, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul CATATAN 2013 By Muhlis, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, bahwa penulis mencoba memcoretkan tinta hitam kedalam secarik kertas. Selaku penunulis menyadari masih banyak kesalahan dan belum dikatakan sempurna karena keterbatasan kemampuan dalam merangkai kata, dan masih dalam tarap belajar yang penuh dengan kemiskinan kata-kata. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak, penulis harapkan agar dalam pembuatan cerpen, artikel, jurna maupun cerbung bahkan novel di waktu yang akan datang bisa lebih baik lagi.
Dalam hal ini, penulis banyak mendapat bantuan baik yang bersifat moril maupun material dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Terutama kedua orang tua yang telah memberikan motovasi dan dorongan, khususnya buat dia yang ku saying.
Akhirnya penulis mengaharapkan semoga buku kecil yang sederhana ini banyak memberi manfaat bagi pembaca. Amin…
Metro, 10 Mei 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PENGANTAR
DAFTAR ISI
SENJA DI DAM RAMAN
KEUTAMAAN MENULIS DAN MEMBACA
ADA CINTA DI KAMPUS HIJAU
SENJA DI DAM RAMAN
“”Sebuah tulisan tertulis “Elha dan Uyung jelek” itulah sebutan ku yang diberikan teman-teman ku di asrama. Tetapi hal inilah yang menjadikan momen bagi ku bahwa aku harus bangkit dari keterpurukanku di masa silam””
Akan selalu ada orang yang menangis, tertawa,bahkan gelisah kala menikmati senja di taman ini. Dan
mereka tak butuh alasan untuk melakukannya, menitikkan air mata ketika cahaya merah terlihat dari hamparan penuh rerumputan, pohon-pohon, dan sebuah danau kecil di taman Kota Metro. Waktu-waktu berjalan, malam, pagi, siang, sore, dan tentu saja, senja. Dari kdua mata ku terpana saat aku melihat, dua anak kecil duduk bersandar di bangku tepi danau, dengan pakaian yang paling kusut dan mata yang paling sendu, menatap kosong pada titik cakrawala tempat terbenamnya matahari. Semua orang tak ada yang mengenalmu, kedua anak itu tanpa nama yang tak pernah absen menikmati jatuhnya matahari kemerah-merahan menuju pekat yang menyambar-nyambar, yang tak henti-hentinya meneteskan air mata sambil meminta-minta di antara kerikil dan rerumputan di keramaian taman.
Sebelum lebih dulu menemani kicau burung dan kepak sayap kupu-kupu di hamparan bunga-bunga, terkadang sepasang anak itu memetiknya, dan melemparkannya pada ikan-ikan yang mengiranya sebagai umpan yang tak jemu mengelilingi danau kecil ditengah-tengah taman kota. Sempat terbabayangkan seperti mereka, hidup bersama dengan bebas, menikmati ketenangan, menjadi bagian keindahan di mata setiap orang.
Aku masih ingat ketika seseorang membawaku ke taman untuk pertama kali, sebut saja namanya Elha. Jangan pernah lupakan bagaimana perkenalan, pertemuan di satu titik rapuh. Ketika itu aku adalah laki-laki yang tak ahli kata-kata yang selalu merangkai cerita tentang senja. Sedangkan kualitas tulisanku berada tepat di garis kemiskinan sastra. Kita bertemu dalam ruang maya, menjalin cerita yang hampir membosankan jika dituliskan hanya didalam secarik kertas diari.
”Aku suka senja, apalagi jika melihat burung-burung terbang ke arah barat, seakan-akan rumah mereka adalah senja.” Cetus ku kepada Elha
”Tetapi, aku tidak begitu mengerti senja. Bagiku tak ada sekat antara sore dan malam, antara sisa-sisa cahaya siang dan datangnya potongan-potongan malam.” Elha membalas ucapan ku
”Apa kamu tidak pernah bermain di pantai ketika sore hari? Ketika kamu lihat langit menggaris merah dan beberapa perahu berlayar lurus hanya menyisakan layarnya yang berkibar. Seperti sangat dekat dengan garis dunia itu. Seakan bersandar pada cahaya senja.”
”Tidak, aku hanya tahu pantai yang panas, dan sore hari aku pulang untuk beristirahat.” Elha seperti enggan menjawab pertanyaan itu
”Jadi, kamu tidak pernah melihat senja?”
