawinan suami istri sudah putus dan/atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat oelh tali perkawinan.
Perceraian dalam hukum Islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah swt. Berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw sebagai berikut:
اًبْغَضَ اْلحَلاَلِ إِلَى اللهُ الطَّلاَقْ (رواه ابوداود وابن ماجه والحاكم)
"Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak/perceraian."(HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Al-Hakim)
Berdasarkan hadis tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternatif terkahir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif tekahir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oelh al-Quran dan ah-Hadits.
Kalau persoalan putusnya perkawinan atau perceraian serta akibat-akibatnya, diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 UU Perkawinan. Namun, tata cara perceraian diatur dalam Pasal 14 sampai pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, dan teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975.
Pasal 38 UU Perkawinan
Perkawinan dapat putus karena
a. Kematian
b. Perceraian
c. Atas keputusan pengadilan
Pasal 39 UU Perkawinan
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri
(3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Pasal 40 UU Perkawinan
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan
(2) Tata cara pengajuan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Selain rumusan hukum dalam UU Perkawinan tersebut, Pasal 113 sampai dengan Pasal 162 KHI merumuskan garis hukum yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara, dan akibat hukumnya. Sebagai contoh Pasal 113 KHI sama dengan Pasal 38 UU Perkawinan. Padal 114 mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oelh perceraian maka dapat terjadi karena talak atau berdasaran gugatan perceraian. Pasal 115 KHI mempertegas bunyi Pasal 39 UU Perkawinan yang sesuai dnegan konsern KHI, yiatu untuk orang Islam: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Lain halnya dengan alasan-alasan terjadinya perceraian yang penjelasannya dimuat dalam Pasal 19 PP no. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 KHI:
a. Salah satu pihak berbuat zina atu menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlansung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dalam KHI terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya perceraian yang beralku khusus kepada suami istri (pasangan perkawinan) yang memeluk agama Islam, yaitu:
g. Suami melanggar taklik talak
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Selain itu, KHI juga menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan perceraian dan akibat hukumnya, termasuk yang berkaitan dengan teknis pelaksanaannya agar tindakan perceraian itu dilakukan sesuai dengan hukum Islam.
Pasal 117 KHI
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130 dan 131 KHI.
Pasal 118 KHI
Talak raj'I adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.
Pasal 119 KHI
(1) Talak ba'in sugra' adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
(2) Talak ba'in sugra' sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
a. Talak yang terjadi qbla al-dukhul
b. Talak dengan tebusan atau khulu'
c. Talak yang dijatuhkan oelh Pengadilan Agama
Pasal 120 KHI
Talak ba'in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da dukhul dan habis masa iddahnya.
Pasal 121 KHI
Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122 KHI
Talak bid'I adalah talak yang dilarang, yatiu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi dicampuri pada waktu suci tersebut.
Pasal 123 KHI
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan
Pasal 124 KHI
Khulu' harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116
Pasal 125 KHI
Li'an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.
Pasal 126 KHI
Li'an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan/atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak hubungan dan/atau peningkaran tersebut.
Masalah tata cara lian diatur dalam paragraf 4 Pasal 87 dan 88 UU No. 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut UU Peradilan Agama).
Pasal 87
(1) Apabila permohonan atua gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.
Ketentuan li'an tersebut, juga diatur secara rinci dalam Pasal 127 KHI yang bersumber dari Surat An-Nur (24) ayat 6-9 seperti yang telah diuraikan ketika membahas mengenai asal usul anak.
Pasal 88 UU Peradilan Agama
(1) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara li'an.
(2) Apabila sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh istri akan penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku.
2. Akibat Putusnya Perkawinan
Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum baik yang tercantum dalam UU Perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI. Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi 5 karakteristik, yaitu sebagai berikut.
a. Akibat Talak
Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan Pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut;
Pasal 149 KHI
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut'ah (sesuatu) yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul
b. Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba'in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dukhul
d. Memberikan biaya hadlanah(pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.
