, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul PERJANJIAN, PERKAWINAN WANITA HAMIL DAN POLIGAMI DLAAM HUKUM PERKAWINAN, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
A. PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN
Perjanjian dlaam pelaksanaan perkawinan diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, yakni sebagai berikut:
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Pernjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan
(3) Pernanjian tersebut berlaku sejak perkawinana dilangsungkan
(4) Selama perkawinana berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Penjelasan Pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Namun Pasal 11 dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 menyebutkan suatu peraturan yang bertentangan. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
(1) Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum islam
(2) Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangi oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan
(3) Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama
Isi Pasal 11 tersebut, dirinci oleh Pasal 45 sampai Pasal 52 KHI, yiatu kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: a) taklik talak; dan b) perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Perjanjian perkawinan yang dijelaskan oleh Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, telah diubah atau setidaknya diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam seperti dijelaskan dibawah ini.
Pasal 46 KHI
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam
(2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama
(3) Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinana, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Ayat (3) KHI di atas bertentangan dengan Pasal 29 ayat 4 UU No. 1 Tahun 1974 yang mengungkapkan bahwa selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak, dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah, maka dalam penjelasannya disebutkan tidak termasuk taklik talak. Sebab, naskah perjanjian taklik talak, dilampirkan dalam salinan Akta Nikah yang sudah ditandatangani oleh suami. Oleh karena itu, perjanjian taklik talak tidak dapat dicabut kembali. Dapat dipahami bahwa sebelum pelaksanaann akad nikah Pegawai Pencatat perlu melakukan penelitian mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian itu, maupun teknis bagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka besama. Selama perjanjian itu berupa taklik talak, Menteri Agama telah mengaturnya. Sebagai ccontoh dapat diungkapkan teks taklik talak sebagai berikut:
Sesudah akad nikah, saya … bin … berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama … binti … dengan baik (mu'asyarah bil ma'ruf) menurut aaran syariat Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak atas istri saya itu seperti berikut:
Sewaktu-waktu saya:
(1) Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut
(2) Atau saya tidak memberi nafkah waktu kepadanya tiga bulan lamanya
(3) Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu
(4) Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak pengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwad (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwad (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.
Palu, 28 September 2005
Suami,
...........................................
Tanda Tangan dan Nama
Naskah taklik talak terseubt perlu diperiksa secara teliti oleh Pegawai Pencatat Perkawinan berdasarkan Pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975. hal itu, diungkapkan sebagai berikut:
(1) Apabila pada waktu pemeriksaan nikah calon suami istri telah menyetujui adanya taklik talak sebagai dimaksudkan Pasal 11 ayat 3 peraturan ini, maka suami mengucapkan dan menandatangani taklik talak yang telah disetujuinya itu setelah akad nikah dilangsungkan.
(2) Apabila dalam pemeriksaan nikah telah ada persetujuan adanya taklik talak akan tetapi setelah akad nikah suami tidak mau mengucapkannya, maka hal ini segera diberitahukan kepada pihak istrinya
Ketika menerima gugatan perceraian dari pihak istri dengan alasan pelanggaran perjanjian dalam taklik talak, Pengadilan Agama harus benar-benar meneliti apakah sang suami menyetuji dan mengucapkan sighat taklik talak atau tidak. Secara yuridis formal, persetujuan dan pembacaan sighat taklik talak dapat dilihat pada akta nikahnya, meski tidak atau belum sepenuhnya dapat dijamin kebenarannya.
Kalau suami menandatangi di bawah sighat taklik talak, ia dianggap menyetujui dan membaca sighat tersebut, kecuali ada keterangan lain.
Apabila memperhatikan sighat taklik talak, dapat dipahami bahwa maksud yang kandungannya amat baik dan positif kepastian hukumnya, yaitu melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, yang merupakan hak-hak sang istri yang harus diterimanya. Meskipun sang istri sudah mendapat hak baik hak khulu' (gugat cerai) maupun hak fasakh. Oleh karena itu, amat penting untuk memperhatikan persetujuan suami yang dibuktikan dnegan membubuhi tanda tangan atau tidak setuju membubuhkan tanda tangan ada sighat taklik talak. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekeliruan dan kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dari sighat dimaksud.
Selain itu, perjanjian perkawinan dapat juga dibuat oleh kedua belah pihak mengenai harta bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian perkawinan diatur oleh Pasal 47 s/d 52 KHI.
Pasal 47
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam
(3) Di samping ketentuan dalam ayat 1 dan 2 di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat 1 dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat 1 dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50 KHI
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami istri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.
(3) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami istri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami istri dalam suatu surat kabar setempat.
(4) Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boelhmerugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51 KHI
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama
Pasal 52 KHI
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan dinikahinya itu.