”Aku bisa melihatnya dari foto-foto.” Tukas Elha
”Foto-foto tidak hidup, semuanya diam, seperti dunia tanpa waktu.”
”Kalau begitu berikan aku video yang merekam senja.”
”Tidak. Aku tidak punya. Aku saja jarang menikmati senja yang utuh. Kadang setahun dua kali, kadang setahun sekali, bahkan sering tidak sama sekali.”
”Lalu, di mana kamu bisa melihat senja yang utuh?”
”Aku hanya melihatnya ketika pulang ke rumah orangtuaku di desa Paku Negara Pesisir Barat. Di sana ada bukit luas yang jarak pandangnya sampai ke pantai, dan ketika sore tidak akan ada yang menghalangi pemandangan terbenamnya matahari, termasuk senja itu.”
Kemudian segalanya hening.
”Kalau begitu, aku akan membawamu ke suatu tempat di kota ini yang bisa melihat senja setiap hari.” Sela ku
”Apa? Bukankah tadi kamu bilang tidak pernah melihat senja?”
”Aku berbohong.”
Senja memang barang langka untuk dilihat secara utuh di Kota Metro. Gedung-gedung bertingkat dengan lampu merkuri telah mengalahkan sisa cahaya setelah tenggelamnya matahari. Belum lagi lampu kota menyinari jalanan di mana mobil-mobil berkejaran dengan waktu. Orang-orang di sini tak begitu peduli apakah matahari telah tenggelam atau bahkan terbit dari arah tenggelamnya. Becerita tentang senja hanya lelucon di kantin dan taman bermain. Tetapi, tidak bagi ku yang baru tinggal di kota ini. Sejak masuk ke Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’arif setahun yang lalu, ku seperti kehilangan nyawa dalam tulisan-tulisanku.
”Ke mana kita pergi?”sahut Elha
”Ya seperti janjiku. Melihat senja.”
”Jangan bercanda, di kota seperti ini mana ada tempat untuk melihat senja.”
”Kalau begitu biarkan aku bercanda, aku akan membawamu ke daerah Dam Raman, sedikit terpencil, tetapi aku pernah sampai ke sana sewaktu berkeliling kota. Dan aku sampai di tempat itu menjelang terbenamnya matahari. Mungkin itu senja yang kamu maksud.”
Sepeda motor melaju kencang, jalanan semakin sepi, hanya kompleks perumahan yang berdempetan. Setelah sekitar lima belas menit perjalanan meninggalkan hiruk-pikuk kota, akhirnya sampai juga Dam Raman, tepat menjelang sore, Aku sudah mengaturnya.
”Gila! Ini benar-benar senja!” Ku berteriak kegirangan, menatap langit merah sedikit keemasan itu seolah tak berkedip, sementara sekeliling hanya berupa rerumputan, pohon, bentangan padi menghijau dan danau, ”Tetapi, mengapa sepi sekali? Apa tidak ada yang tertarik dengan pemandangan senja?”
Di Dam Raman inilah sebuah tulisan tertulis “Elha dan Uyung jelek” itulah sebutan ku yang diberikan teman-teman ku di asrama. Tetapi hal inilah yang menjadikan momen bagi ku bahwa aku harus bangkit dari keterpurukanku di masa silam.
”Setiap orang lelap dalam kesibukannya, tidak ada waktu untuk datang dan melihat yang seperti ini.” Elha menjawab. Memang, seperti tak ada kehidupan di Dam Raman kecuali sebuah rumah mungil di dekat jalan raya tempatku memarkir sepeda motor, bisa jadi penghuni rumah itulah yang merawat Dam Raman. Sepasang suami istri dan anaknya yang masih kecil. Mereka tersenyum ketika kita melintasi pagarnya.
Suasana menjelang malam yang sempurna, tetapi segala sesuatu yang terasa indah saat itu ternyata tidak berulang. Keesokan harinya Elha mengajakku pergi ke tempat yang sama dan aku pun selalu memberikan waktuku untuk mengantarmu melihat fase pergeseran matahari itu. Alangkah terkejutnya kita melihat puluhan orang bertumpuk di Dam Raman tersebut.
”Mengapa tiba-tiba banyak orang?” tanyaku heran. Aku menduga, gara-gara kita menikmati senja kemarin, pemilik rumah itu lalu mengomersialkan taman Raman yang dirawatnya, tetapi aku tidak melihat loket pembayaran di pintu masuk atau karcis parkir.
