Advertisement
CONTOH MAKALAH PEMBINAAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA LENGKAP
CONTOH MAKALAH PEMBINAAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA LENGKAP - Hallo sahabat
Kumpulan Makalah Lengkap, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul CONTOH MAKALAH PEMBINAAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA LENGKAP, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel MAKALAH OLAHRAGA, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul :
CONTOH MAKALAH PEMBINAAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA LENGKAPlink :
CONTOH MAKALAH PEMBINAAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA LENGKAP
Baca juga
CONTOH MAKALAH PEMBINAAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA LENGKAP
PEMBINAAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini bangsa Indonesia mengalami berbagai macam krisis baik ekonomi, politik, hukum, dan moral. Bila diamati secara cermat, krisis moral merupakan hal krusial untuk diperhatikan oleh karena masyarakat sebagai aset pembangunan sudah mulai kehilangan karakter yang sesuai dengan kondisi bangsa. Ary Ginanjar (2008) mengatakan bahwa krisis moral dalam masyarakat antara lain ditandai oleh (1) hilangnya kejujuran, (2) hilangnya rasa tanggung jawab, (3) tidak mampu berpikir jauh ke depan (visioner), (4) rendahnya disiplin, (5) krisis kerjasama, (6) krisis keadilan, dan (7) krisis kepedulian (Ary Ginanjar, 2008). Keadaan tersebut secara otomatis menghilangkan jiwa sportivitas, kejujuran, kepercayaan diri, dan rasa saling menghargai dalam diri manusia. Artinya, manusia sudah tidak mampu introspeksi diri, mengakui kekalahan, dan tidak dapat berinteraksi dengan baik terhadap orang lain.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa sebagian besar karakter masyarakat Indonesia masih belum terbentuk secara positif. Untuk itu, kualitas sumber daya manusia Indonesia harus terus ditingkatkan melalui berbagai jalur pendidikan, diantaranya melalui bidang olahraga. Oleh karena, olahraga dapat berfungsi sarana untuk (1) penyaluran emosi, (2) penguatan identitas, (3) kontrol sosial, (4) sosialisasi, (5) agen perubahan, (6) penyaluran kata hati, dan (7) mencapai keberhasilan (Wuest and Bucher, 1995). Dengan demikian, melalui kegiatan olahraga diharapkan dapat membentuk karakter masyarakat Indonesia ke arah yang positif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.
Karakter merupakan sebuah konsep dari moral, yang tersusun dari sejumlah karakteristik yang dapat dibentuk melalui aktivitas olahraga. Setidaknya terdapat nilai-nilai yang baik yang dapat dibentuk melalui aktivitas olahraga, antara lain: rasa terharu (compassion), keadilan (fairness), sikap sportif (sport-personship), dan integritas (integrity) (Weinberg, Robert S and Gould, Daniel, 2002). Artinya, perkembangan dan terbentuknya karakter seseorang dipengaruhi oleh kemampuan kognisi dan daya tangkapnya dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial budaya. Dengan demikian, karakter seseorang terbentuk bukan saja karena menirukan melalui pengamatan, melainkan dapat diajarkan melalui situasi olahraga, latihan, dan aktivitas fisik.
Akhir-akhir ini, isu tentang pentingnya pendidikan karakter menjadi wacana yang sangat hangat diperbincangkan di dunia pendidikan Indonesia, bahkan telah ditetapkan sebagai kebijakan nasional di bidang pendidikan. Rencana menteri pendidikan Nasional periode 2010-2015 mengusung pendidikan budaya dan karakter sebagai suatu keniscayaan bagi kesatuan dan persatuan bangsa (Somantri; 2011; dalam Budimansyah dan Komalasari, Eds; 2011:3). Gagasan tentang pentingnya pendidikan karakter sebagai landasan pembangunan, sesungguhnya sejak lama sudah dicanangkan, semenjak era kepemimpinan Soekarno yang dikenal dalam visi “character and national building” yang menjadi payung semua aspek pembangunan, termasuk olahraga. Visi ini merupakan kristalisasi dari semangat kebangsaan, yang secara historis mengkristal dalam wujud gerakan Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi 1945. Selanjutnya dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (UU RI Nomor 17 Tahun 2007) tercantum,: “…terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleransi, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi ipteks.” (Winataputra dan Saripudin 2011; dalam Budimansyah dan Komalasasi, 2011:12).
Kebijakan pembangunan nasional merupakan artikulasi aspirasi bangsa dalam menyikapi kegalauan seluruh komponen bangsa tentang kondisi bangsa yang dirasakan mengkhawatirkan saat ini dan prospek bangsa di masa depan. (Winataputra dan Saripudin, 2011; dalam Budimansyah dan Komalasari, 2011:12), Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat (Somantri 2011; dalam Budimansyah Komalasari, 2011:5). Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian masal, kehidupan ekomoni yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media masa, seminar, dan berbagai kesempatan.
Di sekolah-sekolah di Indonesia sering terjadi konflik antar pelajar yang di negara-negara Barat dinamakan bullying, berupa tindakan agresi baik fisik maupun non fisik di sekolah. Aksi kekerasan di kalangan pelajar terutama di ibu kota sudah sedemikian mengkhawatirkan, tercermin pada data Polda Metro Jaya Jakarta yakni pada tahun 1998, tercatat 230 kasus tawuran yang melibatkan 97 sekolah. Pada kasus tersebut dilaporkan korban yang sangat signifikan yakni, 15 orang meninggal dunia, 34 orang luka berat, dan 108 luka ringan. Selain itu hasil penelitian Dina, Wahyu, dan Farrah. (2001) di 5 SMK–TI Bogor dengan sampel 903 siswa, mengungkap data 66.7% siswa terlibat tawuran; 48.7% tawuran dengan menggunakan batu, 26% melakukan pemukulan dengan alat (kayu, besi dll), dan 1.7% menggunakan senjata tajam.
Sampai hari ini belum terungkap jelas akar persoalannya, mengapa banyak pelajar sangat agresif berkelahi dan mudah hilang kesabaran dalam mengendalikan diri. Penelitian terhadap kasus ini diantaranya mengungkap pengaruh ikatan kelompok. Dari 230 kasus tawuran di Jakarta, menurut hasil penelitian Dina, Wahyu, dan Farrah (2001), tercatat 25% dari 203 responden mengaku anggota gang, dan 66% dari remaja yang ikut tawuran tersebut karena alasan solidaritas.
Ikatan solidaritas itu juga mendorong siswa merusak diri sendiri misalnya menggunakan narkoba, mimuman keras, dan seks bebas. Hasil penelitian Dina, Wahyu, dan Farrah (2001) di 5 SMK-TI Bogor memperlihatkan hasil yang mengejutkan yaitu: 30.3% siswa mengkonsumsi minuman keras, 15.4% pecandu narkoba, 34.6% berjudi/taruhan, 68% pernah nonton film porno, dan 3.2% pernah melakukan hubungan seks.
Mengabaikan sikap tanggung jawab juga secara nyata dapat menurunkan etos kerja. Penelitian Dina, Wahyu, dan Farrah (2001) dari 5 SMK-TI di Bogor menunjukkan bahwa: 87% siswa sering tidak mengerjakan pekerjaan rumah, 75% sering membolos, 33% keluyuran pada jam sekolah, 57% gemar duduk-duduk di pinggir jalan. Semua fenomena yang digambarkan tersebut memerlukan penanganan yang sangat serius dalam pendidikan.
Kecenderungan perilaku kekerasan atau perilaku negatif tersebut dapat dianggap sebagai pertanda krisis moral. Gejala krisis moral di kalangan pelajar diduga merupakan dampak globalisasi diperkuat oleh kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi. Kecanggihan teknologi tersebut membuka peluang lebar-lebar bagi merembesnya budaya asing yang boleh jadi tidak relevan dengan budaya lokal. Kondisi ini apabila tidak diantisipasi dengan baik dapat berakibat buruk terhadap perubahan pola pikir dan perilaku siswa yang tidak terkendali. Televisi saat ini adalah media yang sangat efektif untuk menyampaikan berbagai macam informasi. Berbagai tayangan seperti berita kekerasan seringkali jadi tontonan anak-anak. Oleh karena itu televisi dianggap salah satu faktor kuat yang mempengaruhi perilaku individu. Semakin sering orang melihat adegan kekerasan, akan memperburuk perilaku moralnya sehingga cenderung menjadi anak yang kurang sabar, agresif, dan mudah menyerah.
Kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar dan masyarakat tersebut seolah dianggap biasa untuk melakukannya. Tulisan artikel Subandy (dalam Pikiran Rakyat, 21 April 2007), mungkin ada benarnya bahwa kekerasan yang dilakukan di suatu tempat ditiru ditempat lain. Kekerasan seolah-olah sudah menjadi gaya hidup, dan tampil seperti ritual dalam kehidupan. Kekerasan yang ditampilkan secara demonstratif oleh anggota geng motor atau suporter sepak bola misalnya tidak disertai kesan merasa bersalah, tetapi sebaliknya merasa bangga dalam perilaku ikatan kolektif, menyebabkan orang menjadi korban. Perilaku semacam itu dapat diinterpretasikan pada perilaku masyarakat kaum nekrofilus yaitu masyarakat yang mencintai kekerasan ketimbang kelembutan, suka kekacauan ketimbang kedamaian, dan suka keburukan ketimbang keindahan.
Untuk mengatasi masalah besar tersebut, pendidikan merupakan cara terbaik, sehingga dalam kebijakan nasional, pendidikan karakter berfungsi: (1) membentuk dan mengembangkan potensi manusia Indonesia berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup pancasila, (2) memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut serta dalam pembangunan bangsa, (3) memilih budaya bangsa sendiri, dan menyaring budaya asing yang tidak relevan (Winataputra dan Saripudin, 2011; dalam Budimansyah dan Komalasari, 2011:13).
B. PENGERTIAN PENDIDIKAN KARAKTER, FAIR PLAY, DAN SPORTMANSHIP
1. Pengertian karakter
Pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri peserta didik sehingga menjadi dasar bagi mereka dalam berpikir, bersikap, bertindak dalam mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dimiliki peserta didik tersebut menjadikan mereka sebagai warganegara Indonesia yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Karakter merupakan perpaduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi ”Tanda” khusus untuk membedakan antara orang yang satu dengan lainnya. Karakter dalam bahasa Yunani berasal dari kata ”Charasein”yang artinya mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan. Benarkah Pendidikan memegang peranan penting dalam pembangunan atau pembentukan karakter? Menurut Plato ”pendidikan adalah alat pembentuk karakter bagi seluruh warga negara”. Artinya, pendidikan merupakan investasi masa depan dan sebagai salah satu alat untuk membangun mental dan karakter setiap individu.
“Sport builds character.” Sebuah istilah yang sangat populer, bahwa olahraga diyakini dapat membentuk karakter, meskipun hingga kini masih terdapat perdebatan dan silang pendapat antara yang pro dan yang kontra. Sebagian orang meyakini akan kebenaran pernyaataan “sports builds character” yang disertai dengan bukti-bukti kuat, dan sebagaian lagi menyangkal pernyataan tersebut, yang juga disertai bukti-buti yang meyakinkan.
Lickona dalam karyanya Educating for Character (1992) menyatakan bahwa individu dikatakan berkarakter apabila memiliki kualitas pengetahuan moral, feeling moral, dan tindakan moral. Ketiga komponen ini sangat penting, dan satu sama lain tidak terpisahkan dalam membentuk watak. Lebih rinci Rusli Lutan (2001: 82) menjelaskan bahwa pada komponen pengetahuan moral terdapat unsur kesadaran moral, pengetahuan tentang nilai moral, perhitungan ke depan, pertimbangan moral, dan pembuatan keputusan. Komponen perasaan moral meliputi kesadaran hati nurani, self-esteem, empati, kecintaan terhadap yang baik, pengendalian diri. Sedangkan tindakan moral adalah kompetensi, kemauan, dan kebiasaan. Seseorang dikatakan berkarakter baik, apabila ketiga komponen tersebut telah menyatu, melekat, dan saling mempengaruhi. Namun tidak berarti bahwa individu yang telah mengetahui kebaikan dan keburukan otomatis berbuat baik, dan tidaklah pula berarti bahwa dia mampu berempati atau mengendalikan diri untuk melakukan tindakan moral. Tidak cukup dengan itu, maka karakter yang baik harus diajarkan melalui proses pendidikan, pemodelan dan pembiasaan yang secara terus menerus dan sistematis. Dalam olahraga proses pebentukan karakter tersebut terkait dengan istilah empat kebajikan yaitu: compassion, fairness, sportpersonship, dan integrity.
Bagaimana dengan pendidikan olahraga? Seiring dengan pepatah “men sanna in corpore sanno”. Pendidikan olahraga sangat tepat untuk membantu proses pencapaian kualitas kerja dan pembentukan karakter sumber daya manusia. Melalui olahraga, jiwa fairplay, sportivitas, team work, dan nasionalisme dapat dibangun secara optimal. Dengan kata lain olahraga merupakan pilar keselarasaan, keseimbangan hidup sehat dan harmonis.
Sampai saat ini olahraga telah digunakan sebagai salah satu upaya pembentukan karakter, meskipun implementasinya masih perlu dioptimalkan. Apabila hal tersebut digarap secara profesional, maka karakter pelaku olahraga Indonesia akan muncul sampai ke tingkat Internasional. Dengan demikian olahraga dapat dijadikan icon untuk sosialisasi dan promosi dalam upaya meningkatkan Prestige and Price bangsa Indonesia dikancah internasional.
Karakter bisa digambarkan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter-karakter manusia misalnya; pemarah, sabar, ceria, pemaaf dan lain sebagainya. Karena setiap manusia pasti mempunyai karakter yang berbeda-beda. Manusia sebagai makhluk individu-sosialis mempunyai karakter sosial yang kuat dan inilah yang membedekan manusia dengan mahluk lainnya. Karakter bisa disebut juga (Karakteristik) ataupun dalam bahasa inggris (charateristic). Untuk menunjukan ekstitensi dirinya, manusia pasti mempunyai ciri khas karakter sendiri-sendiri.
2. Pengertian Fair Play
Olahraga pada dasarnya merupakan sebuah kompetisi, dan seluruh kompetisi tersebut tergantung pada kejujuran (fair play). Kompetisi dipandang sebagai lawan dari kerjasama (cooperation), tetapi kenyataannya dapat dilihat sebagai bentuk kerjasama yang khusus. Di dalam kompetisi, dua orang kompetitor atau lebih bekerjasama saling memberi tantangan yang memungkinkan mereka untuk menampilkan performa terbaiknya (Shields & Bredemeier, 1995).
Fair play secara harfiah bermakna bermain secara jujur. Olahraga dengan segala aspek dan dimensi kegiatannya sangat erat kaitannya dengan unsur kompetisi. Dalam kompetisi sikap dan perilaku harus didasarkan pada kesadaran moral (Rusli Lutan, 2001). Dalam hal ini kesadaran moral untuk bersikap, berbuat, dan berperilaku sesuai dengan peraturan, dalam rumusan fair play, yakni setiap pelaksanaan olahraga harus ditandai oleh semangat kebenaran dan kejujuran, tunduk pada peraturan-peraturan, baik yang tersurat maupun yang tersirat (Essai de Doctrine du sport. Haut Comite des Sports France, 1964; dalam Rusli Lutan, 200:110). Selanjutnya Rusli Lutan mendefinisikan ulang istilah fair play dari European Sport Charter and Code of Ethic yaitu:
…lebih dari sekedar bermain dalam aturan. Fair play itu menyatu dengan konsep persahabatan dan menghormati yang lain dan selalu bermain dengan semangat sejati. Fair play dimaknakan bukan hanya unjuk perilaku. Ia menyatu dengan persoalan yang berkenaan dengan dihindarinya ulah penipuan, main berpura-pura atau “main sabun”, doping, kekerasan (baik fisik maupun ungkapan kata-kata), eksploitasi, memanfaaatkan peluang, komersialisasi yang berlebih-lebihan atau melampaui batas dan korupsi.
