Advertisement
Contoh Makalah Perkawinan di Minangkabau
Contoh Makalah Perkawinan di Minangkabau - Hallo sahabat
Kumpulan Makalah Lengkap, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Contoh Makalah Perkawinan di Minangkabau, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Contoh Makalah, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul :
Contoh Makalah Perkawinan di Minangkabaulink :
Contoh Makalah Perkawinan di Minangkabau
Baca juga
Contoh Makalah Perkawinan di Minangkabau
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah perkawinan di Minangkabau merupakan kebijaksanaan yang wajib dilaksanakan oleh seluruh rakyat atau masyarakat di Minangkabau.
Perkawinan di Minangkabau pada hakikatnya sudah ada sejak zaman nenek moyang. Dengan melangsungkan perkawinan, seseorang telah melaksanakan adat Minangkabau.
Pelaksanaan perkawinan di Minangkabau memang sangat menganjurkan sesuai dengan anjuran agama Islam. Jika sudah saatnya, seseorang sudah dianjurkan untuk menikah atau melaksanakan perkawinan.
B. Tujuan
Dengan membuat makalah ini diharapkan agar kita lebih memahami tentang perkawinan di Minangkabau. Perkawinan di Minangkabau yang diselenggarakan ini berdasarkan atas tanggung jawab seluruh masyarakat.
C. Manfaat
Adapun manfaat dari masalah perkawinan di Minangkabau ini yaitu untuk mengetahui seluk beluk tatacara perkawinan di Minangkabau.
Jadi, manfaat perkawinan di Minangkabau penting bagi kelangsungan hidup manusia. Perkawinan di Minangkabau dapat dilaksanakan dengan baik, maka kita sebagai masyarakat Minangkabau sangat perlu menjaga dan tidak menyalahgunakan arti dari perkawinan perkawinan tersebut karena berdampak buruk.
D. Rumusan Masalah
Dalam rumusan masalah ini penulis membahas masalah perkawinan di Minangkabau serta mengetahui seluk beluk tatacara perkawinan di Minangkabau.
E. Pendekatan
Masalah yang penulis buat ini sangat erat hubungannya dengan agama dan kebudayaan yang didasarkan pada perkawinan dalam menjalani kehidupan berumah tangga.
BAB II
PEMBAHASAN
PERKAWINAN DI MINANGKABAU
A. Sistem Perkawinan Di Minangkabau
Adat Minangkabau melarang kawin sesuku. Laki-laki dari suku Piliang harus memilih istri dari suku lain yang bukan Piliang. Ia tidak di benarkan kawin dengan perempuan yang satu suku dengannya. Jika ia menikahi perempuan yang sesuku dengannya, akan menjadi ejekan di dalam nagari. Orang yang menikah sesuku disebut tamakan pokok (termakan pokok). Perkawinan yang bukan sesuku itu disebut perkawinan luar suku (perkawinan eksogami suku).
Masyarakat Minangkabau hidup berkelompok. Kelompok itu ditandai dengan suku. Orang satu suku adalah orang berdunsanak. Mereka berasal dari satu keluarga, dari satu Rumah Gadang. Meskipun sudah berlainan sudah berlainan Rumah Gadang, namun mereka masih tetap memiliki hubungan. Kadang-kadang sudah berlainan nagari pun masih dianggap berdunsanak. Oleh sebab itu mereka tidak dibenarkan saling menikah.
Seorang laki-laki harus mencari istri dari suku lain. Misalnya laki-laki dari suku Piliang, ia harus mencari calon istri dari luar suku Piliang. Secara matrilineal tidak ada hubungan kekeluargaan, tidak ada hubungan bertali darah. Mereka dibolehkan menikah menurut adat Minangkabau.
Perkawinan dua orang yang berlainan suku ini disebut perkawinan antara Rumah Gadang. Di Minangkabau ada anggapan. Perkawinan salah seorang anggota keluarga secara lahir adalah terbentuknya keluarga baru. Akan tetapi, secara batin menghubungkan dua keluarga. Hakikat perkawinan memang antara individu dengan individu lain tetapi pada sisi lain sudah terjalin hubungan antara keluarga dengan keluarga, antara Rumah Gadang dengan Rumah Gadang. Hal ini berpengaruh terhadap sistem kehidupan dan kekeluargaan di Minangkabau.
Seorang laki-laki dewasa di Minangkabau memiliki dua fungsi. Pengertian laki-laki dewasa ialah laki-laki yang telah beristri. Jika ia beristri dianggap sudah dewasa. Fungsinya itu adalah sebagai mamak didalam suku (kaumnya) dan menjadi Bapak didalam keluarga istrinya. Sebagai mamak ia berkewajiban membimbing kemenakannya, sebagai Bapak ia berkewajiban memangku anak-anaknya.