”Entahlah, padahal aku hanya memberitahu beberapa sahabatku di kampus bahwa ada senja di daerah Dam Raman.”
Dugaanku meleset. Rupanya kabar ini menyebar karena Elha, di antara puluhan orang itu aku memang sempat melihat beberapa gelintir kawan-kawannya Elha, mereka bercakap-cakap, meninggalkanku untuk sementara.
”Bagus sekali ya! Ayo dipotret!”
”Direkam saja!”
Kebanyakan dari mereka hadir bersama kekasihnya, tetapi ada juga yang membawa anak-anak kecil, membiarkannya berlarian di jalanan penuh kerikil, mendekati danau, bermain air yang jernih dengan pantulan cahaya senja.
”Padahal aku ingin menunjukkan senja ini spesial hanya untuk rasa kangenku kpada kampug halaman.” Aku sedikit berbisik ketika Elha sudah berada di dekatku.
”Aku juga tidak menyangka akan banyak orang datang ke sini. Tetapi, setidaknya ini bukti bahwa mereka masih mau untuk menikmati pemandangan senja. Ya, kan?”
Elha menatapku dengan tersenyum, wajah putihmu yang teduh itu membuatku urung untuk kecewa. Walaupun sepertinya aku membaca gurat kekecewaan di wajah yang murung.
”Kalau begitu aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku, sekali lagi. Sesuatu yang spesial, dan aku yakin tak seorang pun bisa menirunya,” Elha berkata tiba-tiba.
”Apa itu?” jawab ku
”Menjadi senja.” Cetus Elha
Bagaimana caranya menjadi senja. Apakah harus mengikuti burung-burung yang terbang ke arah terbenamnya matahari di titik cakrawala sambil memakai baju merah keemasan? Bagaimana caranya? Kalau saja aku bisa bertanya kepada penyair dan penulis cerita yang suka membawa obyek senja, mungkin mereka tahu, mungkin mereka pernah beberapa kali menjadi senja sehingga senja selalu hidup dalam tulisan mereka. Tetapi, itu tidak mungkin.
”Kamu yakin ingin aku menjadi senja?”
”Tentu, aku yakin kamu dapat melakukannya, dan mereka di taman danau itu tak akan bisa menirunya.” Lanjut Elha
Aku tertegun, otakku berputar keras. Tidak mungkin aku bertanya kepada kawan-kawan geniusku di kampus, pasti mereka semua menertawakanku. Pertanyaan paling konyol yang kembali keluar dari mulut seseorang yang sebenarnya tengah jatuh cinta pada taraf takut.
”Kalau berbuat untuk wanita yang realistislah, jangan sampai gila begitu.” Begitu kata hatiku
”Lihat saja, aku pasti bisa memenuhinya. Lihat saja.” Sempat terlintas di benekku
Pasti ada caranya, setidaknya, harus ada. Di dunia ini ketidakmungkinan sudah hampir punah, segala sesuatu bisa dilakukan walaupun hakikatnya semu dan jauh melenceng dari kenyataan. Dan benar, kan? Beberapa jam menyendiri dalam kamar, akhirnya kulihat sesuatu yang berkilat itu, sesuatu yang memantulkan cahaya putih dari sinar matahari yang tak terhalang gorden jendela. Ya! Aku mendapatkannya, akhirnya aku mendapatkan cara untuk memenuhi keinginanmu, keinginan yang tak seorang pun bisa menirunya.
”Besok aku adalah senja,” gumamku. Aku tersenyum puas.
Angin sore menerpa deretan pohon cemara, beberapa tempat masih tak berpenghuni, aku datang jauh lebih awal. Belum ada siapa pun di taman Dam Raman. Hanya sepasang burung itu tengah memainkan ekornya membentuk riak-riak kecil. Tetapi, ikan-ikan tak pernah takut dengan keduanya. Mereka seperti bersimbiosis mutualisme, saling menyiratkan kesempurnaan pemandangan Taman Dam Raman. Beberapa daun kering jatuh ke pangkuanmu, sebagian jatuh ke rambutmu yang basah menjuntai melewati bahumu, terbalut kaus hitam.
”Datanglah nanti ke taman Dam Raman, aku akan menjadi senja.”kembali pesan singkat yang kukirimkan pagi tadi. Lalu tersenyum. Elha pasti bangga denganku.
