, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul model-model pendidikan islam dan orientasinya, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PENDAHULUAN
Di tengah-tengah kemelut resesi kehidupan manusia di berbagai bidang, terutama bidang ekonomi-keuangan, dimana nilai-nilai yang mendasarinya juga terkena dampak negatifnya sehingga goyah dan rentan menjadi transitif, maka pendidikan Islam sebagai salah satu bagian dari kehidupan universal, tak dapat terhindar dari dampak keguncangannya.
Realita perubahan sosiokultural yang melanda seluruh bangsa di atas bumi, termasuk bangsa Indonesia, menuntut kepada adanya konsepsi baru yang tanggap dan sanggup memecahkan problema-problema kehidupan umat manusia melalui pusat-pusat gerakan yang paling strategis dalam masyarakat. Salah satu pusat strategi tersebut adalah gerakan kependidikan yang mempunyai landasan ideal dan operasional yang kokoh berdasarkan nilai-nilai yang pasti dan antisipatif kepada kemajuan hidup masa mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan Islam yang bertugas pokok menggali, menganalisis dan mengembangkan serta mengamalkan ajaran Islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, cukup memperoleh bimbingan dan arahan dari kandungan makna yang terungkap dari kedua sumber tuntutan tersebut. Makna yang komprehensif dari sumber tersebut menjangkau dan melingkupi segala aspek kehidupan manusia modern. Sejak manusia baru memahami dan menghayati makna kehidupan primordial yang mistis dan panpleksis di mana alam sekitar dengan segala bentuk kekuatannya menjadi apa yang disebut oleh Rudolf Otto sebagai mysterium tremendum dan mysterium fascinas (suatu kekuatan gaib yang menakutkan dan menarik hati) sampai dengan kemampuan hidup yang rasionalistik, analitik, sintetik dan logic terhadap kekuatan alam sekitar menyadarkan manusia akan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi yang alloplastik terhadap lingkungannya. Sumber ajaran Islam itu benar-benar lentur dan kenyal serta responsive tanggap terhadap tuntutan hidup manusia yang makin maju dan modern dalam segala bidang kehidupan, termasuk bidang ilmu dan teknologi canggih yang masa kini sedang berkembang kearah puncaknya.
Ayat-ayat yang mendorong dan merangsang akal pikiran untuk berilmu pengetahuan dan teknologi itu seperti tersebut dalam Surat Ar-Rahman ayat 1-33 tentang kelautan dan ruang angkasa luar; Surat Al-An’am ayat 79 tentang eksplorasi benda-benda ruang angkasa dengan akal pikiran oleh Nabi Ibrahim untuk menemukan Tuhan yang hak, serta pengolahan dan pemanfaatan besi tembaga, sebagai bahan teknologi bangunan-bangunan kolosal, dijelaskan dalam Surat Sabaa’ ayat 10-13. Banyak lagi ayat-ayat yang mendorong manusia agar mengembangkan ilmu dan teknologi seperti bidang-bidang teknobiologi, agronomi dan sebagainya.
Pendidikan Islam dapat kita kembangkan menjadi suatu agent of technologically and culturally motivating resources dalam berbagai model yang mampu mendobrak pola piker tradisional yang pada dasarnya dogmatis, kurang dinamis dan berkembang secara bebas. Pada prinsipnya nilai-nilai Islam tidak mengekang atau membelenggu pola piker manusia dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan. Relevan dengan hal tersebut adalah kemampuan berijtihad dalam segala bidang ilmu pengetahuan perlu dikembangkan terus-menerus. Yang menjadi permasalahan adalah tentang bagimana kita membudidayakan ide-ide dan konsep-konsep keilmiahan yang bersumberkan kitab suci al-Qur’an ke dalam educational engineering yang operasional dan fungsional sehingga dapat mengacu ke dalam perkembangan masyarakat yang makin dinamis itu.