Tanggung jawab laki-laki dewasa di Minangkabau memang berat. Ia harus memangku anaknya dan membimbing kemenakannya. Memangku anak dan membimbing kemenakan ada ruang-ruangnya, ada batas-batas yang mengaturnya. Memangku anak dilakukan dengan hasil pencarian di rumah istri. Membimbing kemenakan dilakukan dengan harta pusaka didalam kaum atau suku. Selain itu orang kampung juga harus diperhatikan. Hal lain penting memelihara aday supaya jangan rusak. Itulah sebabnya laki-laki Minangkabau dianjurkan menikah dengan perempuan yang ada didalam nagarinya.
Perkawinan eksogami suku adalah perkawinan dengan orang luar suku dan perkawinan endogami nagari ialah perkawinan dengan orang didalam nagari.
B. Makna dan Upacara Perkawinan
Perkawinan di Minangkabau mengandung makna yang luas dan dalam. Makna yang luas terlihat pada terbentuknya kekerabatan baru atau hubungan antar keluarga Rumah Gadang. Makna yang dalam tergambar pada penerapan ajaran Islam dan ajaran adat Minangkabau. Perkawinan di Minangkabau bukan hanya pertemuan antara dua individu yang berlainan jenis, tetapi membina hubungan antara dua keluarga dan melaksanakan ajaran Islam dan adat.
Perkawinan membentuk hubungan baru antar keluarga. Dengan perkawinan tercipta kekerabatan baru. Kerabat Sumando dan Sumandan, Ipa dan Bisan, Mintuo dan Minantu, Bako dan Anak Pisang, terbentuk karena adanya perkawinan. Dengan demikian, perkawinan bukan hanya membina hubungan antara individu, tetapi juga membina hubungan antara keluarga dengan keluarga.
Perkawinan bermakna dalam karena dalam karena melaksanakan suruhan agama Islam dan ajaran adat Minangkabau. Islam sangat menganjurkan kalau sudah dianggap mampu, seseorang hendaklah menikah. Pernikahan itu bertujuan untuk mencegah perbuatan yang bertentangan dengan Islam. Jika sudah mampu dan dewasa, ternyata belum menikah dan imannya kurang kuat, bisa terjadi perzinaan. Oleh karena itu islam menganjurkan pernikahan jika sudah mampu.
Secara garis besar ada dua upacara perkawinan. Upacara kedua berkaitan dengan ketentuan adat. Kedua upacara itu dilakukan oleh orang Minangkabau dalam perkawinan. Jika sudah dilakukan upacara menurut Islam, akan diiringi dengan upacara menurut adat.
Inti upacara menurut Islam ialah akad nikah. Akad nikah dilaksanakan dihadapan petugas Angku kali. sedangkan yang menikahkan adalah orang tua perempuan. Orang tua perempuan menikahkan anaknya dengan laki-laki yang dipilihnya. Kemudian laki-laki akan menerima nikah itu dengan memberikan mahar atau mas kawin. Selesai upacara pernikahan, Angku kali akan membacakan khutbah pernikahan. Khutbah itu berisi nasehat untuk kedua mempelai. Kemudian diakhiri dengan do’a.
C. Syarat Perkawinan Menurut Adat
Pada hakekatnya, jika akad nikah sudah ada, Islam telah mengesahkan perkawinan itu. Akan tetapi, menurut adat masih ada syarat yang lain yang harus dipenuhi. Jika syarat menurut Islam tidak terpenuhi, hukumannya adalah dosa. Akan tetapi, jika syarat menurut adat yang tidak terpenuhi, hukumannya diterima dari masyarakat.
Perkawinan di Minangkabau mengharuskan laki-laki yang datang ke rumah perempuan. Suami datang ke rumah istri setelah dijemput oleh keluarga istri.
Meskipun sudah selesai akad nikah menurut agama Islam, laki-laki belum boleh pulang ke rumah istrinya. Ia baru dibolehkan pulang apabila sudah dijemput secara adat oleh keluarga perempuan. Jadi, syarat pertama menurut adat dalam perkawinan ialah laki-laki dijemput secara adat oleh keluarga perempuan.
Setelah penganten laki-laki dijemput oleh keluarga perempuan, orang kampung harus diberi tahu. Diumumkan kepada orang bahwa telah menikah antara seorang laki-laki dengan perempuan. Cara mengumumkan itu ialah dengan mengundang orang-orang yang patut-patut, kerabat dekat, dan pemuka masyarakat dalam suatu kenduri. Kenduri itu dinamakan baralek.