Ketentuan Pasal 149 KHI tersebut dari Surah al-Baqarah (2) ayat 235 dan 236.
b. Akibat Perceraian (Cerai Gugat)
Cerai gugat, yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan. Cerai gugat didasarkan hadits Nabi Muhammad saw:
اَنَّ امْرَأَةُ قَالَتْ يَارَسُوْلُ اللهِ إِنَّ ابْنِي هَذَاكَانَتْ بَطْنِي لَهُ وِعَأ ٌُوَثَدْبِي لَهُ سَقَأُ وَحَجْرِي لَهُ حَوَأُ وَاِنَّ اَبَاهُ طَلَّقْنِي وَاَرَادَ اَنْ يَنْزِعَهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلعم اَنْتَ اَحَقٌّ بِهِ مَالَمْ تَنْكِحِي (رواه احمد وابو داود)
Seorang perempuan berkata kepada Rasulullah saw: "Wahai Rasulullah saw saya mengandung anak ini, air susuku yang diminumnya, dan dibalikku tempat kumpulnya (bersamaku), ayahnya telah menceraiakanku dan ia ingin memisahkannya dariku", maka Raslulullah saw bersabda: 'Kamu lebih berhak (memeliharanya, selama kamu tidak menikah." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim menshahihkannya).
Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai gugat). Hal itu diungkapkan sebagai berikut:
1. Anak yang belum mumayizberhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh:
a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
b. Ayah
c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
e. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
f. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya
3. Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula.
4. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemmapuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusnya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d).
6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemelihraan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
c. Akibat Khulu'
Perceraian yang terjadi akibat khulu', yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu, khulu'adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Oleh karena itu, khulu'adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan Pasal 161 KHI yang berbunyi: "Perceraian dengan jalan khulu' mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk."
d. Akibat li'an
Perceraian yang terjadi sebagai akibat li'an, yaitu ikatan perkawinan yang putus selama-lamanya. Dengan putusnya perkawinan dimaksud, anak yang dikandung oleh istri dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat li'an. Pasal 162 KHI merumuskan garis hukum sebagia berikut:
Bilamana li'an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.
Hal itu, berdasarkan Hadits nabi Muhammad saw sebagai berikut;
Sesungguhnya Nabi saw menyaksikan li'an antara seorang laki-laki dan istrinya, maka laki-lai itu tidak mengakui anak yang lahir dari istrinya maka laki-laki itu tidak mengakui anak yang lahir dari istrinya itu, maka beliau memisahkan di atnara keduanya dan menghubungkan nasab anak kepada ibunya. (Riwayat Bukhari)
e. Akibat Ditinggal Mati Suami
Kalau ikatan perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka istri menjalani masa Iddah dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat bagian harta warisan dari suaminya. Karena itu, Pasal 157 KHI: harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 96 dan 97.
Pasal 96 KHI
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka seperuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama
(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang, harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan agama.
Pasal 97 KHI menjelaskan bawah janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalma perjanjian perkawinan.
B. TATA CARA PERCERAIAN
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oelh ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan tercwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut UUPA) dan Pasal 115 KHI.
Tata cara perceraian bila dilihat dari aspek subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu sebagai berikut:
1. Cerai Talak (Suami yang Bermohon untuk Bercerai)
Apabila suami yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian sang istri menyetujuinya disebut cerai talak. Hal ini diatur dalam Pasal 66 UUPA.
Pasal 66 UUPA
(1) Seorang suami beragama Islam yang akan meneraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di laur negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
Pasal 68 UUPA
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oelh Mejelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan
(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 131 KHI
(1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan di maksud Pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dnegan maksud menjatuhkan talak.
(2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hiup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
(3) Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya
(4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tetnag izin ikrar talak baginya mempunayi kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
(5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangka empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri.
Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri dan helai keempat disimpan oleh pengadilan Agama.
