, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Makalah Tafsir Surat Ad-Dhuha dan An-Nashr, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Surat Adh-Dhuha
4ÓyÕÒ9$#ur ÇÊÈ È@ø©9$#ur #sÎ)4ÓyÖy ÇËÈ $tB y7tã¨ury7/u $tBur 4n?s% ÇÌÈ äotÅzEzs9ur ×öy{ y7©9 z`ÏB 4n<rW{$#ÇÍÈ t$öq|¡s9ur yÏÜ÷èã y7/u#ÓyÌ÷tIsù ÇÎÈ öNs9r& x8ôÉgs $VJÏKt3ur$t«sù ÇÏÈ x8yy`urur~w!$|Ê 3yygsù ÇÐÈ x8yy`urur Wxͬ!%tæ4Óo_øîr'sù ÇÑÈ $¨Br'sù zOÏKuø9$#xsù öygø)s?ÇÒÈ $¨Br&ur@ͬ!$¡¡9$#xsù öpk÷]s?ÇÊÉÈ $¨Br&urÏpyJ÷èÏZÎ/ y7În/u ô^ÏdyÛsù ÇÊÊÈ
Artinya:
1. Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
2. Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap),
3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu
4. Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)
5. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas.
6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
7. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
8. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
9. Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang.
10. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.
11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.
Penjelasan Ayat
4ÓyÕÒ9$#urÇÊÈ
Demi waktu matahari sepenggalahan naik
È@ø©9$#ur #sÎ) 4ÓyÖy ÇËÈ
dan demi malam apabila telah sunyi (gelap)
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah merasa kurang enak badan sehingga tidak shalat malam 1 atau 2 malam. Datanglah seorang wanita yang berkata kepadanya: "Hai Muhammad aku melihat syaithanmu (yang dimaksud syaitan oleh wanita itu ialah Jibril), telah meninggalkan engkau." Maka Allah menurunkan ayat ini (S.93:1-3) yang menegaskan bahwa Allah tidak membiarkan Muhammad dan tidak membencinya. (Diriwayatkan oleh as-Saykhani dan lainnya yang bersumber dari Jundub.)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Jibril untuk beberapa lama tidak datang pada Nabi SAW. Berkatalah kaum musyrikin: "Muhammad telah ditinggalkan." Maka turunlah ayat ini (S.93:1-3) yang membantah ucapan-ucapan mereka. (Diriwatkan oleh Sa'id bin Mansyur dan Al-Faryabi yang bersumber dari Jundub.)
Ulama tafsir mengatakan bahwa di dalam kedua sumpah tersebut terdapat isyarat waktu turunnya wahyu dan waktu berhentinya. Harus ada masa istirahat, karena wahyu selalu disertai kepayahan. Tidak ada tempat untuk meninggalkan atau membenci. Kenyataannya akhir itu lebih baik dari permulaan.
$tBy7tã¨ury7/u $tBur 4n?s% ÇÌÈ
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu
Maksudnya: ketika turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. terhenti untuk sementara waktu, orang-orang musyrik berkata: "Tuhannya (Muhammad) telah meninggalkannya dan benci kepadanya." Maka turunlah ayat ini untuk membantah perkataan orang-orang musyrik itu
Para ulama dalam menjelaskan makna ayat ini mengajak siapapun yang menduga Nabi Muhammad SAW telah ditinggalkan Tuhannya, untuk memperhatikan keadaan matahari yang disusul oleh kehadiran malam, serta malam yang disusul dengan kedatangan siang. Kehadiran malam tidak berarti matahari tidak akan terbit lagi. Demikian pula sebaliknya. Nah, jika demikian, ketidakhadiran wahyu beberapa saat, tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa ia tidak akan lagi hadir atau Nabi Muhammad SAW telah ditinggalkan Tuhannya.
äotÅzEzs9ur×öy{ y7©9 z`ÏB 4n<rW{$#ÇÍÈ
Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)
Maksudnya ialah bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. Ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan ula dengan arti kehidupan dunia.
Setelah Allah menegaskan bahwa Allah tidak akan meninggalkan Nabi Muhammad SAW ayat diatas melanjutkan penyampaian berita gembira kepada beliau bahwa: Dan Aku bersumpah bahwa sungguh akhirat yakni masa yang akan datang lebih baik bagimu wahai Nabi Muhammad SAW.
