, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Tugas dan fungsi pendidikan islam, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Tugas Pendidikan Islam
Tugas pendidikan Islam senantiasa bersambung (kontinu) dan tanpa batas. Hal ini karena hakikat pendidikan islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan konsensus uiversal yang ditetapkan oleh Allah SWT dan rasul-Nya. Pendidikan yang terus-menerus dikenal dengan istilah “ min al-mahdi ila al-lahdi” ( dari buaian sampai liang lahad) atau dalam istilah lain: life long education (pendidikan sepanjang hayat dikandung badan) (perhatikan QS. Al-Hijr: 99). Demikian juga tugas yang diberikan pada lembaga pendidikan Islam bersifat dinamis, progresif, dan inovatif mengikuti kebutuhan peserta didik dalam arti yang luas.
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsan al-Kaylani, tugas pendidikan Islam pada hakikatnya tertumpu pada dua aspek, yaitu Pendidikan tauhid dan pendidikan pengembangan tabiat peserta didik. Pendidikan tauhid dilakukan dengan pemberian pemahaman terhadap dua kalimat syahadat; pemahaman terhadap jenis-jenis tauhid (rububiyah, uluhiyah, dan sifat dan asma); ketundukan, kepatuhan, dan keikhlasan menjalankan Islam; dan menghindarkan dari segala bentuk kemusyrikan. Sedang pendidikan pengembangan tabiat peserta didik adalah mengembangkan tabiat itu agar mampu memenuhi tujuan penciptaan-nya, yaitu beribadah kepada Allah SWT dan menyediakan bekal untuk beribadah, seperti makan dan minum. Menurut Ibnu Taimiyah, manusia yang sempurna adalah mereka yang senantiasa beribadah, baik beribadah diniyyah maupun beribadah kawniyah.
Ibadah diniyyah adalah ibadah yang berhubungan dengan Penciptaan (ta’abudiyah) dan sesama manusia (ijtima’i). Sedangkan ibadah kawniyah adalah ibadah yang berhubungan dengan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Allah SWT setelah memahami hukum-hukum alam dan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Untuk menelaah tugas-tugas pendidikan Islam, dapat dilihat dari tiga pendekatan, yaitu:
- pendidikan dipandang sebagai pengembangan potensi;
- pendidikan dipandang sebagai pewarisan budaya;
- pendidikan dipandang sebagai interaksi antara pengembangan potensi dan pewarisan budaya.
Menurut Hasan Langgulung ketiga pendekatan itu tidak dapat berdiri sendiri, karena merupakan satu keutuhan. Tetapi, dalam pelaksaannya terkadang salah satu di antara ketiga pendekatan itu ada yang lebih dominan, sementara yang lain proporsinya lebih diperkecil. Pendidikan sebagai Pengembangan potensi Tugas pendidikan Islam ini merupakan realisasi dari pengertian tarbiyah al-insya ( menumbuhkan atau mengaktualisasikan potensi). Asumsi tugas ini adalah bahwa manusia mempunyai sejumlah potensi atau kemampuan, sedangkan pendidikan merupakan proses untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi tersebut. Pendidikan berusaha untuk menampakkan (aktualisasi) potensi-potensi laten tersebut yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Dalam Islam, potensi laten yang dimiliki manusia banyak ragamnya.