2. Cerai Gugat (Istri yang Bermohon Untuk Bercerai)
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yagn diajukan oelh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh karena itu, khulu' seperti yang telah diuraiakan pada sebab-sebab putusnya ikatan perkawinan termasuk cerai gugat. Khulu' adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Cerai gugat diatur dalam:
Pasal 73 UUPA
(1) Gugatan perceraian diajukan oelh istri atua kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 74, 75 dan 76 UUPA dalam Pasal 133, 134 dan 135 KHI
Pasal 74 UUPA
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidna penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup penyampaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara diserta keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Pasal 75 UUPA
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter.
Psal 76 ayat (2) UUPA
Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim.
Pasal 77 UUPA
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah
Pasal 78 UUPA
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat:
a. Menerima nafkah yang ditanggung suami
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Mengenai pelaksanaan sidang pemeriksaan gugatan penggugat dimulai selambat-lambatnya 30 setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan. Hal ini diatur dalam Pasal 80 ayat (1) UUPA:
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan.
Akan tetapi, Pasal 80 ayat 2 dan 3 hanya menjelaskan teknis untuk menghindarkan ketidakhadiran pihak-pihak yang beperkara baik penggugat maupun tergugat. Hal ini menunjukkan hanya merupakan penegasan Pasal 29 ayat 2 dan 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut.
(2) Dalam penetapan waktu sidang gugatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oelh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka
(3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti dalam Pasal 20 ayat 3, sidang pemeriksaan gugatan perceraian diterapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pasal 142 KHI
(1) Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya
(2) Dalam hal suami atau istri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.
Sesudah perkara perceraian diputuskan dalam sidang terbuka utnuk umum, maka salinan putusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait. Oleh karena itu, Pasal 147 ayat 1 KHI menjelaskan:
Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri atau kuasanya dengan menarik kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan.
Selain salinan putusan dikirim kepada suami istri tersebut, dijelaskan dalam Pasal 84 UUPA.
Pasal 84 UUPA
(1) Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 hari mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencafat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
(3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat di daftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
(4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 hari terhitung setealh putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.
KHI membedakan cerai gugat dengan khulu'. Namun demikian, ia mempunayi kesamaand an perbedaan diantara keduanya. Persamaannya adalah keinginan untuk berrcerai datangnya dari pihak istri. Adapun perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak selamanya membayar uang iwad (uang tebusan), sedangkan khulu' uang iwad (uang tebusan) menjadi dasar akan terjadinya khulu' atau perceraian. Khulu' dimaksud, diatur dalam Pasal 148 KHI.
Pasal 148 KHI
(1) Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan Khulu', menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya
(2) Pengadilan Agama selambt-lambatnya satu bulan memanggil istri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing
(3) Dalam persidangan tersebut, Pengadilan Agama memberi penjelasan tentang akibat khulu' dan memberi nasihat-nasihantnya
(4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwad atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
(5) Penelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam Pasal 131 ayat 5
(6) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwad. Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa.
Pasal 87 UUPA
(1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atua penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat penyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.
C. MASA IDDAH (WAKTU TUNGGU)
Masa iddah (waktu tunggu) adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa iddah tersebut, hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri. Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan suami istri (qabla dukhul), tidak mempunyai masa iddah. Hal ini berdasarkan Firman Allah surat al-Ahzab (33) ayat 49 sebagai berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`Îgøn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎh| ur %[n#u| WxÏHsd ÇÍÒÈ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
Ayat diatas, menjadi dasar pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 153 KHI, yakni sebagai berikut:
Pasal 11 UUP
(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu
(2) Tenggang waktu/jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
Masa iddah dalam Pasal 153 KHI mempunyai beberapa macam yang dapat diklasifikasi sebagai berikut:
Pasal 153 KHI
(1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami
(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al-dukhulwaktu tunggu ditetapkan 130 hari
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 kali suci degnan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al-dukhul
(4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
(5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci
(6) Dalam hal keadaan ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.
1. Putus Perkawinan karena Ditinggal Mati Suami
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari (Pasal 39 ayat (1) haruf a PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 153 KHI). Ketetapan ini, berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya, bila istri dalam keadaan hamil, waktu tungguhnya adlaha sampai ia melahirkan.