Besar kecilnya kenduri (alek) sangat tergantung kepada kemampuan kedua keluarga. Jika yang menikah itu orang yang mampu, aleknya akan besar. Banyak orang yang diundangnya. Akan tetapi, kalau keluarganya kurang mampu, aleknya dilaksanakan alakadarnya. Sekedar memenuhi adat dan sekedar pemberitahuan kepada masyarakat. Jadi, syarat kedua perkawinan itu ialah memberitahukan kepada masyarakat tentang perkawinan dengan upacara pesta (baralek).
Setelah laki-laki di jemput, kenduri dilangsungkan di rumah mempelai (anak daro), sanak famili dan kaum kerabat sudah diundang. Anak daro sudah diharuskan pula mengunjungi rumah mertuanya (rumah orang tua laki-laki). Upacara itu dinamakan Manjalang Mintuo (mengunjungi mertua). Jika mertua sudah dikunjungi, berarti sudah selesai dan terpenuhi syarat yang ketiga. Dengan ketiga syarat itu, secara adat perkawinan sudah sah. Masyarakat sudah dapat menerima kekerabatan keluarga yang baru menikah itu.
D. Nilai – Nilai Dalam Perkawinan
Ada sejumlah nilai yang terkandung di dalam perkawinan. Nilai-nilai itu diantaranya ialah nilai agama Islam, nilai adat, nilai moral dan nilai sosial. Dengan melaksanakan perkawinan seseorang telah mengamalkan ajaran Agama Islam. Seperti diungkapkan terdahulu, agama Islam menganjurkan setiap laki-laki atau perempuan, jika sudah cukup umur dam mampu agar melaksanakan perkawinan. Hal itu dimaksudkan supaya laki-laki dan perempuan jangan terjerumus keperbuatan zina yang bermuara kepada dosa.
Dengan melangsungkan permohonan, seseorang telah melaksanakan adat Minangkabau. Adat memang sangat menganjurkan sesuai dengan anjuran agama Islam. Jika sudah saatnya, seseorang sudah dianjurkan untuk menikah atau melaksanakan perkawinan. Demikian pentingnya perkawinan itu di Minangkabau, sehingga menjadi ketentuan dalam adat, yang adat perkawinan.
Nilai moral yang terdapat dalam perkawinan pada hakikatnya cukup banyak. Diantaranya, seseorang laki-laki apabila sudah melaksanakan akad nikah, ia sudah menjadi manusia dewasa. Ia diberi gelar oleh kaumnya. Di minangkabau, ukuran seorang dewasa atau belum ditentukan oleh perkawinannya.
Secara moral, laki-laki yang sudah menikah sudah memiliki pangkalan yang tetap. Ia sudah memiliki rumah tempat makan. Jika ada laki-laki bujangan yang tidur di rumah, masyarakat akan menertawakan dan mengejeknya.
Bagi perempuan, jika sudah menikah ia sudah mendapat predikat sebagai bundo kandung. Bundo kandung adalah panggilan yang sangat terhormat bagi kaum perempuan di Minangkabau. Meskipun ia belum melahirkan anak, namun sudah dapat disebut sebagai bundo kandung. Ia sudah dimasukkan kedalam golongan perempuan dewasa. Dengan demikian ia sudah dapat mejadi ibu rumah tangga. Perangai dan tingkah lakunya sudah benar-benar mencerminkan perempuan dewasa di Minangkabau.
Nilai sosial dan kemasyarakatan juga terdapat di dalam perkawinan. Seperti diungkapkan terdahulu, perkawinan bukan pertemuan dua manusia yang berlainan jenis kelamin. Akan tetapi merupakan pertemuan dua keluarga yakni, keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Hubungan antara keluarga atau antara dua Rumah Gadang itu, membentuk suatu masyarakat yang akrab. Antara keluarga laki-laki dengan perempuan terjalin hubungan yang sangat akrab dan saling menghormati. Dengan demikian kekolektifan masyarakat Minangkabau semakin luas.
Secara bermasyarakat, seseorang apabila sudah menikah dianggap sudah duduk samo rendah, tagak samo tinggi, dengan anggota masyarakat lainnya. Jika ia laki-laki, harkatnya dan tingkat keberadaannya secara sosial meningkat. Jika selama ini ia dianggap sebagai pemuda yang belum dewasa, maka setelah perkawinan ia menjadi orang dewasa. Itulah nilai sosialnya.