Ayat diatas tidak menjelaskan karunia apa yang dianugrahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagian ulama menetapkan jenis atau bentuk anugrah itu. Ada yang berkata bahwa anugrah tersebut adalah seribu istana surga, yang dibangan dari mutiara. Ada juga yang menafsiri dengan kemenangan-kemenangan Rasulululah SAW dan khalifah-khalifah beliau dalam peperangan. Ada juga yang menyatakan behwa anugrah tersebut adalah ampunan Allah kepada beliau yang berdosa dan yang lainnya.
t$öq|¡s9ur yÏÜ÷èãy7/u #ÓyÌ÷tIsù ÇÎÈ
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas
öNs9r&x8ôÉgs$VJÏKt3ur$t«sù ÇÏÈ
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
Keyatiman yang biasanya dapat menjadi faktor negative bagi perkembangan jiwa dan kepribadian seseorang, sedikitpun tidak memberi dampak negative kepada Nabi Muhammad. Menurut para pakar, biasanya yang membentuk kepribadian seseorang adalah ibu, ayah, sekolah, bacaan dan lingkungannya. Dalam kehidupan Rasulullah tidak satupun di antara keempat faktor di atas yang mempengaruhi atau menyentuh kepribadian beliau. Beliau sudah tidak punya ayah. Sejak kecil sudah diasuh Halimah Sa’diyyah lalu kakek dan pamannya. Beliau juga tidak bisa membaca apalgi belajar di sekolah. Tapi beliau mendapatkan perlindungan sekaligus bimbingan langsung dari Allah.
x8yy`urur ~w!$|Ê3yygsùÇÐÈ
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk
Yang dimaksud dengan bingung di sini ialah kebingungan untuk mendapatkan kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh akal, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad s.a.w. sebagai jalan untuk memimpin ummat menuju keselamatan dunia dan akhirat.
Kata Dhallan berasal dari kata dhalla yadhillu artinya kehilangan jalan atau bingung tidak mengetahui arah. Makna ini berkembang sehingga artinya binasa atau terkubur. Kemudian Rasulullah SAW mendapatkan hidayah dan risalah agama. Maka dengan hidayah agama tersebut beliua bukan saja mendapatkan jalan terang untuk dirinya melainkan juga memberi jalan terang bagi umat manusia.
x8yy`urur Wxͬ!%tæ 4Óo_øîr'sù ÇÑÈ
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan
Kata ‘Ailanberasal dari kata ‘ilah yang artinya kemiskinan atau kebutuhan yang dapat juga diartikan keluarga, karena anak dan keluarga menjadi beban bagi seseorang yang dapat mengantarkan seseorang pada kebodohan dan kemiskinan. Kata ‘Ailan dapat diartikan sebagai seseorang yang butuh, apapun penyebabnya.
Kata Aghna berasal dari kata ghina yang biasanya diartikan dengan kekayaan. Sebagian ulama menyatakan bahwa kekayaan yang dimaksud pada ayat di atas adalah kekayaan materi. Menurut mereka, Nabi telah diberi kekayaan materi (harta benda) untuk hidup Nabi pada masa kecil melalui Abu Thalib, kemudian ketika dewasa melalui isterinya, Khodijah lalu setelah Khadijah wafat melalui sahabat beliau Abu Bakar. Setelah hijrah, Rasul SAW memperoleh kekayaan material melalui kebaikan penduduk Madinah disusul dengan harta rampasan perang.
$¨Br'sù zOÏKuø9$# xsù öygø)s?ÇÒÈ
Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang
Kata taqharberasal dari kata qoharo yang artinya menjinakkan dan menundukkan untuk mencapai tujuannya atau mencegah lawan mencapai tujuannya. Manusia yang merasa memiliki kemampuan demikian sering kali berlaku sewenang-wenang. Kebiasaan masyarakat kota Mekah saat itu memang mereka tidak mau memberikan pelayanan terbaik pada anak-anak yatim. Mereka tidak ramah kepada anak-anak yang kehilangan perlindungannya.
Tuntunan ayat ini menyatakan bahwa yang pertama dan yang paling utama dituntut terhadap anak-anak yatim adalah bersikap baik dan menjaga perasaan mereka. Menyakiti perasaaan anak kecil dapat menimbulkan komplek kejiwaan yang terbawa hingga dewasa, dampaknya jauh lebih buruk dari pada kekurangan material.