Menyimak dari kutipan di atas, kata kunci adalah “semangat olahragawan sejati” yakni bagaimana seseorang bermain, bagaimana cara ia bersikap, dan bertindak terhadap orang lain pada saat bertanding.
Fair play secara luas dipandang sebagai kebutuhan mendasar dari sportivitas. Sportivitas adalah ungkapan yang terkandung di dalam norma etika dasar. Sportivitas adalah ungkapan moral yang paling jelas dan paling populer (Reed, 1963, dan Keating, 1995; dalam Morgan & Meier Eds, 1995). Berkenaan dengan hal ini, kiranya perlu disebarluaskan gagasan tersebut dalam praktek berolahraga yang dijiwai oleh semangat sportivitas (sportsmanship).
3. Pengertian Sportsmanship
Sportsmanshipsecara sederhana dapat diartikan sebagai “good character”, pada saat seseorang terlibat dalam kegiatan olahraga (Martens, 2004). Selanjutnya Martens menyatakan bahwa sportsmanship berkaitan dengan sikap respect terhadap lawan, official, tim lawan, pelatih, dan khususnya terhadap permainan itu sendiri.
Dalam pandangan yang berbeda, Keating (1964, dalam Shield & Bredemeier, 1995) menyatakan, sportsmanship adalah persahabatan yang merupakan salah satu nilai yang sering dimunculkan dalam olahraga. Untuk memperjelas pengertian sportsmanship, (Keating, dalam Morgan & Meier Eds., 1995) membedakan pengertian sports (olahraga) dan athletic (olahraga kompetitif) dalam sebuah batas yang ekstrim. Menurut Keating pada intinya olahraga adalah sesuatu aktivitas yang beraneka jenis yang bertujuan mencapai kesenangan dan kepuasan yang didominasi oleh kebaikan dan kebersamaan. Sedangkan athletic intinya adalah aktivitas kompetitif yang bertujuan mencapai kemenangan yang terkarakteristik oleh semangat dedikasi, pengorbanan dan kekuatan.
Selanjutnya Keating (1995; dalam Morgan & Meier Eds., 1995) dalam konteks olahraga kompetitif, menyatakan bahwa sportsmanshipadalah suatu tingkah laku terhadap lawan yang bertujuan seperti pada kegiatan olahraga, yaitu kebersamaan dan kepuasan bersama antar pemain. Dalam pandangan Keating posisi utama dari sportsmanship adalah menemukan kesenangan dari pada sekedar mengalahkan lawan dalam suatu pertandingan. Jadi sportsmanship adalah suatu kebaikan yang ada pada kegiatan olahraga, bukan pada kegiatan athletic yang serius dan kompetitif. Sportsmanship hanya bisa diterapkan di athletic dalam hal-hal tertentu, dan termasuk kesetiaan terhadap nilai dari sportivitas yang menurut Keating berpengaruh terhadap kesetiaan tentang semangat kesamaan sebelum bertanding.
C. PEMBINAAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA
Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini tumbuh dan berkembang dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap orang yang bersangkutan. Dengan demikian, karakter bersifat inside-out, dalam arti bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena adanya dorongan dari dalam, bukan karena adanya paksaan dari luar. karakter hendaknya dijalankan sebagai upaya berkelanjutan yang ditanam pada semua susbstansi, proses dan iklim pendidikan.
Pembentukan karakter olahragawan merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan yaitu orangtua, dengan unsur-unsur dari luar yaitu peran serta guru dan pelatih olahraga, serta faktor luar yang lain. Berbagai kajian dan literatur mengungkapkan bahwa olahragawan membutuhkan karakter khusus sesuai dengan cabang olahraganya. Undang-undang No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional menegaskan bahwa olahraga berfungsi mengembangkan kemampuan jasmani rohani dan sosial serta membentuk watak kepribadian bangsa yang bermanfaat. Dimensi non fisikal yang dikandung dalam olahraga dan pendidikan jasmani pada dasarnya dapat melahirkan berbagai kondisi kepribadian dan sikap mental positif (Menko Polkam 22 September 1997). Perkembangan nilai-nilai karakter dan keterampilan membuat keputusan etis merupakan unsur utama yang dapat diperoleh dari hasil proses olahraga (Wuest dan Buher 1995: 414-415).
Indonesia pada saat ini membutuhkan olahragawan yang memiliki mental dan kepribadian yang tangguh, penuh percaya diri, berani bertindak, dalam mengambil prakarsa, sehat, berkemampuan jasmani yang optimal, memiliki pikiran dan tindakan untuk setiap saat berjuang dalam mewujudkan prestasi olahraga yang tinggi. Siedentop (1994: 128) menjelaskan bahwa olahraga adalah panggung tempat proses pembelajaran gerak yang merupakan salah satu dimensi perilaku yang sangat penting, karena berkaitan dengan aktivitas manusia setiap hari, bersifat alamiah, nyata dan juga logis serta merangkum tidak hanya peristiwa jasmaniah semata, namun juga proses moral, mental dan sosial
D. NILAI-NILAI MORAL DALAM OLAHRAGA
Ada sembilan jenis karakter yang sangat penting yang dapat dibangun melalui olahraga antara lain: kejujuran, keadilan, tanggung jawab, kedamaian, respek terhadap diri sendiri atau kepercayaan diri, rasa hormat dan kepedulian terhadap orang lain, menghormati peraturan dan kewenangan,apresiasi terhadap kebhinekaan, dan semangat kerja. Karakter ini sangat diperlukan sebagai modal dasar untuk memecahkan masalah besar yang menjadi akar dari kemunduran bangsa Indonesia selama ini yaitu korupsi, konflik horizontal yang berkepanjangan, perasaan sebagai bangsa kelas dua, semangat kerja dan semangat belajar yang rendah.
1. Kejujuran
Kejujuranadalah semangat utama dari olahraga yang sangat didambakan dapat diterapkan oleh semua atlit dari semua cabang olahraga. Tanpa fair play, olahraga kehilangan nilai hakikinya. “Menang dan kalah dalam sebuah pertandingan bukanlah suatu yang penting, yang penting adalah bagaimana hasil tersebut dicapai, spirit dalam olahraga dan seni adalah kejujuran dan sportifitas, yang terbaik adalah bagaimana mendapatkan keikhlasan dari yang dikalahkan. Kejujuran dan kebajikan selalu terkait dengan kesan terpercaya, dan terpercaya selalu terkait dengan kesan tidak berdusta, menipu atau memperdaya. Hal ini terwujud dalam tindak dan perkataan. Semua pihak percaya bahwa wasit dapat mempertaruhkan integritasnya dengan membuat keputusan yang fair. Ia terpercaya karena keputusannya mencerminkan kejujuran.
2. Keadilan
Keadilan ada dalam beberapa bentuk; distributif, prosedural, retributif dan kompensasi. Keadilan distributif berarti keadilan yang mencakup pembagian keuntungan dan beban secara relatif. Keadilan prosedural mencakup persepsi terhadap prosedur yang dinilai sportif atau fair dalam menentukan hasil. Keadilan retributif mencakup persepsi yang fair sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan bagi pelanggar hukum. Keadilan kompensasi mencakup persepsi mengenai kebaikan atau keuntungan yang diperoleh penderita atau yang diderita pada waktu sebelumnya. Seorang wasit tentunya tidak akan pilih kasih dalam mengambil suatu keputusan karena tanpa keadilan pasti akan merugikan salah satu pihak.