Abdul Mujibmenyebutkan tujuh macam potensi bawaan manusia, yaitu: 1. Al-Fitrah (Citra Asli) Fitrah merupakan citra asli manusia, yang berpotensi baik atau buruk di mana aktualisasinya tergantung pilihannya. Fitrah yang baik merupakan citra asli yang primer, sedangkan fitrah yang buruk merupakan citra asli yang sekunder. Fitrah adalah citra asli yang dinamis, yang ada pada sistem-sistem psikofisik manusia, dan dapat diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Citra unik tersebut telah ada sejak awal penciptaannya. Fitrah ini ada sejak zaman azali di mana penciptaan jasad manusia memiliki fitrah yang sama, meskipun perilakunya berbeda. Fitrah manusia yang paling esensial adalah penerimaan terhadap amanah untuk menjadi khalifah dan hamba Allah di muka bumi. Dalam studi Qur’ani, fitrah ketika dikorelasikan dengan kalimat lain, mempunyai banyak makna:
- fitrah berarti suci (al-thuhr). Menurut al-Awzai, fitrah memiliki makna kesucian (al-thuhr). Maksud suci disini bukan berarti kosong atau netral (tidak memiliki kecenderungan baik buruk) sebagaimana yang diteorikan oleh John Locke atau psikobehavioristik, melainkan kesucian psikis yang terbebas dari dosa warisan dan penyakit rohaniyah;
- fitrah berarti potensi ber-islam (al-din al-islamy). Pemaknaan semacam ini dikemukakan oleh Abu Hurairah bahwa fitrah berarti beragam islam;
- fitrah berarti mengakui keesaan Allah (tauhid Allah). Manusia lahir dengan membawa potesi tauhid, atau paling tidak, ia berkecenderungan untuk mengesakan Tuhan, dan berusaha terus-menerus untuk mencari dan mencapai ketauhidan tersebut. Manusia secara fitrah telah memiliki watak dan kecenderungan al-tauhid, walaupun masih di alam imateri ( ‘alam ruh,alam alastu ) (perhatikan QS. Al-A’raf: 172.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, fitrah dapat diartikan dengan: “Citra asli yang dinamis, yang terdapat pada sistem-sistem psikopisik manusia, dan dapat diaktatualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Citra unik tersebut telah ada sejak awal penciptaannya. Dari pengertian ini, sekalipun potensi fitriah manusia itu merupakan gambaran asli yang suci, bersih, sehat, dan baik, namun dalam aktualisasi dapat mengaktual dalam bentuk perbuatan buruk, sebab fitrah manusia itu yang aktualisasinya sangat tergantung keinginan manusia dan lingkungan yang memengaruhinya. Pendapat lain dinyatakan bahwa jenis fitrah itu memiliki banyak dimensinya, tetapi dimensi yang terpenting adalah:
- Fitrah agama; sejak lahir, manusia mempunyai naluri atau insting beragama, insting yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Pencipta dan Mahamutlak, yaitu Allah SWT. Sejak di alam roh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah Tuhannya (QS.al-A’raf: 172),sehingga ketika dilahirkan, ia berkecenderungan pada al-hanif, yakni akan kebenaran mutlak (Allah) (QS. Ar-Rum: 30). 2. Fitrah intelek; Intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Allah SWT sering memperingatkan manusia untuk menggunakan fitrah inteleknya, misalnya dengan kalimat: afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tubshirun, afala tadabbarun, dan sebagainya, karena daya dan fitrah intelek ini yang dapat membedakan antara manusia dan hewan. 3. Fitrah sosial; kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok yang di dalamnya terbentuk suatu ciri-ciri yang khas yang di sebut dengan kebudayaan. Kebudayaan ini merupakan cermin manusia dan masyarakatnya. Islam dapat disebut sebagai ide, sedangkan kebudayaan disebut sebagai realita. Realita yang ideal adalah reaita yang terdekat dengan ide, sehingga membentuk kebudayaan masyarakat yang 100% islami. Walaupun wujud kebudayaan bermacam-macam dan bervariasi substansinya tidak menyalahi ide Islam. Oleh karena itu, tugas pendidikan disini adalah menjadikan kebudayaan Islam sebagai proses kurikulum pendidikan Islam dalam seluruh peringkat dan tahapannya. 