Orientasi dasar pendidikan Islam, yang diletakkan oleh Rasulullah pada awal risalahnya ialah menumbuhkembangkan system kehidupan social yang penuh kebajikan dan kemakmuran (dengan amal saleh), meratakan kehidupan ekonomi yang berkeadilan social berpolakan dunia dan akhirat yang bertumpu pada nilai-nilai moral yang tinggi; dan berorientasi kepada kebutuhan pendidikan yang mengembangkan daya kreativitas dan pola piker intelektual bagi terbinanya tekno-sosial yang berkeadilan dan berkemakmuran. Ketiga dimensi orientasi dasar tersebut menjadi modal pokok untuk mendinamisasikan umat manusia pada kurun waktu permulaan sejarah pendidikan Islam yaitu pada zaman Nabi dan sahabat besar Nabi (khulafa’ ar-rasyidun). Pendidikan Islam benar-benar menggugah potensial alami manusia yang suci bersih sehingga mengacu kepada tuntutan aspiratif yang bercitra Ilahiah dan insaniah. Pendidikan Islam pada masa itu mampu menjadikan kaum muslimiin sebagai pelaku positif terhadap pembangunan diri pribadi dan masyarakatnya sehingga self-propelling dalam proses mencapai baldatun thoyibatun wa rabbun ghafur.
Para filsuf-filsuf muslim seperti Ibnu Sina (985 M), al-Ghazali (1058) dan Ibnu Khaldun (1332 M) yang hidup pada periode keemasan perkembangan ilmu pengetahuan Islam di Benua Arabia, Afrika Utara dan Spanyol Islam, secara principal telah meletakkan konsepsi pendidikan Islam yang berorientasi kepada kebutuhan perkembangan anak didik.
Menurut al-Ghazali secara potensial pengetahuan itu telah eksis dalam jiwa manusia bagaikan benih yang ada di dalam tanah. Melalui belajar potensi itu akan menjadi actual (A.L. Tibawy, 1972, p. 42-43). Al-Ghazali memandang bahwa system perkembangan kemampuan rasionalitas itu berdasarkan pola keseimbangan dengan kekuasaan Tuhan dan keseimbangan penalaran dengan pengalaman mistik yang memberikan ruang bagi bekerjanya rasio, serta keseimbangan antara berpikir deduktif dengan pengalaman empiris manusia. Orientasi al-Ghazali yang bercorak empiris dalam pendidikan tampak di sisi lain, seperti keharusan seorang pendidik memperbaiki sikap dan perilaku pendidik pada waktu bertugas mengajar. (Al-Djumlathy, etl. P. 111-115).
Ibnu Khaldun berpandangan serupa dengan al-Ghazali. Menurutnya akal pikiran (rasio) merupakan kekuatan menciptakan kehidupan dan kerja sama dengan anggota-anggota masyarakatnya serta untuk menerima wahyu Tuhan melalui Rasul-Nya. Akal pikirannya itulah yang menjadi dasar bagi kegiatan belajarnya. Ibnu Sina yang berpandangan idealistis dalam pendidikan lebih menekankan pembinaan akhlak atau moralitas. Namun dalam operasionalisasi kependidikan ia berpahaman empiris, seperti kedua filsuf yang disebut terdahulu. Penerapan metode empiris tampak dalam proses pembentukan akhlak melalui pembiasaan, pemberian hadiah dan hukuman, targhib dan tarhib, ikhlas dan I’radhdan sebagainya (DR. Sa’ad-Mursa-Ahmad, 1985, p. 271).
Model-model pendidikan yang terbukti tidak memuaskan tuntutan umat terlihat pada praksisasinya sebagai berikut:
1. Model pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola piker bahwa nilai-nilai lama yang konservatif dan asketis harus dilestarikan dalam sosok pribadi muslim yang resistan terhadap pukulan gelombang zaman, merupakan cirri utama pendidikan esensialistik.