B. PERKAWINAN WANITA HAMIL
Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya. Oleh karena itu, masalah kawin dengan perempuan yang hamil diperlukan ketelitian dan perhatian yang bijaksana terutama oleh Pegawai Pencatat Nikah. Hal itu dimaksudkan adanya fenomena sosial mengenai kurangnya kesadaran masyarakat muslim terhadap kaidah-kaidah moral, agama dan etika sehingga tanpa ketelitian terhadap perkawinan wanita hamil memungkinkan terjadinya seorang pria yang bukan megnhamilinya tetapi ia menikahinya. Pasal 53 KHI mengatur perkawinan, sebagaimana diungkapkan dibawah ini.
(1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang mengahamilinya
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidka diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dasar pertimbangan KHI terhadap perkawinan wanita hamil adalah Surah An-Nur (24) ayat 3 yang berbunyi:
ÎT#¨9$# w ßxÅ3Zt wÎ) ºpuÏR#y ÷rr& Zpx.Îô³ãB èpuÏR#¨9$#ur w !$ygßsÅ3Zt wÎ) Ab#y ÷rr& Ô8Îô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºs n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ
Artinya: "Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin"
Ayat al-Qur'an diatas, menunjukkan bahwa kebolehan perempuan hamil kawin dengan laki-laki yang menghamilinya merupakan pengecualian. Oleh karena itu, laki-laki yang menghamili itulah yang tepat menjadi suaminya. Selain itu, pengidentifikasian dnegan laki-laki musyrik menunjukkan keharaman wanita yang hamil dimaksud menjadi syarat larangan terhadap laki-laki yang baik untuk mengawininya. Persyaratan tersebut dikuatkan lagi dengan kalimat penutup pada ayat al-Qur'an dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 221 (wahurrima dzalika 'ala almu'minin) bahwa selain laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil diharamkan oleh Allah untuk menikahinya.
Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah seorang perempuan yang hamil sebagai akibat zina dinikahi oleh seorang laki-laki yang bukan menghamilinya (dalam bahasa Bugis disebut passampo siri). Ketentuan ini tidak diatur oleh UU Perkawinan maupun KHI. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa kalau hal ini terjadi maka anak yang lahir adalah anak zina dan sesudah ibunya melahirkan sebaiknya dinikahkan ulang dengan laki-laki yang mengawininya ketika ia hamil.
C. ALASAN, SYARAT DAN PROSEDUR POLIGAMI
1. Alasan Poligami
Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan seperti diungkapkan sebagai berikut:
Pengadilan Agama memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila;
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Apabila diperhatikan alasna permberian izin melakukan poligami diatas, dapat dipahami bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah, mawaddah dan rahmah) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa suami istri maka dapat dianggaprumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan rahmah).
2. Syarat-Syarat Poligami
Pasal 5 UU No 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut:
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istri tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidakdapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama
3. Prosedur Poligami
Prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan eprmohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 KHI sebagai berikut.
Pasal 56 KHI
(1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam BAB VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
(3) Perkawinan yang dilakuan dnegan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum
Pasal 57 KHI
Pengadilan Agama hanya membeirkan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Kalau pengadilan agama sudah menerima permohonan izin poligami, kemudian ia memeriksa berdasarkan Pasal 57 KHI:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan, apabila persetujuan itu merupakan persetuuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan
c. Ada atua tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja atau
ii. Surat keterangan pajak penghasilan
iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan
Pasal 58 ayat 2 KHI
Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
Adapun tata cara teknis pemeriksaannya menurut Pasal 42 PP No. 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut:
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan
(2) Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Apabila terjdai sesuatu dan lain hal, istri atau istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya atua tidak dapat menjadi pihak dlama perjanjian, UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat 2 menegaskan:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istri tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidka ada kabar dari istri-istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atua karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan (bandingkan juga Pasal 58 KHI). Namun, bila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang (Pasal 43 PP No. 9 Tahun 1975).
Kalau sang istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan ynag diatur dalam Pasal 55 ayat 2 dan Pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59 KHI). Apabila keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat Nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pegnadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43 PP No. 9 Tahun 1975.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan poligami seperti telah diuraikan di atas mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dna pegawai pencatat perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal di atas dikenakan sanksi pidana. Persoalan ini diatur dalam BAB IX Pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975:
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
- Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat 3, 40 Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah)
- Pegawai Pencatat yang melanggar yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat 1, 11, 12, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat 1 diatas merupakan pelanggaran.
Ketentuan hukum poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan dimaksud, terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi atas dasar cinta dan kasih sayang yang diridai oleh Allah swt. Oleh karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut, sehingga mesti dihilangkan atau setidaknya dikurangi.
Status hukum poligami adalah mubah. Mubah dimaksud, sebagai alternatif untuk beristri hanya sebatas 4 (empat) orang istri. Hal itu ditegaskan oleh Pasal 55 KHI sebagai berikut:
(1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri
(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Dasar pertimbangan KHI adalah hadits Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmizi dan Ibn Hibban yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya Gilan ibn Salamah masuk Islam dan ia mempunyai 10 (sepuluh) ornag istri. Mereka bersama-sama dia masuk Islam. Maka Nabi Muhamad saw memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang saja di antaranya dan menceraikan yang lainnya.