3. Tanggung Jawab
Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab ini adalah pertanggungan perbuatan sendiri. Seorang atlet harus bertanggung jawab kepada timnya, pelatihnya dan kepada permainan itu sendiri. Tanggung jawab ini merupakan nilai moral terpenting dalam olahraga. Tidak mungkin ada tanggung jawab tanpa konsep amanah (kepercayaan). Dengan kata lain, amanah mendahului tanggung jawab; tegasnya amanah melahirkan tanggung jawab.
Dengan menunaikan amanah berarti kita telah bersikap jujur pada hati kita sendiri, dimana misi yang telah kita terima dan akui di hadapan para konstituen kita kemudian kita tunaikan dengan segenap hati, segenap pikiran, segenap tenaga kita. Keutuhan semua ini, yakni pengakuan mulut, perasaan, pikiran, dan tenaga kita, pada hakikatnya itulah yang disebut integritas. Integritas adalah komitmen, janji yang ditepati, untuk menunaikan tanggung jawab hingga selesai sampai tuntas, tidak pura-pura lupa pada tugas atau ingkar pada tanggung jawab. Dalam proses penerapannya, untuk membangun integritas diperlukan pengetahuan akan dan komitmen kuat pada nilai-nilai etika. Keduanya tidak terpisahkan sebagai prasyarat utama bagi kemampuan kita mengemban amanah. Hal ini didukung oleh adanya kompetensi teknis (keandalan/reliability) dan kompetensi etis (trustworthiness) yang dimiliki oleh pribadi. Dalam olahraga pada permainan beregu, seorang pemain memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Bila tanggung jawab ini tidak dilaksanakan maka akan mengganggu tim secara keseluruhan dan tidak mungkin hasil maksimal dapat diraih
4. Kedamaian
Kedamaian mengandung pengertian : a)tidak akan menganiaya, b)mencegah penganiayaan, c) menghilangkan penganiaan, dan d)berbuat baik. Dalam pencak silat selalu ditanamkan bahwa seorang pesilat harus bisa menciptakan kedamaian minimal pada lingkngan sekitarnya.
5. Respek Terhadap Diri Sendiri Atau Kepercayaan Diri
Apa yang terjadi jika seorang atlet merasa kehilangan kepercayaan dirinya? Kalah sebelum bertanding mungkin akan menjadi hasil yang di dapat. Namun, bagaimana jika ada atlet mempunyai rasa percaya diri yang berlebih? Kekalahan akan membuatnya runtuh seketika. Atlet yang merasa tidak percaya diri, atau sering disebut diffident, merupakan akibat dari ketidakyakinannya pada kemampuan yang dia miliki. Atlet tersebut mempersepsi dirinya terlalu rendah sehingga kemampuan optimalnya tidak tampak. Dengan kata lain, atlet tersebut meremehkan dirinya sendiri. Untuk kasus seperti ini, sebuah kesalahan kecil akan menimbulkan malapetaka, karena akan mengukuhkan persepsi tentang ketidakmampuannya. Kasus yang tidak kalah merugikannya adalah ketika seorang atlet mempunyai kepercayaan diri yang melampaui batas atau overconfidence. Dengan kata lain, atlet tersebut mempunyai keyakinan yang terlalu berlebih mengenai kemampuan aslinya (Wann, 1997). Overconfidence inipun tidak kalah berbahaya dari kekurangan rasa percaya diri. Akibat kepercayaannya yang tidak sesuai dengan kondisi nyata, atlet tersebut akan cenderung untuk mengurangi atau bahkan malas berlatih. Efeknya adalah penurunan performa pada saat kompetisi. Dan karena atlet dengan rasa percaya diri yang berlebihan ini biasanya tidak pernah membayangkan kekalahan, maka pada saat harus menerima kekalahan yang muncul adalah rasa frustasi yang berlebihan. Oleh karena itulah, seorang atlet harus tetap menjaga rasa percaya dirinya (self confidence) pada titik yang optimal. Atlet membutuhkan respek terhadap diri sendiri dan imej positif tentang dirinya untuk menjadi sukses. Pelatih dan pengajar yang melatih semua anak didiknya dengan sama mengambil langkah tepat dalam setiap arahnya agar anak didiknya merasa dirinya penting dan layak dimata pengajarnya.
6. Rasa Hormat Dan Kepedulian Terhadap Orang Lain
Atlet membutuhkan rasa hormat kepada orang lain, apakah teman sekelasnya, lawan bertanding, guru ataupun pelatihnya. Mereka perlu belajar tentang bagaimana pentingnya memperlakukan orang lain dengan hormat. Sikap peduli, didukung dengan fokus kepada orang lain dan membangun kesan pertama yang positif akan lebih menguatkan karisma seorang. Dalam olahraga beladiri khususnya setiap akan memulai pertandingan atau sesudahnya dituntut untuk memberikan hormat kepada lawan hal ini dimaksudkan bahwa atlet harus hormat dan peduli terhadap orang lain meskipun lawan sekalipun.
7. Menghormati Peraturan Dan Kewenangan
Atlet perlu menghormati kewenangan dan peraturan, karena tanpa kedua hal ini suatu perhimpunan tidak akan berfungsi. Setiap cabang olahraga memiliki peeraturan yang berbeda, namun peraturan tersebut tujuan utamanya adalah untuk memberikan rambu-rambu atau aturan kepada yang menjalankannya. Apabila atlet tidak mentaati peraturan justru akan merugikan dirinya maupun timnya. Misalkan saja apabila atlet melakukan pelanggaran maka aka nada tindakan yang diambil oleh wasit. Sangsi atau hukuman yang diberikan bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain fdalam hal ini timnya.
8. Apresiasi Terhadap Kebhinekaan
Hanya sedikit sekali bangsa di dunia yang dianugrahi kebhinekaan seperti Indonesia. Indonesia sangat bhineka dari berbagai aspek: flora, fauna, suku, adat istiadat, bahasa, agama dan sistem kepercayaan. Kebhinekaan dalam kehidupan di bumi ini adalah hal yang kodrati. Kebhinekaan secara biologis telah menjadi sumber kekuatan. Bibit-bibit unggul atau generasi baru yang lebih baik, lahir dari persilangan beraneka jenis species atau varietas. ’Persilangan’ dari yang sejenis tidak akan membawa keunggulan, bahkan akan mewariskan kelemahan. Kehidupan di dunia ini tidak akan berlangsung lama apabila tidak ada kebhinekaan, atau apabila hanya ada sejenis tumbuhan, atau sejenis hewan, sejenis manusia, dan semuanya berfikir dengan cara yang sama. Dalam olahraga berarti, substansi, sistem, dan lingkungan olahraga perlu secara sistematik mencegah tumbuhnya arogansi sosial yang didasari keyakinan agama, suku, atau golongan atau ras, mencegah berkembangnya eksklusifisme, kecenderungan bersikap diskriminatif dan pada saat yang sama menganjurkan berkembangnya inklusivisme. Olahraga dapat memberikan perhatian yang lebih besar pada upaya menemukan kesamaan di tengah-tengah perbedaan, bukan sebaliknya justru hanya membesar-besarkan perbedaan dan mengabaikan kesamaan. Tim yang kuat adalah tim yang memiliki berbagai macam kehlian, namun keanekaragaman tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujan yang sama.
9. Semangat Kerja
Kejelasan hasrat yang dituangkanmenjadi visi dan target yang bening bagaikan kristal merupakan syarat perlu bagi munculnya kerja keras. keras, keyakinan, dan fokus adalah tiga serangkai kunci menuju keberhasilan. Disini, kerja keras merupakan elemen pendukung yang berfungsi sebagai wahana aktualisasi diri bagi sang manusia pekerja. Potensi diri manusia berkembang melalui kerja keras dan proses aktualisasi diri.
Kerja sebagai kehormatan, dan karenanya kita wajib menjaga kehormatan itu dengan menampilkan kinerja yang unggul (excellent performance). Kehormatan itu berakar pada kualitas dan keunggulan. Intinya, bahwa saat kita melakukan suatu pekerjaan maka hakikatnya kita sedang melakukan suatu proses pelayanan. Menghayati pekerjaan sebagai pelayanan memerlukan kemampuan transendensi yang bersifat melampaui ruang gerak manusia yang kecil.
Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam olahraga harus memiliki kerja keras dan disiplin yang tinggi. Dalam permainan sepak bola setiap pemain selalu bekerja keras untuk memasukkan bola ke gawang lawan dan mempertahankan gawangnya dari serangan lawan.
E. MODEL-MODEL PEMBINAAN KARAKTER DALAM OLAHRAGA
Jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, ada dua sisi yang mesti kita pertimbangkan. Pertama, pendidikan senantiasa berkaitan dengan dimensi sosialitas manusia. Manusia sejak kelahirannya telah membutuhkan kehadiran orang lain dalam menopang hidupnya. Pendidikan merupakan usaha sadar yang ditujukan bagi pengembangan diri manusia secara utuh, melalui berbagai macam dimensi yang dimilikinya (religius, moral, personal, sosial, kultural, temporal, institusional, relasional, dan sebagainya) demi proses penyempurnaan dirinya secara terus-menerus dalam memaknai hidup dan sejarahnya di dunia ini dalam kebersamaan dengan orang lain. Sedangkan karakter lebih bersifat subjektif, sebab berkaitan dengan struktur antropologis manusia dan tindakannya dalam memaknai kebebasannya, sehingga la mengukuhkan keunikannya berhadapan dengan orang lain.
Karena itu, pendidikan karakter merupakan keseluruhan dinamika relasional antarpribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya, sehingga ia dapat semakin bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. Secara singkat, pendidikan karakter bisa diartikan sebagai sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat bertumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia. Pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.
Pendidikan karakter bukan hanya berurusan dengan penanaman nilai bagi siswa, namun merupakan sebuah usaha bersama untuk menciptakan sebuah lingkungan pendidikan di mana setiap individu dapat menghayati kebebasannya sebagai sebuah prasyarat bagi kehidupan moral yang dewasa. Pendidikan karakter lebih merupakan sebuah usaha manusia untuk menciptakan kultur kehidupan yang mendukung pertumbuhan individunya secara autentik. Untuk itu, ada dua macam paradigma dalam pendidikan karakter.
Pertama, memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral education). Paradigma ini memandang pendidikan karakter lebih berkaitan dengan bagaimana menanamkan nilai-nilai tertentu dalam diri anak didik di sekolah. Nilai-nilai ini bisa memiliki bobot moral maupun tidak, seperti, nilai yang sifatnya individual personal, misalnya tanggung jawab personal, kemurahan hati, penghargaan diri, kejujuran, pengendalian diri, bela rasa, disiplin diri, daya tahan, pemberian diri, percaya diri, integritas, cinta, tepat waktu, berjiwa pengampun, rasa terima kasih. Demikian juga dengan nilai-nilai yang sifatnya lebih sosial, seperti tanggung jawab sosial, kewarganegaraan, kerja sama, menghargai orang lain, toleransi, sportivitas, apresiasi, rasa saling percaya, keadilan, pemecahan permasalahan atas perbedaan secara damai (peaceful resolution of differences), dan kesediaan mendengarkan.
Kedua, melihat pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan peristiwa dalam dunia pendidikan itu sendiri (educational happenings). Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi menempatkan individu yang terlibat dalam dunia pendidikan sebagai pelaku utama dalam pengembangan karakter. Pelaku ini menjadi agen penafsir, penghayat, sekaligus pelaksana nilai melalui kebebasan yang ia miliki. Untuk inilah, peristiwa-peristiwa dalam dunia pendidikan (educational happenings), baik dalam lingkup lokal, provinsial, maupun global, mesti diletakkan dalam kerangka pertumbuhan kebebasan individu dalam menghayati tugas dan panggilannya. Integrasi atas kedua paradigma inilah melahirkan gagasan baru tentang pendidikan karakter sebagai pedagogi.
Pendidikan karakter sering kali diintroduksikan ke dalam kelas lewat studi tentang para pahlawan. Siswa memeriksa sifat-sifat karakter yang menjelma dalam diri para pahlawan itu. Studi seperti itu hanyalah bagian dari keseluruhan pendidikan karakter yang ditransformasikan menjadi etos komunitas sekolah. Pada intinya, untuk menanamkan nilai-nilai dasar, siswa harus bisa menemukan teladan yang baik dalam semua aspek kehidupan sekolah.
Lickona (1991), menyimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah usaha sengaja untuk menolong orang agar memahami, peduli akan, dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai etis. la menegaskan bahwa tatkala kita berpikir tentang bentuk karakter yang ingin ditunjukkan oleh anak-anak, teramat jelas bahwa kita menghendaki mereka mampu menilai apa yang benar, peduli tentang apa yang benar, serta melakukan apa yang diyakininya benar, bahkan ketika harus menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam.
Kidder (1995) memberikan tujuh kualitas yang diperlukan untuk suatu program pendidikan karakter yang berhasil, yang ia sebut sebagai seven E's.
1. Empowered (pemberdayaan).
Guru-guru harus diberdayakan untuk mengajar pendidikan karakter, karena masyarakat kita menghendakinya. Opini publik menunjukkan dukungan yang luas bagi pendidikan karakter di sekolah dan kita harus meyakinkan para guru bahwa mereka sanggup melakukannya.
2. Effective (efektif).
Adalah mungkin untuk mengajarkan pendidikan karakter secara efektif. Kidder menyatakan, "Kita memiliki segala bukti bahwa ketika kita melakukan intervensi dalam proses pendidikan karakter, siswa menjadi mengerti tentang banyak hal yang sebelumnya tak mereka pahami. Proses pendidikan yang diberikan benar-benar meningkatkan kemampuan penalaran moral mereka."
3. Extended into the community(diperluas ke komunitas).
Komunitas harus menolong sekolah untuk memahami nilai-nilai yang penting lantas mendukung program-programnya. Jangan pemah mencoba menyusun program pendidikan karakter tanpa melibatkan komunitas terlebih dahulu, karena tatkala Anda mulai menjalankan progam, akan ada suara yang mempertanyakan, nilai-nilai siapa yang diajarkan?
4. Embedded (melekat).
Jangan memberikan pendidikan karakter secara terpisah; jangan menciptakan semacam ghetto etik yang menempatkan pendidikan karakter pada suatu sudut kurikulum. Integrasikan hal itu ke dalam seluruh rangkaian kurikulum dan proses pembelajaran. Guru tidak punya kemewahan waktu untuk mengajar mata pelajaran etik tersendiri, tetapi mereka bisa memberikan pesan etik pada setiap mata pelajaran.
5. Engaged (terlibat).
Buatlah komunitas terlibat dengan menyodorkan topik-topik yang mereka rasa sangat penting. Publik saat ini amat peduli pada soal-soal seperti sportsmanship, penipuan dan teknologi. Tatkala guru mengajarkan keterampilan komputer pada anak-anak, pertama-tama bicarakanlah segi-segi etik dalam menggunakan komputer, dan seterusnya.
6. Epistemological (epistemologis).
Kembangkan kerangka konseptual, suatu cara untuk membicarakan soal etika. Berbuatlah lebih banyak ketimbang mengumpulkan anak-anak untuk membicarakan soal ide-ide moral. Mesti ada koherensi antara cara berpikir tentang makna etik dengan upaya menolong siswa untuk mampu menerapkannya secara baik.
7. Evaluative (evaluatif).
Buatlah beberapa struktur, seperti pre-tests dan post-tests, yang memungkinkan guru memetakan kemajuan siswa. Kidder menawarkan skala lima poin yang bermula dari (1) kesadaran etik, (2) kepercayaan diri untuk berpikir tentang, dan membuat keputusan etik, (3) kapasitas untuk menggunakan kepercayaan diri itu secara praktis dalam kehidupan seseorang, (4) kapasitas untuk menggunakan pengalaman praktis itu dalam komunitas, dan (5) kapasitas untuk menjadi agen perubahan-untuk merealisasikan ide-ide etik ini dan menciptakan dunia yang berbeda. Guru bisa membawa siswa mengarungi tahap-tahap itu dan mengevaluasi di mana posisi mereka dalam tahapan tersebut.