Jadi, didalam perkawinan banyak sekali nilai yang terkandung. Secara garis besar ada empat nilai didalamnya. Yakni, nilai agama Islam, nilai adat Minangkabau, nilai moral, dan nilai sosial kemasyarakatan.
E. Kekerabatan Akibat Perkawinan
Banyak keuntungan yang timbul karena perkawinan. Salah satu diantaranya timbulnya kekerabatan baru. Sebutan untuk kekerabatan setelah terjadi perkawinan antara lain adalah mintuo dan minantu, mamak rumah dan sumando, sumandan, bako dan anak pisang. Semua sebutan itu timbul karena perkawinan. Jika perkawinan itu tidak ada, sebutan itu tidak akan ada.
Mintuo adalah panggilan terhadap orang tua istri atau orang tua suami. Seseorang menyebut orang tua suaminya atau orang tua istrinya sebagai mintuo. Sebaliknya, orang tua akan menyebut istri atau suami anaknya sebagai minantu. Jadi, panggilan mintuo dan minantu merupakan panggilan berpasangan.
Mamak rumah adalah panggilan dari seorang suami kepada saudara laki-laki dan mamak istrinya. Sedangkan sumando adalah panggilan saudara laki-laki atau mamak kepada suami adik perempuan atau kemenakan perempuan. Jadi, mamak rumah dan sumando adalah adalah panggilan yang berpasangan. Jika bapak dipanggil sumando di rumah istrinya, ibu jika berada di rumah keluarga bapak akan dipanggil sumandan.
Bako dan anak pisang dua panggilan kekerabatan yang juga berpasangan. Bako adalah panggilan anak kepada keluarga bapaknya, sedangkan anak pisang adalah panggilan kepada anak saudara laki-laki. Hubungan bako dan anak pisang ini akan sangat akrab jika hubungan bapak dengan keluarganya juga akrab.
F. Bentuk Perkawinan Matrilineal
Bentuk perkawinan di Minangkabau adalah bentuk perkawinan matrilineal. Bentuk perkawinan matrilineal, jika sepasang lelaki dan perempuan melakukan perkawinan, masing-masing pihak tetap menjadi suku kakumnya.
Suami tidak ikut suku istri, atau istri tidak ikut suku suami. Dalam perkawinan, bentuk matrilineal ini hanya anak yang lahir dari hasil perkawinan yang menjadi anggota kaum ibunya. Perkawinan seperti matrilineal ini adalah perkawinan yang bersifat eksogami.
Perkawinan yang bersifat eksogami ini meletakkan status istri pada status yang sama dengan suaminya. Bentuk perkawinan yang berdasarkan pada sistem matrilineal menyebabkan pihak istri tidak tergantung pada suaminya.
Menurut adat Minangkabau yang berdasarkan pada sistem matrilineal, perkawinan merupakan persoalan dan urusan kaum kerabat. Mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan acara perkawinan. Oleh karena dalam adat Minangkabau, perkawinan bukan sekedar usaha membentuk suatu keluarga oleh sepasang insan. Segala urusan di dalam adat Minangkabau telahb menjadi urusan bersama.
Pada hakikatnya, sebuah perkawinan dalam bentuk matrilineal adalah demi kepentingan kaum pihak perempuan, untuk melanjutkan garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu. Keadaan seperti ini membuat seorang suami bukanlah pemegang kuasa atas anak dan istrinya.
Syarat Syah Perkawinan
Syarat syahnya perkawinan di Minangkabau adalah harus memenuhi tata cara yang lazim. Tata cara perkawinan di Minangkabau ada dua :
1. Menurut syarak (Agama)
2. Menurut adat.
Pernikahan menurut syarak saja dianggap belum selesai oleh orang Minangkabau. Upacara perhelatan perkawinan perlu dilaksanakan.
Perkawinan menurut syarak saja menurut adat Minangkabau lazim disebut “Kawin Gantuang”. Melakukan nikah gantuang biasanya disebabkan salah satu atau kedua orang yang nikah tersebut belum cukup umur, atau yang laki-laki belum mendapatkan pekerjaan, atau pihak perempuan belum sanggup menyelenggarakan upacara perhelatan menurut adat.
G. Perkawinan Luar Suku
Perkawinan yang ideal menurut orang Minangkabau adalah perkawinan awak samo awak (sesama kita), atau disebut juga perkawinan dalam nagari. Perkawinan awak samo awak maksudnya perkawinan yang dilangsungkan antara lelaki suku Minangkabau dengan perempuan sesama suku bangsa Minangkabau, atau sebaliknya.