$¨Br&ur @ͬ!$¡¡9$# xsù öpk÷]s?ÇÊÉÈ
Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya
Kata Assailberasal dari kata saala yang artinya meminta. At-Thobari mengartikan kata sail adalah seseorang yang membutuhkan sesuatu baik berupa informasi tenaga atau materi. Kata tanhar hanya ditemukan dua kali dalam Al Qur’an yang mengandung arti larangan membentak ibu bapak. Tanhardalam kalimat ini dapat diartikan penyampaian atau pemberian secara kasar atau buruk dengan kata menghardik atau memperlakukan secara kasar.
$¨Br&ur ÏpyJ÷èÏZÎ/ y7În/u ô^ÏdyÛsùÇÊÊÈ
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan
Tahadduts bin ni’mah merupakan istilah yang sudah lazim dipakai untuk menggambarkan kebahagiaan seseorang atas kenikmatan yang diraihnya. Atas anugerah itu ia perlu menceritakan atau menyebut-nyebut dan memberitahukannya kepada orang lain sebagai implementasi rasa syukur yang mendalam. Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut kenikmatan pada ayat di atas, pertama kali memang ditujukan khusus untuk Rasulullah saw. Namun, perintah dalam ayat ini tetap berlaku umum berdasarkan kaedah “amrun lir Rasul Amrun li Ummatihi” (perintah yang ditujukan kepada Rasulullah, juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas).
Ibnu Katsir mengemukakan dalam kitab tafsirnya, berdasarkan korelasi ayat per ayat dalam surah Ad-Dhuha, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Oleh karena itu, siarkanlah segala jenis kenikmatan tersebut dengan memujinya, mensyukurinya, menyebutnya, dan menceritakannya sebagai bentuk i’tiraf (pengakuan) atas seluruh nikmat tersebut.”
Para ulama tafsir sepakat bahwa pembicaraan ayat ini dalam konteks mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam bentuk sikap dan implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin ni’mahdalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh Allah dan menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan, tahadduts bin ni’mahberarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya, menampakkan nikmat, dan memberitahukannya kepada orang lain.
Dalam konteks itu, Ibnul Qayyim dalam bukunya Madrijus Salikin mengemukakan korelasi makna antara memuji dan menyebut nikmat. Menurut beliau, memuji pemberi nikmat bisa dibagikan dalam dua bentuk: memuji secara umum dan memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah dengan memuji sang pemberi nikmat sebagai yang dermawan, baik dan luas pemberiannya. Sedangkan memuji yang bersifat khusus adalah dengan memberitahukan dan menceritakan kenikmatan tersebut. Sehingga tahadduts bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Zat Pemberi nikmat.
Imam al-Qurtubi menyampaikan bahwa nikmat atau anugrah tersebut tidak hanya hal-hal yang bersifat materi, tetapi mencakup juga immaterial seperti nama baik dan kedudukan, bahkan juga menyangkut pelaksanaan ibadah (agama). Agama atau petunjuk-petunjuk Allah juga dinamai nikmat. Karena apapun kelebihan seseorang itu semua tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan nikmat agama. Sebaliknya, orang yang telah memperoleh nikmat agama, maka betapapun beratnya beban kesulitan yang dipikulnya, semua akan terasa ringan.
Selanjutnya, menurut para ulama ada tiga nikmat yang diperoleh Rosulullah SAW, yaitu:
Pertama : beliau yang tadinya yatim kemudian dianugrahi perlindungan. Oleh karena itu beliau diperintahkan untuk menyayangi anak yatim.
Kedua : beliau yang tadinya dalam keadaan butuh, tidak berkecukupan kemudian memperoleh kecukupan dan rasa puas dan sebagai tanda syukur, beliau diperintahkan untuk tidak menolak apalagi menghardik siapapun yang meminta atau bertanya.
Ketiga : beliau yang tadinya bingung tidak mengetahui arah yang benar kemudian mendapat petunjuk-petunjuk agama, atas dasar anugrah ini beliau berkewajiaban menyampaikan petunjuk-petunjuk agama tersebut kepada orang lain.
B. Surat An-Nashr
#sÎ)uä!$y_ ãóÁtR«!$# ßx÷Gxÿø9$#ur ÇÊÈ |M÷r&uur}¨$¨Y9$#cqè=ä{ôtÎû Ç`Ï «!$# %[`#uqøùr& ÇËÈ ôxÎm7|¡sù ÏôJpt¿2 y7În/u çnöÏÿøótGó$#ur 4 ¼çm¯RÎ) tb%2$R/#§qs?ÇÌÈ
Artinya:
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
2. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.
3. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat.
Surat an-Nashr, dikenal juga dengan sebutan surat at-Taudi’. Surat yang berjumlah tiga ayat ini disepakati oleh para ulama sebagai madaniyyah. Maksudnya, turun setelah peristiwa hijrah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, dan termasuk surat yang terakhir diturunkan.
Dalilnya yaitu:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ تَعْلَمُ ( وفي لفظ: تَدْرِي ) آخِرَ سُورَةٍ نَزَلَتْ مِنْ الْقُرْآنِ نَزَلَتْ جَمِيعًا قُلْتُ : نَعَمْ . إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ قَالَ صَدَقْتَ
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata : Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu bertanya kepadaku: “Engkau tahu surat terakhir dari al Qur`an yang turun secara keseluruhan?” Ia menjawab: “Ya, idza ja`a nashrullahi wal fath”. Beliau menjawab: “Engkau benar”.
Secara pasti, terdapat silang pendapat di kalangan ulama tafsir. Ibnu Rajab rahimahullah menyimpulkan bahwa surat ini turun sebelum Fathu Makkah. Karena firman Allah
{ إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ } menunjukkan dengan sangat jelas kalau penaklukan kota Mekkah belum terjadi.
PENJELASAN AYAT
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (١)
(Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan).
Kata nashr, artinya al ‘aun (pertolongan).
Yang dimaksud dengan nashrullahdalam ayat ini, menurut Ibnu Rajab rahimahullah ialah pertolongan-Nya bagi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam saat berhadapan dengan musuh-musuhnya, sehingga berhasil beliau menundukkan bangsa ‘Arab semuanya dan berkuasa atas mereka, termasuk atas suku Quraisy, Hawazin dan suku-suku lainnya
Secara eksplisit, surat ini memuat bisyarah (kabar gembira) bagi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata,”Dalam surat ini terdapat bisyarah dan perintah kepada Rasul-Nya shollallahu ‘alaihi wa sallam pada saat kemunculannya. Kabar gembira ini berupa pertolongan Allah bagi Rasul-Nya dan peristiwa penaklukan kota Mekkah dan masuknya orang-orang ke agama Allah Ta’ala dengan berbondong-bondong.”
Dalam menjelaskan pengertian ayat di atas, Syaikh Abu Bakr al Jazairi mengungkapkan: “Jika telah datang pertolongan Allah bagimu wahai Muhammad, hingga engkau berhasil mengalahkan para musuhmu di setiap peperangan yang engkau jalani, dan datang anugerah penaklukkan, yaitu penaklukan kota Mekkah, Allah membukanya bagi dirimu, sehingga menjadi wilayah Islam, yang sebelumnya merupakan daerah kekufuran”.
Adapun pengertian al fathupada surat ini adalah fathu Makkah. Yakni penaklukan kota suci Mekkah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Yang dimaksud dengan al fathu yaitu fathu Makkah. (Ini merupakan) sebuah pendapat yang sudah bulat.” 9
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari rahimahullah , Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dan Imam al Qurthubi rahimahullah juga menegaskan pendapat senada.
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (٢)
(Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong).
Disebutkan dalam Shahihul-Bukhari, dari ‘Amr bin Salimah, ia berkata:
وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمْ الْفَتْحَ فَيَقُولُونَ اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ صَادِقٌ فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ
(Dahulu) bangsa Arab menunggu-nunggu al Fathu (penaklukan kota Mekah) untuk memeluk Islam. Mereka berkata: “Biarkanlah dia (Rasulullah) dan kaumnya. Jika beliau menang atas mereka, berarti ia memang seorang nabi yang jujur”. Ketika telah terjadi penaklukan kota Mekkah, setiap kaum bersegera memeluk Islam, dan ayahku menyegerakan keIslaman kaumnya .
Menurut Imam al Qurthubi, peristiwa tersebut terjadi ketika kota Mekkah berhasil dikuasi.
Bangsa Arab berkata: “Bila Muhammad berhasil mengalahkan para penduduk kota suci (Mekkah), padahal dulu mereka dilindungi oleh Allah dari pasukan Gajah, maka tidak ada kekuatan bagi kalian (untuk menahannya). Maka mereka pun memeluk Islam secara berbondong-bondong”.
Tidak berbeda dengan keterangan itu, Ibnu Katsir rahimahullah juga memberi penjelasan: “Saat terjadi peristiwa penaklukan Mekkah, orang-orang memeluk agama Allah secara berbondong-bondong. Belum lewat dua tahun, Jazirah Arab sudah tersirami oleh keimanan dan tidak ada simbol di seluruh suku Arab, kecuali simbol Islam. Walillahil-Hamdu wal minnah”.
Ayat ini juga menandakan, bahwa kemenangan akan terus berlangsung bagi agama ini dan akan semakin bertambah saat dilantunkannya tasbih, tahmid dan istighfar dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam . Ini merupakan bentuk syukur. Faktanya yang kemudian dapat kita jumpai pada masa khulafaur-rasyidin dan generasi setelah mereka.
Pertolongan Allah Ta’ala itu akan berlangsung terus-menerus sampai Islam masuk ke daerah yang belum pernah dirambah oleh agama lainnya. Dan ada kaum yang masuk Islam, tanpa pernah ada yang masuk ke agama lainnya. Sampai akhirnya dijumpai adanya pelanggaran pada umat ini terhadap perintah Allah, sehingga mereka dilanda bencana, yaitu berupa perpecahan dan terkoyaknya keutuhan mereka.
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (٣)
(Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).
Imam al Qurthubi rahimahullah menurutkan penafsirannya: “Jika engkau shalat, maka perbanyaklah dengan cara memuji-Nya atas limpahan kemenangan dan penaklukan kota Mekkah. Mintalah ampunan kepada Allah”. Inilah keterangan yang beliau rajihkan.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَّا يَقُولُ فِيهَا سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha , ia berkata: “Tidaklah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat setelah turunnya surat ini, kecuali membaca Subhanaka Rabbana wa bihamdika Allahummaghfirli (Maha Suci Rabb kami dan pujian kepada-Mu, ya Allah ampunilah aku)”.
Sejumlah sahabat mengartikan ayat ini dengan berkata: “(Maksudnya) Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya, manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah menaklukkan (daerah-daerah) bagi kita”. Pernyataan ini muncul, saat ‘Umar bin al Khaththab radhiallahu’anhum mengarahkan pertanyaan kepada mereka mengenai kandungan surat an-Nashr.
Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari penjelasan ini dengan berkata: “Makna yang ditafsirkan oleh sebagian sahabat yang duduk bersama Umar radhiallahu’anhum ialah, bahwa kita diperintahkan untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya ketika Dia telah menaklukkan wilayah Madain dan benteng-bentengnya, yaitu dengan melaksanan shalat karena-Nya dan memohon ampunan kepada-Nya merupakan pengertian yang memikat lagi tepat. Terdapat bukti penguat, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Mekkah. Dalam Sunan Abu Daud termaktub bahwa beliau mengucapkan salam pada setiap dua raka’at di hari penaklukan kota Mekkah. Demikianlah yang dilakukan Sa’ad bin Abil Waqqash radhiallahu’anhu pada hari penaklukan kota Mada-in”.
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
(Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).
Maksudnya, Allah Maha menerima taubat orang-orang yang bertasbih dan memohon ampunan. Dia mengampuni, merahmati mereka dan menerima taubat mereka. Apabila Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam saja yang sudah ma’shum(terpelihara dari dosa-dosa) diperintahkan untuk beristighfar, maka bagaimanakah dengan orang lain?
PELAJARAN DARI SURAT AN-NASHR
1. Banyaknya anugerah Allah yang dikaruniakan kepada umat Islam.
2. Kewajiban bersyukur manakala kenikmatan tercurahkan. Di antaranya dengan sujud syukur.
3. Kewajiban untuk selalu beristighfar setiap saat.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazali, Syeikh Muhammad, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an, Gaya Media Pratama, Jakarta. 2005
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya, PT. Syaamil Cipta Media, Bandung. 2006
Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir (700-774 H), TahqiqSami bin Muhammad as Salamah, Cetakan I, Tahun 1422 H/2002 M, Dar ath-Thayibah, Riyadh.