Hal penting yang ditekankan di sini adalah pentingnya pertautan pengetahuan moral (moral judgement) dengan perilaku aktual (actual conduct) dalam situasi konkret (moral situations). Adalah benar bahwa pengetahuan dan pemahaman moral adalah prasyarat bagi tindakan moral. Tidak seorangpun yang dapat bertindak atas dasar prinsip moral atau aturan tanpa terlebih dahulu memiliki kesadaran tentang hal itu. Masalahnya, keputusan moral sebagai tindakan aktual ditentukan dalam konteks situasi yang konkret. Situasi moral yang berbeda bisa mempengaruhi keputusan tindakan moral yang berbeda.
"Cacat terbesar dari pendidikan moral secara tradisional," kata Tilaar, H.A.R., (2004), "adalah penekanannya pada pengajaran prinsip-prinsip moral secara tertutup, dengan sedikit rujukan pada situasi-situasi yang konkret." Hal ini mengabaikan kenyataan adanya keumuman dan kekhususan dalam kehidupan moral. Oleh karena itu, siswa harus diperkenalkan dengan pengalaman konkret tentang aplikasi prinsip-prinsip moralitas yang umum itu ke dalam situasi yang spesifik, agar mereka tidak terjebak ke dalam keputusan dan tindakan moral yang bersifat hitam-putih.
Akhirnya, patut dihayati nasihat Kidder (1995) yang menekankan pentingnya para pendidik untuk meyakini bahwa mereka, sebagai individu, sanggup membuat perbedaan. Beberapa orang yang pernah bangkit dari keterpurukan hidup sering kali menyebut peran penting seseorang, dan itu sering kali guru. Kekuatan dari keteladanan seseorang sungguh fenomenal.
F. OLAHRAGA DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Bangkitnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan watak terkait dengan perlunya seleksi terhadap nilai budaya yang berasal dari luar terdorong oleh aneka masalah dan tantangan yang dianggap sudah mengancam eksistensi bangsa. Fungsi penyaringan, salah satu di antara tiga fungsi yang tercantum dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Bangsa (RI, 2011), menandaskan, pembangunan karakter bangsa berfungsi untuk memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Ancaman itu sesungguhnya tidak semata-mata soal kekerasan dan penyimpangan perilaku serta perbuatan amoral yang sudah merebak di masyarakat, tetapi lebih mendalam lagi yakni munculnya perilaku kolektif yang kian merongrong ketenangan dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rongrongan itu berupa “isme” baru seperti “terosrisme,” yang menyebarkan ketakutan dan sikap tidak toleran dalam perbedaan; vulgarisme semacam keterbukaan, keterusterangan, yang mungkin diakibatkan oleh ekses reformasi dan perubahan drastis menuju kehidupan demokrasi yang lebih mementingkan hak individu ketimbang tanggung jawab. Segala sesuatu dianggap boleh dibuka atau dibicarakan secara “blak-blakan”, yang mestinya tidak semua perlu diketahui oleh khalayak umum. Semuanya seolah-olah sudah pantas masuk ke dalam “public shere”, ruang publik dalam makna bukan fisikal, sehingga orang tidak lagi merasa malu atau risi bila misalnya terungkap terlibat korupsi, perbuatan a susila atau masalah-masalah keluarga yang tidak senonoh. Akar masalah itu semuanya dapat dikembalikan pada isu moral, keputusan moral, yang pada gilirannya menyangkut karakter.
Sebagai bagian dari masyarakat olahraga mencerminkan nilai yang juga sebagai komponen budaya. Olahraga, seperti penjelasan Shields dan Bredemeier (1995: 1) merupakan “ . . . a highly symbolic and condendsed medium for cultural values, a vehicle by which many young people come to learn about the core value.” Kata kunci dalam ungkapan tersebut adalah “highly symbolic” dan “core values”. Olahraga dianggap sebagai pengejawantahan cara hidup nyata, dan wahana bagi anak muda untuk belajar nilai-nilai inti. Karena itu Prof. Riysdorp, mantan dosen Akademi Pendidikan Jasmani di Bandung tahun 1950-an, sebagai ketua ICHPERSD, ketika membuka konferensi ICHPERSD di Bali tahun 1975 mengatakan bahwa konsep olahraga yang dianut oleh bangsa Indonesia sangat tepat. Olahraga, kata Riysdorp, terdiri dari dua kata, “olah” dan “raga”. Olah, seperti lazim digunakan untuk menyebut proses mengolah tanah dalam pertanian, atau mengolah bahan makanan sehingga menjadi lezat, begitu dekat dengan kata “cultivization” dalam bahasa Inggris, yang maknanya dekat sekali dengan makna kata “education” yang diterjemah ke dalam bahasa Indonesia, pendidikan. Selanjutnya kata raga lebih menunjuk kepada makna luas, kesatuan jiwa dan raga, yang bersandar pada filsafat monism. Karena itu di bagian lain Risydorp menjelaskan misi pendidikan jasmani merupakan proses pembinaan dan sekaligus pembentukan yang diungkapkannya dalam istilah forming.
Implikasi dari pandangan tersebut adalah kita sering menjumpai pengertian pendidikan sebagai proses pengalihan nilai budaya dari generasi tua ke generasi muda. Dalam pembahasannya tentang landasan budaya pendidikan, dari perspektif budaya pendidikan itu dapat ditilik sebagai “ . . . a deliberate mean by which each society attempts to transmit and perpetuate its notion of good life, which is derived from the society’s fundamental beliefs concerning the nature of the world, knowledge, and values.” Upaya sadar dan sengaja serta bertujuan itu dimaksudkan untuk mengalihkan dan sekaligus menanamkan makna hidup yang baik, yang diangkat dari kepercayaan dan keyakinan masyarakat yang sangat mendasar tentang hakikat dunia, pengetahuan dan nilai. Kendati banyak definisi tentang pendidikan. Sesuai dengan sudut pandang masing-masing, tetapi para ahli pendidikan sering menggunakan istilah pendidikan sebagai proses akulturalisasi, seperti juga diungkap kembali oleh Somantri (2011; dalam Budimansyah & Kumalasari Edt., 2011:1): “Dalam dunia pendidikan, proses akulturalisasi dan perubahan perilaku bangsa menjadikan masyarakat memasuki complex adaptive system.”
Memang ada persoalan, jika yang dimaksud dengan akulturalisasi itu semata-mata dalam pengertian hanya mengalihkan nilai, pengetahuan atau kearifan masa lalu yang dikemas dalam pengalaman belajar yang bermakna—meaningful experience—meminjam istilah yang dikembangkan oleh Dewey dalam naskah klasik, John Dewey and Experience (1938), tentang filsafat pengalaman, sebab tidak semua pengalaman itu mengandung nilai pendidikan. Jika semata-mata proses akulturalisasi maka yang terjadi, menurut Dewey yakni kegiatan utama lembaga pendidikan formal, dalam hal ini persekolahan, adalah mengalihkan kepada generasi muda “ . . . the bodies of information and of skill that have been worked out in the past.” Hal-hal masa lalu digunakan untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi masa yang akan datang.
Untuk keluar dari kesulitan ini, kita terbantu oleh penjelasan padat Soemantri yang menyatakan “ . . . menjadikan masyarakat memasuki complex adaptive system.” Dalam pernyataan ini tersirat makna pendidikan itu adalah untuk meningkatkan kapasitas peserta didik, ungkapan dalam nuansa teori konstruktivisme, yang pada intinya, menurut paparan Rovegino dan Dolly dalam naskahnya Constructivist Perspective on Learning (dalam Kirk, et,al Edt, 2006) menekankan pentingnya proses ajar yang memungkinkan meningkatnya kemampuan peserta didik untuk menumbuhkembangkan sendiri pengetahuan terkait dengan pengetahuan terdahulu. Kualitas ini diperlukan karena dibutuhkannya kemampuan beradaptasi dengan lingkungan serba baru yang berubah-ubah cepat dan tidak menentu.
Persoalan yang menarik bagi kita adalah, bila pendidikan jasmani khususnya dan olahraga pada umumnya dipandang mengandung potensi pendidikan, dan merupakan bagian integral dari pendidikan pada umumnya, sejauh mana olahraga itu dapat dimanfaatkan untuk ikut serta memberi arah bagi perkembangan dan perubahan sosial? Sejauh mana olahraga berpengaruh terhadap pembentukan watak atau karakter?
Untuk menjawab isu itu beberapa asumsi diajukan oleh para ahli pendukung, olahraga sebagai alat pembentukan karakter. Terlepas dari kekurangan yang ada yang sering ditampilkan oleh olahraga, khususnya olahraga kompetitif, Shields dan Bredemeier (1995: 2) mengatakan bahwa “sport is at once a mirror and molder of social values; it reflects society’s potentials and limitations.” Dengan kata lain, olahraga merupakan cermin dan sekaligus wadah penjabaran nilai sosial; olahraga itu sekaligus mencerminkan potensi dan kelemahan masyarakat. Namun di bagian lain, Shields dan Bredemeier (1995:2) mengungkapkan bahwa ? . . . sport is replete with opportunities to encounter, learn, transform, and enact moral values.” Begitu melimpah kesempatan untuk langsung mengalami, belajar dan mengalihkan nilai moral dalam olahraga. Selanjutnya dijelaskan bahwa begitu sering terjadi konflik moral dalam olahraga, seperti “the norm of fair play” dan “the desire to win”. Atas dasar alasan itulah, seperti pendapat Brickman (1977) dan Mark, Briant dan Lehman, (1983), yang dirangkum oleh Shields dan Bredemeier (1995: 2) yaitu “Sport may be an ideal setting for introducing children to conventional moral thinking. Some have ever suggested that society could benefit from emulating sport’s predominantly equity-based justice system.” Dikatakan ideal, karena dalam olahraga itu di antaranya diperagakan nilai inti yaitu sistem keadilan berlandaskan kesetaraan.
Setelah kita cermati paparan di atas, maka kita perlu menegaskan posisi. Pertama, sudah waktunya profesi pendidikan jasmani dan olahraga di Indonesia mengambil peranan ikut serta peduli untuk melaksanakan pendidikan karakter. Kecenderungan ini juga pernah disuarakan di AS, seperti dalam paparan Park (1983; dalam Shields dan Bredemeier (1995: 2 ): “ . . . moral development as one of the most important social issues facing contemporary physical education.” Kedua, terkait dengan ide itu, dibutuhkannya landasan filosofi, berkenaan dengan psikologi moral, yakni perlu dihapus pandangan dualisme jiwa-raga. Dalam kaitan ini kita sepaham dengan teori klasik Piaget yang menegaskan bahwa “ . . . children’s physical play to be the foundation for every cognitive advance, from quantum physic to interpersonal morality.” Piaget menekankan pentingnya aktivitas jasmani bagi anak karena penting bagi perkembangan kemampuan kogntif dan moral. Karena itu implikasi penting adalah perlunya diberikan kesempatan seluas mungkin bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungannya melalui kegiatan bermain dan aktivitas jasmani yang sehat dan aman. Kemalasan dalam segala bentuknya dan hilangnya fitrah anak sebagai “mahluk bermain” merupakan bagian dari ancaman yang nyata kita hadapi karena menghambat perkembangan anak secara menyeluruh.
Ketiga, perlu dihapus pandangan dikhotomi individu dan masyarakat. Dalam konteks perkembangan moral, prosesnya tidak terlepas dari lingkungan. Pada awalnya Kohlberg, dalam pengembangan teori moral terfokus pada “individual moral reasoning”, pertimbangan moral secara individual. Baru akhir-akhir ini para sarjana mulai secara seksama mencermati “ . . . how social interaction and social context affect morality” (Kurtines & Gewirtz, 1987, 1991 a, 1991b, 1991c; Lind, Hartmann, & Wakenhut, 1985; dalam Shields dan Bredemeier (1995: 3). Posisi penting yang menjadi pegangan berikutnya adalah teori social-cognitive, yang menekankan model kausalitas, hubungan timbal balik antara perilaku manusia, faktor kognisi dan personal lainnya, dan kejadian di lingkungan.
G. PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Ungkapan tentang olahraga sebagai wahana pembentukan karakter pada masa kini dapat dirunut ke latar belakang sejarah. Perkembangan olahraga modern sebagai entitas global memiliki kaitan yang kompleks dengan pendidikan, ungkap Rees dan Miracle (2001; dalam Coakley & Dunning, (Ed.), 2006:277) dalam pembukaan artikelnya yang berjudul Education and Sports. Terdapat kesepahaman di kalangan sarjana olahraga (misalnya, Dunning, 1971; Gutmann, 1994; Mangan, 1981) bahwa pemanfaatan olahraga sebagai alat pembentukan watak bermula di sekolah “pemerintah” (sebenarnya di asrama sekolah swasta) di Inggris, tepatnya pada pertengahan abad ke-19. Di situlah olahraga beregu pertama dibina sebagai alat pendidikan untuk membina kebajikan (Mangan, 1981; dalam Shields dan Bredemeier, 1995: 1760 dan Rees dan Miracle (2001; dalam Coakley & Dunning, (Ed.), 2006:277). Olahraga seperti kriket dan rugby dibina dengan maksud untuk “ . . . to teach “manly” characteristic such as group loyality, physical toughness and self reliance.” (Rees dan Miracle (2001; dalam Coakley & Dunning, (Ed.), 2006:277). Istilah “manly” di sini menunjuk kepada sifat kelaki-lakian, dan menurut Mangan (1981) yang dikutip Rees dan Miracle (2001; dalam Coakley & Dunning, (Ed.), 2006:278) kegiatan itu dilakukan setiap hari, tetapi biasanya tiga kali seminggu. Praktik pembinaan itu sangat popular pada tahun 1880-an, dimaksudkan sebagai bagian dari kehidupan Spartan di asrama, membina anak laki-laki untuk memikirkan dirinya sebagai orang-orang elit di masyarakat dan menyiapkan mereka menerima kepemimpinan di dalam dan di luar negeri.
Menurut catatan Mangan, program pembinaan tersebut menjadi bagian dari gerakan “Muscular Christianity yang intinya menegaskan bahwa menjadi kewajiban kaum gentleman Inggris “ . .. to help civilize what they perceive to be “less” fortunate” races which become part of the expanding British Empire.” Orang Inggris berkewajiban untuk memberadabkan ras yang “tidak beruntung” agar menjadi bagian Inggris Raya. Istilah “tidak beruntung” di sini sekadar penghalusan ungkapan “tidak beradab.”
Program pembinaan olahraga sebagai alat pembentukan watak itu selanjutnya mengandung motif politik untuk mendukung kepentingan Inggris di negara-negara jajahannya, yakni membekali pemuda Inggris dengan sifat-sifat tangguh seperti “percaya diri, determinisme, kekuatan fisik dan mental, dan keberanian guna memberdayakan mereka menjadi tentara, administrator dan misionaris di negara-negara koloni” (Shields dan Bredemeier, 1995: 176). Gerakan Muscular Christianity jadi popular dalam novel Charles Kingsley, dan khususnya dalam Tom Crown’s Schoolday, karangan Thomas Hughes, yang memperkuat mitos tentang ide bahwa “olahraga membentuk karakter ” (Rees dan Miracle (2001; dalam Coakley & Dunning, (Ed.), 2006:278).