2. Jika pendidikan Islam berorientasi kepada pola piker bahwa nilai-nilai Islami yang mengandung potensi mengubah nasib masa lampau ke masa kini yang dijadikan inti kurikulum pendidikan, makan model pendidikan Islam menjadi bercorak perenialistik, dimana nilai-nilai yang terbukti tahan lama saja yang diinternalisasikan ke dalam pribadi anak didik. Sedangkan nilai-nilai yang potensial bagi semangat pembaruan ditinggalkan.
3. Bila pendidikan Islam hanya lebih berorientasi pada personalisasi kebutuhan pendidikan dalam segala aspeknya, maka ia bercorak individualistis, di mana potensi aloplastik (bersifat mengubah dan membangun) masyarakat dan alam sekitar kurang mengacu kepada kebutuhan sosiokultural.
4. Jika pendidikan Islam berorientasi kepada masa depan sosio, masa depan tekno, dan masa depan bio, dimana ilmu dan teknologi menjadi pelaku perubahan dan pembaruan kehidupan social, maka pendidikan Islam yang bercorak teknologis, dimana nilai-nilai samawi ditinggalkan diganti dengan nilai-nilai pragmatic-realivistik cultural.
5. Akan tetapi, jika pendidikan Islam yang berorientasi kepada perkembangan masyarakat berdasarkan proses dialogis di mana manusia ditempatkan sebagai Geiger-counter, pendeteksi sinar radioaktif elemen-elemen social yang berpotensi controversial ganda, yaitu membahagiakan dan menyejahterakan. Maka mekanisme aksi-reaksi dalam perkembangan manusia menjadi gersang dari nilai-nilai Ilahi yang mendasari fitrahnya.
Dengan memperhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia anugerah Allah, model pendidikan Islam seharusnya berorientasi kepada pandangan falsafah sebagai berikut:
1. Filosofis: memandang manusia didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitriah, dinamis dan social-religius serta yang psiko-fisik. Cenderung kepada penyerahan diri secara total kepada Maha Penciptanya.
2. Etimologis: potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengetahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid, yang basyariyah, dharuriah, menjadi shibghahmanusia muslim sejati berderajat mulia.
3. Pedagogis: manusia adalah makhluk belajar sejak dari ayunan sampai liang lahat yang proses perkembangannya didasari nilai-nilai Islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan dan tuntutan perubahan social, lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oelh misi kekhalifahan di muka bumi.
Secara kurikuler model-model tersebut didesain menjadi:
1. Content: lebih difokuskan pada permasalahan sosiokultural masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilai yang inheren dengan tuntutan Tuhan.
2. Pendidik: bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang dialogis interdependen dan terpercaya.
3. Anak didik: dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan yang lain, (guru, teman-teman sebaya dan orang dewasa, serta alam sekitar).
Jadi corak belajar demikian adalah bersifat inovatif (innovative learning) bukan belajar melestarikan apa yang ada (maintenance learning), konservatif dan pasif serta dogmatis.
Maka tak salah lagi jika kita mengambil nasihat salah seorang sahabat Nabi Ali bin Abi Thalib ra yang menegaskan:
عَلِّمُوْا اَوْلاَدَكُمْ غَيْرَ مَا عُلِّمْتُمْ فَإِنَّهُمْ خُلِقُوْا لِزَمِنٍ غَيْرَ زَمَانِكُمْ
“Didiklah anak-anak kalian tidak seperti yang dididikkan kepada kalian sendiri, karena itu mereka diciptakan untuk generasi zaman yang berbeda dengan generasi zaman kalian”.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Dengan memperhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia anugerah Allah, model pendidikan Islam seharusnya berorientasi kepada pandangan falsafah sebagai berikut:
- Filosofis
2. Etimologis
3. Pedagogis
Secara kurikuler model-model tersebut didesain menjadi:
- Content: lebih difokuskan pada permasalahan sosiokultural masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilai yang inheren dengan tuntutan Tuhan.
2. Pendidik: bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang dialogis interdependen dan terpercaya.
3. Anak didik: dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan yang lain, (guru, teman-teman sebaya dan orang dewasa, serta alam sekitar).
DAFTAR PUSTAKA
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta. 2003