2. Putus Perkawinan karena Perceraian
Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya, maka memungkinkan mempunyai beberapa waktu tunggu, yaitu sebagai berikut;
a. Dalam keadaan hamil
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil maka iddah-nya sampai ia melahirkan kandungannya
b. Dalam keadaan tidak hamil
1. Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya sebelum terjadi hubugnan kelamin maka tidak berlaku baginya masa iddah
2. Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul):
a) Bagi seorang istri yang masih datang bulan (haid), waktu tungguhnya berlaku ketentuan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari
b) Bagi seorang istri yang tidak datang bulan (tidak haid) masa iddah-nya tiga bulan atau 90 hari
c) Bagi seorang istri yang pernah haid. Namun, ketika menjalani masa iddah ia tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci
d) Dalam keadaan yang disebut pada ayat (5) KHI bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun dimaksud ia berhaid kembali, maka iddah-nya menjadi tiga kali suci.
3. Putus Perkawinan karena Khulu', Fasakh dan Li'an
Kalau masa iddah bagi janda yang putus ikatan perkawinannya karena khulu'(cerai gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri), fasakh (putus ikatan perkawinan karena salah satu di antara suami atau istri murtad atau sebab lain yang seharusnya dia tidak dibenarkan kawin), atau li'an, maka waktu tunggu berlaku seperti iddah talak.
4. Istri Ditalak Raj'I kemudian Ditinggal Mati Suami dalam Masa Iddah
Apabila seorang istri tertalak raj'I kemudian di dalam menjalani masa iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka iddah-nya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang mulai perhitungannya pada saat matinya bekas suaminya. Adapun masa iddah yang telah dilalui pada saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai dihitung dari saat kematian. Sebab, keberadaan istri yang dicerai selama menjalani masa iddah, dianggap masih terikat dalam perkawinan karena sang suami masih berhak merujukinya, selama masih dalam masa iddah (Al-Baqarah (2) ayat 228).
Pasal 170 KHI
(1) Istri yang ditinggal mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah
(2) Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.
D. RUJUK: PENGERTIAN DAN TATA CARANYA
1. Pengertian Rujuk
Rujuk dalam pengertian etimologi adalam kembali. Rujuk dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dnegan istri yang telah dicerai raj'I, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah.
Status suami mempunyai hak rujuk kepada bekas istrinya yang ditalak raj'i. hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2) ayat 228 sebagai berikut:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 wur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ketentuan di atas tidak terdapat dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, tetapi dijumpai dalam Pasal 163, 164, 165, dan 166 KHI.
Pasal 163 KHI
(1) Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal
(a) Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla al-dukhul
(b) Putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khulu'.
Rujuk harus dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah atauPembantu Pegawai Pencatat Nikah.
Hikmah rujuk, dapat dikemukakan di antaranya sebagai berikut;
1) Bertaubat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu untuk bertekad memperbaikinya
2) Menghindari murka dan kebencian Allah swt
3) Untuk menjaga keutuhan dan keselamatan keluarga, khususnya masa depan anak-anak.
2. Tata Cara Rujuk
Tata cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam Pasal 32, 33, 34, dan 38 Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tetnang kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan bagi yang beragama Islam. Kemudian dirinci oleh Pasal 167, 168 dan 169 KHI.
Pasal 167 KHI
(1) Suami yang hendak merujuk istri datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tingal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan usrat keterangan lain yang diperlukan. (Dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Menteri Agama RI No. 3 Tahun 1975 hanya menyebut PPN atau P3NTR yang mewilayahi tempat tinggal istri.
(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apkaah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj'i, apakah rujuk yang akan dilakukan itu adalah istrinya
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk
(5) Setelah rujuk itu dilakukan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk .
Sesudah rujuk dilaksakanakan, maka hal-hal yang bersifat teknis administratif, yang menjadi tugas dan kewenangan Pegawai Pencatat Nikah atau P3NTR yang diatru dalam Pasal 168 KHI.