”Bagaimana caranya?”
”Datang saja, nikmati cahaya merah setelah matahari terbenam, kamu harus yakin bahwa senja itu adalah aku.”
”Jadi, kamu tidak akan hadir menikmati senja bersamaku?”
”Tentu tidak. Bukankah yang menjadi senja adalah aku sendiri?”
”Bagaimana aku bisa tahu kalau itu kamu?”
”Aku akan membuat senja itu sedikit berbeda.”
Senja masih akan hadir sekitar satu jam lagi, beberapa pasangan telah tiba dan mencari tempatnya masing-masing, semakin banyak orang berdatangan, jauh lebih banyak dari sebelumnya, bahkan ada yang membawa kanvas untuk melukis senja. Mereka antusias sekali menunggu. Seperti menjadi tempat rekreasi dadakan, yang gratis. Dan tibalah saatnya, matahari perlahan membenamkan tubuhnya di pelukan cakrawala.
Cahaya senja itu muncul, membentang merah lebih pekat, tidak bercampur dengan warna kuning keemasan. Memenuhi garis langit. Orang-orang berdecak kagum.
”Hei, lihat, warnanya agak berbeda dari kemarin. Sepertinya lebih indah. Mungkin ini fenomena alam.”
”Cepat dipotret! Diabadikan!”
”Direkam saja sayangku. Mmmuach!” sepasang muda-mudi berciuman di depan senja yang spesial kuhadirkan untukmu. Sementara kulihat aku terdiam dengan pemandangan senja itu, mungkin sedang membandingkannya dengan senja yang kemarin atau senja yang biasa ku lihat di desa Paku Negara.
”Aku sudah melihat senja. Senja yang benar-benar berbeda.” Ku mengirimkan pesan singkat untuk Elha. Senyumku mengambang, tidak ada yang tahu bahwa senja itu adalah aku dan Elha.
”Bagaimana caranya? Beritahu aku. Biar besok giliran aku yang menjadi senja untukmu.” Pesan singkat yang lain Elha kirimkan lagi.
Orang-orang masih menatap dengan kagumnya, mereka mengambil kamera dan memotret setiap sudut senja itu. Ada pula yang benar-benar merekamnya, meminta pasangan bergaya di sepanjang taman yang berlatar warna merah.
Senja itu semakin lengkap ketika burung-burung menuju ke arahnya, pemandangan yang nyaris sempurna, puluhan kamera mencipratkan cahaya, seperti suatu pertunjukan di atas panggung, orang-orang tak henti-hentinya melontarkan kalimat kekaguman, semakin ramai saja, seolah penduduk semuanya tumpah di Dam Raman, hingga akhirnya beberapa dari mereka sadar, ada sekelompok burung hitam yang tak seharusnya ada di situ. Ku melihat handphone, belum ada pesan balasan dari Elha.
Muda-mudi menjerit, sebagian memeluk pasangannya, sebagian lagi menutup matanya dan menangis, teriakan menggema , ”Itu bukan senja! Itu darah!”
KEUTAMAAN MEMBACA DAN MENULIS
Menulis adalah tradisi yang (harus) dimiliki umat Islam. Tradisi menulis ini berkaitan erat dengan tradisi membaca yang telah dititahkan Allah SWT dalam surat al-’Alaq. Surat al-’Alaq ayat 1 sampai 5 sebagai wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT berisi penegasan tentang keutamaan membaca (iqra’) dan menulis (allama bi al-qalam).
Dengan tradisi membaca dan menulis, umat Islam kuasa mencapai puncak peradabannya. Kedua tradisi inilah yang terus membingkai setiap aktivitas ulama dan intelektual muslim tempo dulu sehingga mampu mengikat ilmu dan menyebarluaskannya. Sebagaimana bunyi ungkapan, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” maka ulama-ulama Islam zaman awal tidak pernah melepaskan hari-harinya tanpa menulis. Pentingnya menulis ini telah menjadi perhatian generasi Islam awal.
Dalam salah satu riwayat, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash berkata, “Dulu aku menulis semua perkara yang aku dengar dari Rasulullah SAW untuk aku hafalkan. Namun, orang-orang Quraisy melarangku dan bertanya, “Kamu menulis semua yang kamu dengar dari Rasulullah SAW. Beliau adalah manusia yang berbicara ketika senang dan ketika marah?” Aku pun berhenti menulis. Lalu, aku menceritakannya kepada Rasulullah SAW. Beliau memberi isyarat ke mulutnya dengan jarinya seraya bersabda, “Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran.”