Penelusuran benang merah dalam literatur, bagaimana kaitan antara olahraga dan pendidikan watak, dalam konteks kemasyarakatan Indonesia cukup sulit karena terbatasnya sumber-sumber yang ditulis secara cermat dan sungguh-sungguh oleh sarjana olahraga Indonesia. Namun dalam dokumen terpisah-pisah dapat dijumpai informasi. Pertama, dikembangkannya olahraga modern dengan mengadopsi olahraga Barat yang diperkenalkan oleh para penjajah dalam hal ini Inggris dan Belanda tiada lain merupakan “alat” perjuangan untuk menuju masyarakat modern. Dalam kaitan ini Collin Brown (2006:433) menjelaskan partisipasi dalam olahraga Barat itu merupakan “ . . . symbolic of the breaking of ties with traditional society, and adopting the individualistic, egalitarian norms of the modernizing world; it was in many respects a quasy-revolutionary act.” Status dalam olahraga benar-benar pada perorangan, bukan karena hubungan kerabat, sebab prestasi secara transparan dicapai oleh jerih payah pribadi, bukan karena keberpihakan siapa-siapa. Berdasarkan ciri ini De Wachter (2001) yang disitir kembali oleh Brown (2006: 432) menyebutkan olahraga modern adalah “a mirror of modernity”—cermin dari modernitas. Dengan mengadopsi olahraga Barat yang terjadi adalah semacam revolusi dalam perbuatan, karena secara simbolik seseorang melepaskan dirinya dari ikatan tradisional, mengadopsi nilai individualistik, dan norma egaliter yang dicirikan oleh dunia modern.
Kedua, praktik pembinaan olahraga di Indonesia pada awal revolusi ditandai oleh motif, olahraga sebagai bagian dari kebangkitan bangsa. Sangat kentara motif ini setelah pasca revolusi, ketika mulai digulirkan Pekan Olahraga Nasional. Tokoh sentral Bung Karno, tidak diragukan, memposisi olahraga dalam visi “character and nation building dan gerakan olahraga merupakan bagian revolusi nasional (Rusli Lutan, 2004). Di bagian lain Rusli Lutan menuturkan bahwa perkembangan olahraga ketika mencapai puncaknya dalam era Soekarno awal tahun 1960-an didorong oleh motif politik, pengungkapan nasionalisme, dan lebih tegas lagi dalam rangka membangun Indonesia baru melalui tesisnya yang terkenal: menjebol dan membangun. Sasaran utama Soekarno, melalui olahraga adalah untuk membentuk self-esteembangsa, yang dikonsepsikannya sebagai “ Indonesia Baru” dalam pengertian ras dan anthropologi, yang berdiri tegak fisik dan mental. Soekarno menegaskan: “Kita ingin menjadi Indonesia baru yang berani melihat dunia dengan jiwa terbuka, percaya diri dan kuat jasmani dan rokhani.” (Rusli Lutan, 2004)
Ungkapan politis seperti itu sebenarnya bukanlah baru, karena sejak PON diselenggarakan misalnya, dalam setiap sambutannya di depan publik Bung Karno selalu memfokuskan perhatian pada kemerdekaan, Indonesia memerintah dirinya sendiri dan juga tentang hormat diri bangsa. Tujuan nasional Indonesia, kata Soekarno adalah untuk membentuk kehidupan bangsa sesuai dengan prinsip Pancasila. Senafas dengan tujuan ini dalam pidatonya yang ditulis tangan (Djakarta 1 Djanuari 1954) antara lain beliau mengomentari keikutsertaan para atlet dalam PON yang meningkat dari PON ke PON: “Apakah ini berarti kenaikan minat-sport saja? Ja. Tetapi juga lebih dari itu. Ini berarti pula bahwa di kalangan pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi kita tidak pernah luntur trisumpah, bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu. Bahkan dengan sport dapatlah kesetiaan kepada trisumpah itu dipupuk-dihidupkan!” (Dikutip di sini sesuai dengan ejaan aslinya).
Jarang kita mendengar fikiran tokoh lainnya tentang olahraga. Hatta sebagai wakil presiden mengutarakan buah pendapatnya dengan gaya yang berbeda. Bila Soekarno singkat, lugas, sederhana tetapi membakar semangat. Hatta menulis dalam paparan lebih akademis dalam ungkapan campur-campur bahasa Belanda, Inggris dan Jerman. Tetapi benang merah yang paling menarik, yang didokumentasikan dalam Laporan resmi (1954) beliau menegaskan pentingnya “sporting spirit” , penyempurnaan “karakter olahraga” (Atmosantoso, 1951; dalam Collin Brown 2006: 435). Hatta menekankan bahwa spirit keolahragaan itu penting bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Menurut versi bahasa Inggris (aslinya bahasa Indonesia), yang disajikan kembali oleh Collin Brown, motif berolahraga yang bernuansa politis sebagai berikut.
This sporting spirit must give life to our developing democracy and to the achievement of social justice in the Indonesian community. Through sport we can teach our people that they should be prepared to accept constructive criticism and opinions [of others] which are better than their own; teach them to value opinions which differ from their own. Only through competition of ideas and the testing of opinions, and through hard work, can our nation speed up the achievement of national development.
Pemikiran Hatta tersebut di atas menekankan peranan olahraga sebagai alat pendidikan dan pembinaan watak; pemikiran Hatta bersifat didaktik.
Daftar Rujukan
Ary Ginanjar. 2008. Pembentukan Habit Menerapkan Nilai-nilai Religius, Sosial, dan Akademik, 29–31 Juli 2008. Semiloka Pendidikan Karakter. Yogyakarta: UNY
Brown, Colin 2006. ‘Playing the game; Ethnicity and politics in Indonesian badminton’, Indonesia 81:71-94.
Budimansyah & Komalasari.Ed. 2011. Pendidikan Karakter Nilai Inti Bagu Upaya Pembinaan Kepribadian Bangsa. Bandung UPI. Widaya Aksara Press.
Coakley & Dunning. 2006. Handbook of Sports Studies. Londom. Sage Publication.
Dina, Wahyu, dan Farrah. 2001. Tawuran Pelajar SMK-TI di Kota Bogor: Faktor Pendorong dan Faktor Penyebabnya. Laporan Penelitian Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB.
Kidder, K., (1995).How Good People Make Tough Choices, New York: Morrow.
Lickona, T. 1992, Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
Lutan, R. 2001. Olahraga dan Etika Fair Play, Direktorat Jendral Olahraga Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta
Lutan, R. et.al. 2004. Akar Sejarah dan Dimensi Keolahragaan Nasional. Direktorat Jendral Olahraga Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta
Marten, R. 2004. Successful Coaching, USA: Human Kinetic
Menko Polkam. 1997. Peranan Pendidikan Jasmani dan Olahraga dalam Pembinaan Disiplin Nasional. Makalah disampaikan dalam Komperensi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga. IKIP. Bandung, 22 September 1997.
Morgan, J. William & Meier V. Klaus (edt). 1995. Philosophic Inquiry in Sport. Human Kinetic. USA.Second Edition.
Shields and Bredemeier, 1995. Character Development and Physical Activity, United States of America: Human Kinetic
Siedentop, D. 1994. Physical Education Introductory Analysis. New York: Wn. C Brown Company Publisher.
Tilaar, H.A.R., 2004. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Subandy. 2007. Kekerasan Remaja. dalam Pikiran Rakyat, 21 April 2007
Weinberg, Robert S and Gould, Daniel. 2002. Fondations of Sport and Exercise Psychology, 3rd edition. Champaign, IL: Human Kinetics.
Wuest, D.A & Bucher, C. 1995. Foundation of Physical Education and Sport (12Th) St. Louis Missouri: Mosby-Year Book. Inc.
Demikianlah Artikel CONTOH MAKALAH PEMBINAAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA LENGKAP
Sekianlah artikel CONTOH MAKALAH PEMBINAAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA LENGKAP kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel CONTOH MAKALAH PEMBINAAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA LENGKAP dengan alamat link http://kumpulanmakalahlengakap.blogspot.com/2014/06/contoh-makalah-pembinaan-karakter.html
CONTOH MAKALAH PEMBINAAN KARAKTER MELALUI OLAHRAGA LENGKAP