Perkawinan yang dilangsungkan dengan orang yang bukan bersuku bangsa Minangkabau disebut Perkawinan Luar Suku.
Perkawinan dengan orang diluar suku, terutama mengawini perempuan luar tidak disukai oleh orang Minangkabau, namun tidak dilarang.
Perkawinan dengan perempuan dari luar suku Minangkabau tidak disukai karena bisa merusak struktur adat. Akibat dari perkawinan dengan wanita di luar suku Minangkabau, si anak tidak mempunyai suku. Oleh karena orang di luar suku bangsa Minangkabau biasanya ikut suku ayah, sedangkan di Minangkabau, seorang anak ikut suku ibunya.
H. Perkawinan Dalam Suku
Seperti telah disinggung diatas, perkawinan yang ideal menurut orang Minangkabau adalah perkawinan awak samo awak (sesama kita), atau disebut juga perkawinan dalam nagari. Perkawinan awak samo awak maksudnya perkawinan yang dilangsung antara lelaki suku Minangkabau dengan perempuan sesama suku bangsa Minangkabau, atau sebaliknya.
Perkawinan yang paling ideal ialah perkawinan antara keluarga terdekat, seperti perkawinan antara anak dan kemenakan. Perkawinan ini sering disebut “pulang ka mamak” atau “pulang ka bako”. Pulang ka mamak artinya mengawini anak mamak (anak dari saudara perempuan ayah).
Selanjutnya, perkawinan yang paling dianjurkan adalah kawin sekorong, sekampung, se nagari, seluhak, dan akhirnya sesama suku bangsa Minangkabau.
Perkawinan Terlarang
Perkawinan yang terlarang menurut adat Minangkabau sering disebut “perkawinan pantang”, yaitu perkawinan yang tidak dapat dilakukan. Jika ada yang melanggar akan dikenakan sanksi hukuman.
Pertama, larangan sesuai dengan syariat Islam seperti mengawini ibu, ayah, saudara, anak, saudara seibu dan sebapak, saudara ibu dan bapak, saudara kandung, istri atau suami dan anak saudara laki-laki ayah.
Kedua, perkawinan yang merusak sistem adat, yaitu perkawinan orang yang setali darah menurut garis keturunan ibu (stelsel matrilineal), sekaum, dan juga sesuku, meskipun tidak ada hubungan kekerabatan dan tidak sekampung halaman.
Ketiga, pandangan perkawinan untuk memelihara kerukunan sosial
- Mengawini orang yang diceraikan kaum kerabat, sahabat dan tetangga dekat.
- Mempermadukan perempuan yang sekerabat, sepergaulan dan setetangga.
- Mengawini orang yang tengah dalam pertunangan.
- Mengawini anak tiri saudara kandung.
Sanksi hukuman bagi yang melanggarnya ditentukan oleh musyawarah kaumnya.
Macam-macam hukuman :
1) Membubarkan perkawinan itu.
2) Hukum buang dengan diusir dari kampung atau dikucilkan dalam pergaulan.
3) Hukum denda dengan cara meminta maaf kepada semua pihak pada suatu perjamuan dengan memotong seekor atau dua ekor ternak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa tatacara perkawinan di Minangkabau sudah ditentukan oleh adat. Mulai dari tata cara perkawinan sampai dengan larangan-larangannya. Banyak hal yang harus diketahui agar kita tidak melanggar aturan yang telah dibuat dan dipatuhi secara turun temurun dari nenek moyang kita.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat :
1) Mengerti dengan tata cara perkawinan di Minangkabau.
2) Mengetahui larangan-larangan tentang perkawinan di Minangkabau.
3) Diharapkan pembaca menjalani adat dengan wajar tanpa dengan adanya merobah atau menghilangkan tata cara hidup terutama mengenai Perkawinan menurut adat di Minangkabau.
DAFTAR PUSTAKA
Esten, Mursal, Prof, Dr. 1993. Minangkabau Tradisi dan Perubahan. Padang : Angkasa Raya.
Rasjid Manggis. M. Rajo Penghulu, Dt. 1971 Minangkabau Sejarah Ringkas dan Adatnya. Padang : Sridharma.
Demikianlah Artikel Contoh Makalah Perkawinan di Minangkabau
Sekianlah artikel Contoh Makalah Perkawinan di Minangkabau kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Contoh Makalah Perkawinan di Minangkabau dengan alamat link http://kumpulanmakalahlengakap.blogspot.com/2013/11/contoh-makalah-perkawinan-di-minangkabau.html
Contoh Makalah Perkawinan di Minangkabau