Seiring dengan masa penuh pembatasan diera orde baru, dunia indonesia menggeliatkan “pesona baru yang di dapat dari kebebasan menjelajahi tema-tema yang sebelmnya tidak terfikirka bisa tereksplorasi. Ada kegairahan baru dikalangan pelajar dalam menyambut atmosfer yang lebih melegakan tersebut diikuti dengan bombardir buku-buku dengan tema yang lebih beragam dan berani, namun kegairahan tersebut belum seberapa menular secara segnifikan eskipun seckepada perkembangan budaya menulis dan membaca. meskipun secara sporadis tumbuh minat-minat baru pada dunia. Gairah menulis dan membaca dewasa ini hanyalah semacam guntur yang diikuti hujan, sesaat yang kemudian hilang tanpa bekas.
Sebenarnya kalau kita pahami banyak sekali keutamaan yang terkandung dalam kekreatifan menulis dan membaca banyak sekali di jelaskan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadist. Kepandaian menulis dan membaca itu amat dihargai, nabi muhammad saw berkata:
Diakhirat nannti tinta ulama-ulama itu akan di timbang dengan darah syuhad’ (oarang-orang yang mati syahid)
Dan dalam Al-Quran Allah SWT berfirman:
ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt
Artinya: Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589], Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(Q.S. Al Alaq 3-5)
[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Dengan demikian, perhatian Islam terhadap aktivitas menulis memang secara jelas dapat kita saksikan dari contoh dan perbuatan nyata di atas. Melalui surat al-’Alaqayat 1 sampai 5, Allah SWT secara implisit mengatakan: membaca dan menulislah wahai umat Islam, peradaban milik kalian! Pentingnya menulis juga ditegaskan Allah SWT dalam surat al-Qalam ayat pertama, “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tuliskan.”
Dalam ayat pertama surat Al-Qalam itu, Allah SWT bersumpah dengan dua hal, yakni kalam/pena dan apa yang ditulis. Berdasarkan pengertian umum dari para ulama, sumpah Allah SWT terhadap sesuatu berarti menandakan bahwa sesuatu itu memang penting. Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa ayat tersebut mendorong manusia untuk belajar menulis yang memiliki kaitan dengan wahyu pertama pada surat al-’Alaqyang mendorong manusia belajar membaca.
Dari zaman Islam awal, kebiasaan menulis terus-menerus berlanjut dan menjadi tradisi. Johannes Padersen mengatakan jarang ada kebudayaan lain dimana dunia tulis-menulis memainkan peranan yang begitu penting seperti dalam peradaban Islam.
Aktivitas menulis senantiasa dilakukan ulama dan intelektual muslim. Imam Syafi’i, misalnya, memahami sisi penting dari aktivitas menulis. Entah ditulis sendiri atau didiktekan ke muridnya, ada pelbagai karya tulis yang ditorehkan Imam Syafi’i. Dikatakan Yaqut al-Hamawi, jumlah karya Imam Syafi’i mencapai 174 kitab. Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasaat menyebutkan bahwa di antara judul-judul kitab karya Imam Syafi’i adalah Ar-Risalah, As-Sunan al-Ma’tsuurah, Al-Fiqh al-Akbar, Ikhtilaaf al-Hadits, Musnad, Ahkaam Al-Qur’an, dan Al-Umm.
Begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal yang produktif menulis. Imam Ahmad bin Hanbal menulis kitab di antaranya Kitab al-’Ilal, At-Tafsiir, An-Naasikh wal-Mansuukh, Kitab az-Zuhd, Al-Masaa’il, Kitab Fadhaa’il ash-Shahaabah, Kitab al-Faraa’idh, Al-Manaasik, Kitab al-Imaan, Kitaab al-Asyribah, Tha’at ar-Rasuul, Kitab ar-Rad ‘alaa al-Jahmiyyah, dan Musnad Ahmad. Dari sejumlah karyanya, kitab terakhir itulah yang paling masyhur, sehingga membuat nama Imam Ahmad bin Hanbal berkibar di jagat keilmuan Islam. Imam Bukhari yang kita kenal dengan Shahih al-Bukhari-nya telah menerbitkan kitab pertamanya Qudhaya ash-Shahabah wat Tabi’in (Peristiwa-peristiwa Hukum di Zaman Shahabat dan Tabi’in) pada usia 18 tahun. Konon ketika menginjak usia 22 tahun, beliau menulis kitab At-Tarikh di atas makam Rasulullah SAW. Selain itu, puluhan kitab lainnya telah dihasilkan Imam Bukhari.