Pasal 168 KHI
(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran rujuk danyang lain disimpan.
(2) Pengiriman lembar pertama dari edaftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 hari sesudah rujuk dilakukan.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua dnegan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.
Selanjutnya Pasal 169 KHI menguraikan langkah-langkah administratif lainnya.
Pasal 169 KHI
(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan pengirimannnya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami istri masing-masing diberikan Kutipan Bukti Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang diterapkan oelh Menteri Agama
(2) Suami istri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Bukti Pendaftaran Rujuk tersebut datang Ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akata Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oelh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan telah rujuk
(3) Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan panitera.
Ketentuan mengenai rujuk di atas, sama halnya dengan perkawinan, yaitu hanya dapat dibuktikan dengan akta niakh. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan administrasi dalam ikatan perkawinan yang disebut dalam kaitan ushul maslahat mursalah, yaitu mewujudkan suatu hukum untuk mencapai kemaslahatan, sementara tidak ada nash yang mengatur atau melarangnya.
E. SANKSI PIDANA DALAM HUKUM PERKAWINAN
Sanksi pidana dalam hukum perkawinan adalah hukuman yang akan diterima oleh pihak-pihak tertentu yang melanggar hukum perkawinan. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Pasal 45
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
a. Barangsiapa yang melanggar ketentuanyang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), dan 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah)
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) diatas merupakan pelanggaran
1. Jenis Pelanggaran Calon Mempelai
Calon mempelai yang diketahui dan terbukti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 3, 10 dan 40 akan diancam pidana denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Hal ini dapat dilihat pada pasal-pasal berikut.
Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinana memberikan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oelh camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oelh pegawai pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 peraturan pemerintah ini
(2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
(3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.
2. Jenis Pelanggaran Pegawai Pencatat Nikah
Pegawai Pencatat Nikah bila terbukti melakukan pelanggaran terhadap hukum perkawinan akan dijatuhkan sanksi dalam bentuk kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Sanksi hukum dalam hukum perkawinan, baik berupa kurungan atau denda ditentukan oleh pilihan hakim. Pelanggaran hukum perkawinan dimaksud akan dikemukakan dalam pasal-pasal sebagai berikut.
Pasal 6 PP No. 9 Tahun 1975
(1) Pegawai Pencatat Nikah yang menerima permberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU.
(2) Selain penelitian terhadap hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti pula:
a. Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan alasa usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.
c. Izin tertulis/izin pengadilan sebagaimana dimaksud dlaam Pasal 6 ayat 2, 3, 4, dan 5 UU Perkawinan, apakah salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun.
d. Izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU, dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri
e. Dispensasi pengadilan/pejabat sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat 2 UU
f. Surat kematian istri atua suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.
g. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Hankam/Pangab, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkata Bersenjata
h. Surat kuasa autentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 7 PP Nomor 9 Tahun 1975
(1) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud Pasal 6 oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
(2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud UU dan/atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat 2 PP ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atua kepada orang tua atau kepada wakilnya.
Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975
Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat memberitahukan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tem ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Pasal 11 PP No. 9 Tahun 1975
(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 PP ini (lihat pasa ini pada uraian sebelumnya) kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku
(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandangani pula oleh wali nikah atau yang mewakili.
(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975
(1) Akta perkawinan dibuat rangkap 2 helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada panitera pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada
(2) Kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan
Pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti dimaksud dalam Pasal 43.
Berdasarkan ketentuan peraturan pemerintah di atas, tampak bahwa Pegawai Pencatat lebih banyak dituntut kejujuran dan ketelitian dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, ia akan dihukum bilamana:
a. Pegawai Pencatat tidak menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan pelaksanaan perkawinan
b. Tidak melakukan penelitian leibh dahulu tentqang syarat yang harus dipenuhi calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan
c. Pegawai Pencatat tidak memberitahukan adanya halangan kawin terhadap mempelai
d. Pegawai Pencatat perkawinan tidak menandatangani pengumuman pelaksanaan perkawinan serta tidak menyimpan arsip dan tidak memberitahukan turunan Akta Nikah kepada mempelai berdua
e. Pegawai Pencatat perkawinan menyelenggarakan perkawinan seorang suami yang lebih dari seorang istri tanpa izin dari pengadilan.