4. Fitrah susila; kemampuan manusia untuk mempertahankan diri dari sifat-sifat amoral, atau sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah yang menciptakannya. Fitrah ini menolak sifat-sifat yang menyalahi kode etik yang disepakati oleh masyarakat Islam. Manusia yang menyalahi fitrah susilanya, akibatnya menjadi hina (QS al-Anfal: 55, al-A’raf: 179). 5. Fitrah ekonomi (mempertahankan hidup); Daya manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan upaya memberikan kebutuhan jasmaniyah, demi kelangsungan hidupnya. Fitrah ekonomi tidak menghendaki adanya materialisme atau diperbudak oleh materi bagi manusia, atau mengeksploitasi kekayaan alam untuk kepentingan diri sendiri. Maksud fitrah ini adalah memanfaatkan kekayaan alam sebagai realisasi dari tugas-tugas keikhlasan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
- Struktur Manusia Struktur adalah “satu organisasi permanen,pola,atau kumpulan unsur-unsur yang bersifat relatif stabil, menetap, dan abadi.” Para psikolog menggunakan istilah ini untuk menunjukkan pada proses-proses yang mempunyai stabilitas. Struktur manusia terdiri atas jasmani,rohani, dan nafsani. Struktur nafsani terbagi atas tiga macam, yaitu kalbu, akal, dan hawa nafsu. Struktur jasmani memiliki ciri-ciri: (1) adanya di alam dunia/jasad (materi) atau alam penciptaan (khlaq), yang tercipta secara bertahap atau bertahap atau berproses dan melalui perantara; (2) memiliki bentuk,rupa,kadar, dan bisa disifati, yang naturnya buruknya dan kasar, bahkan mengejar kenikmatan syahwati; (3) memiliki energi jasmaniyah yang disebut dengan al-hayah (nyawa/daya hidup), yang eksistensi energi jasamani tergantung pada makanan yang bergizi; (4) eksistensinya menjadi wadah roh; (5) terikat oleh ruang dan waktu; (6) hanya mampu menangkap satu bentuk kongkret dan tak mampu menangkap yang abstrak; (7) substansinya temporer dan hancur setelah kembali dan (8) dapat di bagi-bagi dengan beberapa komponen. Struktur rohani memiliki ciri: (1) adanya di alam arwah (imateri) atau alam perintah (amar), yang terciptanya secara langsung dari Allah tanpa melalui proses graduasi ; (2) tidak memiliki bentuk,rupa,kadar, dam tidak dapat disifati, yang naturnya halus dan suci (cenderung ber-islam atau bertauhid) dan mengejar kenikmatan rohaniyah; (3) memiliki energi rohaniyah yang disebut dengan al-amanah; (4) eksistensi energi rohaniyah tergantung pada ibadah, yang memotivasi kehidupan dunia manusia; (5) tidak terikat oleh ruang dan waktu; (6) dapat menangkap beberapa bentuk yang kongkret dan abstrak; (7) substansinya abadi tanpa ada kematian; dan (8) tidak dapat di bagi-bagi karena satu keutuhan. Struktur nafsani memiliki ciri-ciri: (1) adanya di alam jasad dan rohani, yang terkadang tercipta secara bertahap atau berproses dan terkadang tidak; (2) antara berbentuk atau tidak, berkadar atau tidak, bisa disifati atau tidak, yang naturnya antara baik atau buruk, halus-kasar, dan mengejar kenikmatan rohani-syahwati; (3) memiliki energi rohaniah-jasmaniah; (4) eksistensi energi nafsani tergantung pada ibadah dan makanan bergizi; (5) eksistensinya aktualisasi atau realisasi diri; (6) antara terikat dan tidak mengenai ruang dan waktu; (7) dapat menangkap antara yang kongkret dan abstrak, satu bentuk atau beberapa bentuk, yang substansinya antara abadi dan temporer; (8) antara dapat dapat dibagi-bagi dan tidak.
- Al-Hayah (Vitality) Hayah adalah daya, tenaga, energi, atau vitality hidup manusia yang karenanya manusia dapat bertahan hidup. Al-Hayah ada dua macam, yaitu: (1) jasmani yang intinya berupa nyawa (al-hayah), atau energi fisik (al-thaqat al-jismiyah) atau disebut roh-jasmani. Bagian ini amat tergantung pada susunan sel, fungsi kelenjar, alat pencernaan, susunan syarat sentral, dan sebagaimana yang dapat ditampilkan dengan tanda-tanda fisiologis pembawaan dan karakteristik yang kurang lebih konstan sifatnya; (2) rohani yang intinya berupa amanat dari Tuhan (al-amanah al-ilahiyyah) yang disebut juga roh-rohani. Amanah merupakan energi psikis (al-thaqat al-ruhaniyyah) yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Melalui dua bagian ini, maka vitalitas manusia menjadi sempurna. Tanpa nyawa maka jasmani manusia tidak dapat hidup, dan tanpa amanah maka rohani manusia tidak bermakna. Al-Hayah tidak sekedar dapat menghidupkan manusia, tapi juga menjadi esensi (al-haqiqah) bagi kehidupannya.
- Al-Khuluq (Karakter) Akhlak (bentuk tunggal dari akhlaq) adalah kondisi batiniah (dalam) bukan kondisi lahiriah (luar) individu yang mencakup al-thabu’ dan al-sajiyah. Orang yang ber-khuluq dermawan lazimnya gampang memberi uang pada orang lain, tetapi sulit mengeluarkan uang pada orang yang digunakan uantuk maksiat. Sebaliknya, orang yang ber-khuluq pelit lazimnya sulit mengeluarkan uang, tapi boleh jadi ia mudah manghambur-hamburkan uang untuk keburukan. Khuluq adalah kondisi (hay’ah) dalam jiwa (nafs) yang suci (rasikhah), dan dari kondisi itu tumbuh suatu aktivitas yang mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Khuluq bisa disamakan dengan karakter yang masing-masing individu memiliki keunikan sendiri. Dalam terminologi psikologi, karakter (character) adalah watak, perangai, sifat dasar yang khas; satu sifat atau kualitas yang tetap terus-menerus dan kekal yang bisa dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan seorang pribadi.
- Al-Thab’u (tabiat) Tabiat yaitu citra batin individu yang menetap (al-sukun). Citra ini terdapat pada konstitusi (al-jibillah) individu yang diciptakan oleh Allah SWT seajak lahir. Menurut Ikhwan al-Shafa, tabiat adalah daya dari daya nafs kuliyah yang menggerakan jasad manusia. Dalam psikologi, temperamen (temperament) adalah disposisi reaksi seseorang. Ia juga konstitusi psikis atau Aku-Nya psikis yang erat kaitannya dengan konstitusi fisik yang dibawa semenjak lahir, sehingga heriditas sifatnya. Misalnya, temperamen sanguinikus yang mempunyai sifat dominan darah, sehingga menimbulkan sifat gembira, suka berubah. Temperemen flegmatikus yang mempunyai sifat dominan lendir sehingga menimbulkan sifat tenang, tak suka bergerak. Temperamen kholerikus yang mempunyai sifat dominan empedu kuning ssehingga mempunyai sifat lekas marah dan mudah tersinggung. Dan, temperamen melankholikus yang mempunyai sifat dominan empedu hitam sehingga menimbulkan sifat pesimistik dan suka bersedih hati.
- Al-sajiyah (Bakat) Sajiyah adalah kebiasaan (a’dah) individu yang berasal dari hasil integrasi antara karakter individu (fardiyyah) dengan aktivitas-aktivitas yang diusahakan (al-muktasab). Dalam terminologi psikologi, sajiyah diterjemahkan dengan bakat (aptitude) yaitu kapasitas, kemampuan yang bersifat potensial. Ia ada pada faktor yang ada pada individu sejak awal dari kehidupan, yang kemudian menimbulkan perkembangan keahlian, kecakapan, ketrampilan, dan spesialis tertentu. Bakat ini bersifat laten (tersembunyai dan bisa berkembang) sepanjang hidup manusia, dan dapat diaktualisasikan potensinya. Potensi yan terpendam dan masih lelap itu dapat dibuat aktif dan aktual. Bakat asli yang merupakan hasil dari karakter individu akan sulit berkembang apabila tanpa dibarengi oleh upaya-upaya lingkungan yang baik, seperti pendidikan, pengajaran, pelatihan, dan dakwah amar ma’ruf atau nahi mungkar.
- Al-Sifat (sifat-sifat) Sifat, yaitu satu ciri khas individu yang relatif menetap, secara terus-menerus dan konsekuen yang diungkapkan dalam satu deretan keadaan. Sifat-sifat totalitas dalam diri individu dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu deferensiasi, regulasi, dan integrasi. Deferensi adalah perbedaan mengenai tugas-tugas dan pekerjaan dari masing- masing bagian tubuh. Misalnya fungsi jasmani seperti fungsi jantung, lambung, darah, dan lain-lain, serta fungsi kejiwaan seperti inteligensi, kemauan, perasaan, dan sebagainya. Regulasi adalah dorongan untuk mengadakan perbaikan sesudah terjadi suatu gangguan di dalam organisme manusia. Integrasi adalah proses yang membuat keseluruhan jasmani dan rohani manusia yang menjadi satu kesatuan yang harmonis, karena terjadi satu sistem pengaturan yang rapi.
- Al-Amal (Perilaku) Amal adalah tingkah laku lahiriah individu yang tergambar dalam bentuk perbuatan nyata. Pada tingkat amal ini kepribadian individu dapat diketahui, sekalipun kepribadian yang dimaksud mencakup lahir dan batin. Hukum fikih memiliki kecenderungan melihat aspek lahir dari kepribadian manusia, sebab yang lahir itu mencerminkan yang batin, sementara hukum tasawuf lebih melihat pada aspek batiniahnya. Kepribadian islam yang ideal mencakup lahir dan batin.
B. Fungsi pendidikan islam
Fungsi pendidikan islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan bersifat struktural dan intitusional. Arti dan tujuan struktur adalah menuntut terwujudnya struktur organisasi pendidikan yang mengatur jalannya proses kependidikan, baik dilihat dari segi vertikal maupun segi horizontal.
Faktor-faktor pendidikan bisa berfungsi secara interaksional (saling memengaruhi) yang bermuara pada tujuan pendidikan yang diinginkan. Sebaliknya, arti tujuan intitusional mengandung implikasi bahwa proses kependidikan yang terjadi di dalam struktur organisasi itu dilembagakan untuk menjamin proses pendidikan yang berjalan secara konsisten dan berkesinambungan yang mengikuti kebutuhan dan perkembangan manusia dan cenderung ke arah tingkat kemampuan yang optimal. Oleh karena itu, terwujudlah berbagai jenis dan jalur kependidikan yang formal, informal, dan nonformal dalam masyarakat. Menurut Kurshid Ahmad, yang dikutip Ramayulis, fungsi pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
- Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa.
- Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Tugas pendidikan Islam senantiasa bersambung (kontinu) dan tanpa batas. Hal ini karena hakikat pendidikan islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan konsensus uiversal yang ditetapkan oleh Allah SWT dan rasul-Nya. Pendidikan yang terus-menerus dikenal dengan istilah “ min al-mahdi ila al-lahdi” ( dari buaian sampai liang lahad) atau dalam istilah lain: life long education (pendidikan sepanjang hayat dikandung badan) (perhatikan QS. Al-Hijr: 99). Demikian juga tugas yang diberikan pada lembaga pendidikan Islam bersifat dinamis, progresif, dan inovatif mengikuti kebutuhan peserta didik dalam arti yang luas.
Fungsi pendidikan islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan bersifat struktural dan intitusional. Arti dan tujuan struktur adalah menuntut terwujudnya struktur organisasi pendidikan yang mengatur jalannya proses kependidikan, baik dilihat dari segi vertikal maupun segi horizontal.
DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1987)
Al-Shafa, Ikhwan, Rasdil Ikhawan al-Shafa wa Khalan al-Wafa, (Beirut: Dar Sadir, 1957), juz II,
Mujib, Abdul, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2006)
Chaplin, P, James, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartino kartono, (Jakarta: Rajawali, 1989)