Aktivitas menulis juga diperlihatkan Muhammad bin Jarir ath-Thabari (wafat 310 Hijriyah). Konon setiap hari beliau mampu menulis sebanyak 40 lembar. Karya-karya tulisnya antara lain Jami al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, Kitab al-Qira’at wa Tanzil Al-Quran, Tahzib al-Atsar wa Tafdil as-Sabit, Ikhtilaf al-Ulama al-Amsar fi Ahkam Syara’ al-Islam, dan al-Basir fi Ma’alim ad-Din.
Ibnu Katsir pun produktif menulis. Karyanya tidak hanya Tafsir Al-Quran al-Karim yang termasyhur dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir, tapi memiliki banyak karya lainnya. Beliau menghasilkan beberapa kitab ilmu hadits, seperti Jami’ al-Masanid wa as-Sunan, al-Kutub as-Sittah, al-Mukhtasar, dan Adillah at-Tanbih li ‘Ulum al-Hadits yang lebih dikenal dengan nama al-Baits al-Hadits. Jami’ al-Masanid wa as-Sunan sejumlah delapan jilid yang berisi nama-nama sahabat periwayat hadits. Ia juga menulis Fadha?il Al-Quran yang berisi ringkasan sejarah Al-Quran. Kitab Ibnu Katsir terkait bidang sejarah adalah al-Bidayah wa an-Nihayah (sebanyak 14 jilid), al-Fushul fi Sirah ar-Rasul, dan Thabaqat asy-Syafiiyyah.
Ulama yang juga produktif menulis adalah Ibnu Taimiyah. Karya tulisnya mencakup bidang akidah, fikih, tafsir, hadits, tasawuf, filsafat hingga politik. Menurut Muhammad Farid Wajdi, editor Daa’irah al-Ma’aarif al-Islamiyyah, karya Ibnu Taimiyah mencapai 500 judul. Karya tulis Ibnu Taimiyah diantaranya adalah al-Jawaab ash-Shahiih li man Baddala ad-Diin Al-Masih (Jawaban yang Benar Terhadap Orang yang Mengganti Agama Al-Masih), Majmuu’ al-Fataawaa (Kumpulan Fatwa), dan Kitaab Ar-Radd ‘alaa al-Manthiqiyyiin (Jawaban terhadap Para Ahli Mantik). Ibnu Taimiyah berdakwah melalui tulisan juga dengan menulis surat, seperti al-Hamawiyah (surat yang ditulis untuk penduduk Hamah), al-Wasithiah (surat yang dikirim untuk penduduk Wasith), dan at-Tadammuriah(surat yang diperuntukkan bagi penduduk Tadammur). Ada juga kitab Dar Ta’arudh al-’Aql wa an-Naql yang ditulis beliau.
Beberapa nama yang diterangkan di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya ulama dan intelektual muslim yang menulis. Selain mereka, ada Imam Malik, Imam Suyuthi, Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, dan masih banyak lagi. Di Indonesia, Buya Hamka bisa disebut sebagai salah satu ulama yang begitu melimpah karya tulisnya. Karya sastra yang ditulis Buya Hamka seperti Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Adapun karya lainnya adalah Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Sejarah Umat Islam, dan sebagainya. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), juga memiliki karya tulis, seperti Adab al-Alim wa al-Muta-alim, An-Nur Al-Mubin, ar-Risalah al-Jamiah, at-Tibyan Fin Nahyi An Muqotaat al-Ikhwan, ar-Risalah at-Tauhidiyah at-Tanbihat al-Wajibat, dan sebagainya. Muhammad Natsir juga menghasilkan puluhan karya tulis, seperti Capita Selekta I dan II (1955), Di Bawah Naungan Risalah (1971), Fiqh ad-Dakwah (1981), Dunia Islam dari Masa ke Masa (1982), dan beberapa lainnya.