3. Kategori Tindak Pidana dalam Hukum Perkawinan
Kategori tindak pidana dalam hukum perkawinan disebut jarimah ta'zir dalam hukum fiqih. Ta'zir adalah pelanggaran yang tidak ditentukan hukumannya secara rinci di dalam al-Qur'an dan al-Hadits, melainkan hakimyang memutuskan berdasarkan nilai-nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, hukumannya bisa berbeda pada setiap tempat berdasarkan situasi dan kondisi kemaslahatan dalam masyarakat. Namun demikian, perlu juga diketahui bahwa hukuman ta'zir dalam bentuk hukum Islam berfungsi untuk mendidik pelaku agar tidak melakukan pelanggaran lagi.
F. PERKAWINAN ANTAR (PEMELUK) AGAMA DAN STATUS KEWARGANEGARAAN YANG BERBEDA
1. Perkawinan Antar Pemeluk Agama
Perkawinan antar pemeluk agama (pria yang beragama Islam dengan wanita yang beragama selain Islam atau sebaliknya) tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam UU No. 1 Tahun 1974, UU No. 7 Tahun 1989, maupun dalam KHI Tahun 1991. Namun demikian, KHI mengungkapkan larangan terhadap orang Islam mengawini orang yang tidak beragama Islam yang diatur dalam Pasal 40 dan 44 KHI.
Pasal 40 KHI
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dnegna pria lain
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam
Pasal 44 KHI
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Jika dilihat pemahaman fikih di Indonesia memungkinkan terjadinya perkawinan antara seorang pria yang beragama Islam dengan wanita kitabiyah. Wanita kitabiyah adalah orang Yahudi dan Nasrani. Kebolehan tersebut didasari oleh adanya kesamaan kita suci yaitu masing-masing berasal dari wahyu Allah. Namun, sebaliknya wanita muslimah menikah dengan pria yang beragama selain Islam tidak dibolehkan. Hal ini berasal dari pemahaman tekstual firman Allah dalam surat Al-Maidah (5) ayat 5.
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB wur üÉÏGãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3t Ç`»uKM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$# ÇÎÈ
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda dalam kaitannya dengan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, maka dapat disebut persoalan khilafiyah. Namun demikian, perlu dikembangkan pengertian dan pemahaman yang baku degnan mengingat fungsi al-Qur'an sebagai firman Allah swt dan sebagai sumber utama hukum Islam. Oleh karena itu, perlu diperhatikan ketentuan al-Quran dalam surat al-Baqarah ayat 6 dan 7 yang menggolongkan manusia sehingga ketentuan itu dapat dipakai dalam kaitaanya dengan perkawinan campuran.
Sesuai dengan situasi dan kondisi pemeluk agama Islam di Indonesia maka pelaksanaan perkawinan kepada pihak yang beda agama dilarang oleh UU No. 1 Tahun 1974, UU No. 7 Tahun 1989 dan KHI berdasarkan asas kemaslahatan.
2. Perkawinan Antarkewarganegaraan yang Berbeda
Perkawinan antarkewarganegaraan yang berbeda dalam terminologi UU No. 1 Tahun 1974 disebut perkawinan campuran. Hal ini, diatur dalam pasal 57, 58, 59, 60, 61 dan 62 UU No. 1 Tahun 1974.
Pasal 57
Yang diimaksud dengan perkawinan campuran dalam UU ini ialah perkawinan antara dua orang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam UU Kewarganegaraan RI yang berlaku.
Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menurut hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata
(2) Perkawinan campuran yagn dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut UU Perkawinan ini.
Pasal 60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebleum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syrat-syarat tersebut dalam ayat 1 telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberiakn surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh