, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul pemeliharaan anak dan tanggung jawab terhadap anak bila terjadi perceraian, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pemeliharaan Anak
Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketentraman dan segala aspek yang berakitan dengan kebutuhannya. Dlaam ajaran Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada istri untuk membantu suaminya bila suami tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, amat penting mewujudkan kerja sama dan saling membantu antara suami dan istri dalam memelihara anak sampai ia dewasa. Hal dimaksud pada prinsipnya adalah tanggung jawab suami istri kepada anak-anaknya. KHI menjelaskan sebagai berikut:
Pasal 98 KHI
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hokum di dalam dan diluar pengadilan.
(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya meninggal.
Pasal 98 tersebut memberikan isyarat bahwa kewajiban kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi bekal mereka di hari dewasanya. Secara khusus Al-Qur'an menganjurkan kepada ibu agar menyusui anak-anaknya secara sempurna (sampai usia dua tahun). Namun, al-Qur'an juga mengisyaratkan kepada ayah atau ibu supaya melaksanakan kewajibannya berdasarkan kemampuannya, dan sama sekali al-Qur'an tidak menginginkan ayah atau ibu menderita karena anakny. Apabila orang tua tidak mampu memikul tanggung jawab terhadap anaknya, maka tanggung jawab dapat dialihkan kepada keluarganya (Surah al-Baqarah (2) ayat 233).
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. (ô`yJÏ9 y#ur& br& ¨LÉêã sptã$|ʧ9$# 4n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4w ß#¯=s3è? ë§øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4w §!$Òè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ wur ×qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºs 3÷bÎ*sù #y#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur xsù yy$oYã_ $yJÍkön=tã 3÷bÎ)ur öN?ur& br& (#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& xsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3(#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
Artinya: "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Baqarah: 233)
Selain itu, hak anak terhadap orang tuanya adalah anak mendapat pendidikan, baik menulis maupun membaca, pendidikan keterampilan, dan mendapatkan rezeki yang halal. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad sebagai berikut:
حَقَّ الْوَلَدِ عَلَى وَالِدِ اَنْ يُعَلِّمَهُ الْكِتَابَةَ وَالسِّبَاحَةَ وَالرِّمَايَةَ وَاَنْ لاَيَرْزُقَهُ اِلاَّطَيِّبًا (رواه البيهقي)
Artinya: "Hak seorang anak kepada orang tuanya adalah mendapat pendidikan menulis, renang, memanah dan mendapat rezeki yang halal. (HR Baihaqi)
Berdasarkan hadis tersebut, Pasal 45, 46 dan 47 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membuat garis hokum sebagai berikut:
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik
(2) Jika anak lebih dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas tahun) atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hokum di dalam dan di luar pengadilan.
Selain kewajiban di atas, kewajiban lain yang menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu hak kebendaan. Pasal 106 KHI mengungkapkan garis hokum sebagai berikut.
Pasal 106 KHI
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatyan sang anak itu menghendaki atua suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
Selain KHI tersebut, Pasal 28 UU Perkawinan menegaskan bahwa orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atua menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Kalau seorang bayi disusukan oleh orang yang bukan melahirkannya maka perempuan yang menyusui bayi bertanggung oleh ayah bayi itu. Hal ini diatur oleh Pasal 104 KHI sebagai berikut:
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkan kepada ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah ibunya.
Demikian uraian mengenai ketentuan pemeliharaan anak dan batas-batasnya yang menjadi tanggung jawab orang tua terutama ayah sebagai kepala rumah tangga dan pelindung keluarga, bagi istri dan anak-anaknya.
B. Tanggung Jawab terhadap Anak Bila Terjadi Perceraian
Pada dasarnya orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan anak-anaknya, baik orang tua dalam keadaan rukun maupun dalam keadaan sudah bercerai. Pemeliharaan anak biasa disebut
hadanahdalam kajian fiqih.
Hadanah adalah memelihara seseorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya. Hal ini dirumuskan garis hukumnya dalam pasal 41 UU Perkawinan sebagai berikut:
Pasal 41 UUP
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah
a. Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Garis hokum yang terkandung dalam Pasal 41 Undang-Undang tersebut, tampak tidak membedakan antara tanggung jawab pemeliharaan yang mengandung nilai materiil dengan tanggung jawab pengasuhan anak yang mengandung nilai nonmaterial atau yang mengandung nilai kasih saying. Undang-Undang Perkawinan penekanannya berfokus pada nilai materiilnya, sedangkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang penekanannya meliputi kedua aspek tersebut, yakni sebagai berikut:
Pasal 105 KHI
Dalam hal terjadi perceraian
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya
Ketentuan KHI tersebut, tampak bahwa tanggung jawab seorang ayah atau ia sudah kawin lagi. Dapat juga dipahami bahwa ketika anak itu masih kecil (belum baligh) maka pemeliharaannya merupakan hak ibu, namun biaya ditanggung oleh ayahnya. Selain itu, anak yang belum mumayyiz maka ibu mendapat prioritas utama untuk mengasuh anaknya. Apabila anak sudah mumayyiz maka sang anak berhak memilih di antara ayah atau ibunya yang ia ikuti. Tergantung dari anak dalam menentukan pilihannya. Lain halnya bila orang tua lalai dalam melaksanakan tanggung jawab, biak dalam merawat dan mengembangkan harta anaknya. Orang tua yang demikian dapat dicabut atau dialihkan kekuasaannya bila ada alas an-alasan yang menuntut pengalihan tersebut. Hal ini berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b. Ia berkelakuan buruk sekali
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Kalau perceraian dilakukan oleh pegawai negeri, orang tua terikat dalam pelaksanaan tanggung jawab terhadap anaknya. Hal ini diatur oleh pemerintah melalui surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) Nomor 08/SE/1983 pada poin 19 yang menyatakan:
Apabila perceraian terjadi atas kehendak pegawai negeri sipil pira, maka ia wajib menyerahkan sebagaian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya, dengan ketentuan sebagai berikut;
a. Apabila anak mengikuti bekas istri, maka pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut:
(1) Sepertiga gaji untuk pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan
(2) Sepertiga gaji untuk bekas istrinya
(3) Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada bekas istrinya
b. Apabila perkawinan tidak menghasilkan anak, maka gaji dibagi dua, yaitu setengah untuk pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan dan setengah untuk bekas istrinya.
c. Apabila anak mengikuti pegawai negeri pria yang bersangkutan maka pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut:
(1) Sepertiga gaji untuk pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan
(2) Sepertiga gaji untuk bekas istrinya
(3) Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan pada pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan
d. Apabila sebagian anak mengikuti pegawai negeri sipil yang bersangkutan dan sebagian lainnya mengikuti bekas istrinya, maka 1/3 gaji yang menjadi hak anak itu dibagi menurut jumlah anak. Umpamanya seorang pegawai negeri sipil bercerai dengan istrinya, pada waktu perceraian terjadi mereka mempunyai 3 orang anak, yang seorang mengikuti pegawai negeri sipil yang bersangkutan dan yang 2 orang anak mengikuti bekas istrinya. Dalam hah yang demikian, maka bagian gaji yang menjadi hak anak itu dibagi sebagai berikut:
(1) 1/3 dari 1/3 gaji = 1/9 gaji diterima kepada pegawai negeri sipil yang bersangkutan
(2) 2/3 dari 1/3 gaji = 2/9 gaji diterima kepada bekas istrinya.
Ketentuan di atas tidak berlaku apabila perceraian terjadi atas kehendak istri yang bersangkutan, kecuali istri yang bersangkutan meminta cerai karena dimadu maka sesudah perceraian terjadi bekas istri tersebut berhak atas bagian gaji tersebut. Selain itu, apabila bekas istri yang bersangkutan kawin lagi, pembayaran bagian gaji dihentikan terhitung mulai bulan berikutnya bekas istri yang dimaksud kawin lagi. Demikian juga, bekas istri yang bersangkutan kawin lagi, sedangkan semua anak ikut kepada bekas istri tersebut, maka 1/3 gaji tetap menjadi hak anak yang diterimakan kepada bekas istri yang bersangkutan. Lain halnya, pada waktu perceraian sebagian anak mengikuti pegawai negeri sipil dan sebagian lagi mengikuti bekas istri dan bekas istri kawin lagi dan anak tetap mengikutinya, maka bagian gaji yang menjadi hak anak itu tetap diterimakan kepada bekas istri dimaksud.
Aturan diatas diberlakukan kepada pegawai sipil, muatan ketentuannya dapat juga diberlakukan kepada suami istri yang bercerai bila mereka mempunyai anak. Karena masa depan anak adalah tanggung jawab da
ri kedua orang tuanya.
BAB IIKESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketentraman dan segala aspek yang berakitan dengan kebutuhannya.
Pada dasarnya orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan anak-anaknya, baik orang tua dalam keadaan rukun maupun dalam keadaan sudah bercerai. Pemeliharaan anak biasa disebut hadanah dalam kajian fiqih. Hadanahadalah memelihara seseorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Zainal Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)