Dari uraian di atas, kita menyadari bahwa menulis merupakan tradisi yang melekat dalam Islam. Menulis tidak lagi menjadi pilihan, tetapi suatu keniscayaan yang perlu dilakukan. Dwi Budiyanto (2009) menyebut aktivitas menulis sebagai salah satu kebiasaan muslim pembelajar.
Tradisi menulis dalam Islam memiliki beragam tujuan. Pertama, menulis untuk mengikat ilmu. Setiap ilmu yang didapatkan akan terekam kuat jika dituliskan. Ilmu adalah sesuatu yang berharga sehingga perlu menjaganya dengan menuliskannya. Siapa pun perlu menulis untuk mengikat ilmu. Kedua, menyampaikan ilmu. Ilmu yang didapatkan tentu perlu disebarluaskan untuk kemaslahatan bersama. Tidak hanya belajar, tapi juga mengajarkan ilmu dengan menyebarluaskannya lewat tulisan. Ketiga, menyeru kepada kebaikan (amar ma’ruf). Menulis untuk mengajak manusia menuju pada kebaikan. Keempat, mencegah kemungkaran (nahi munkar). Tulisan-tulisan yang dihasilkan berawal dari kegelisahan untuk menentang kezaliman dan berkata tidak pada setiap kemungkaran. Kelima, meneguhkan keimanan manusia. Menulis untuk mengarahkan kehidupan pada kesadaran ketuhanan. Ulama-ulama Islam zaman dahulu menulis untuk tujuan tersebut. Di luar tujuan lain, itulah motif yang hendaknya membangun motivasi kita dalam menulis. Ketika kita membuat tulisan dengan niat dan tujuan yang benar, kita akan mendapatkan nilai lebih dan akan menjadi amal jariyah kita, insya Allah.
Bagi kita, menulis tak sekadar perang opini. Menulis juga ikhtiar mengikat dan mewariskan ilmu. Kita akan tetap menulis, karena menulis adalah tugas agama. Jika kita menulis untuk keabadian, tak ada yang abadi kecuali Allah SWT. Dan, ingin rasanya berseru, “Wahai umat Islam, dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan. Teruntuk umat Islam yang lurus, hanya teruntuk umat Islam yang lurus: angkatlah pena!” Wallahu a’lam. (Sumber: Dakwah UNY).
Betapa senang dan bahagia jika orang tua melihat anak-anaknya tumbuh dan berkembang. Memang kebahagian akan terasa lengkap jika oarang yang kita didik berkembang bukan hanya sekedar fisik , akan tetapi potensi pola fikirnya. Akan kah kita tidak mempedulikan diri kita sendiri untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri kita? Akan kah kita biarkan generasi berikutnya acuh tak acuh kepada buku dan aktivitas membaca serta aktivitas lainnya yang berkaitan dengan menulis dan membaca,
Oleh karena itu kepada sahabat-sahabat mahasiswa STAI Ma’arif Metro Lampung mari kita tuangkan bakat menulis kita lewat media buletin, jurnal, artikel, cerpen maupun yang lainnya.Dengan mengharapkan ridho Allah SWT, semoga kita semua termasuk orang-orang yang di gambarkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW.
Refrensi:
Yayasan Pener Jemah Alquranul Karim
Departemen Republik Indonesia
ADA CINTA
DI KAMPUS HIJAU
Pada suatu hari dengan cuaca yang buruk Doyok berlari ditengah guyuran hujan. Ia itu tidak memperdulikan tetesan air hujan yang mengenai wajah dan tubuhnya. Yang dia pikirkan sekarang adalah bagaimana ia bisa cepat sampai di kampusnya, dan ia bisa bertemu dengan wanita pujaannya.
Doyok membatin “ hujan seperti ini tidak akan menghalangi niatku untuk bertemu wanita pujaanku dan hari ini juga akan kuledakkan perasaan ini di hadapannya.”
Sesampainya di kampus, Doyok mencoba mencari wanita tersebut. lalu, Doyok melihat wanita itu di depan kelas, sedang ngobrol dengan sahabatnya.
Entah kenapa, Doyok seperti terpaku melihat wanita itu. Dan secara tidak sadar ia berkata “masya Allah, Subhanallah,mampukah aku mengatakan tentang perasaan ini? Di depan dia lidahku selalu kaku.”
Pada saat itu juga Rossya memandang pada Doyok, “mas, hujan-hujanan nih yee!”
“ah nggak kok, Cuma lagi masa kecil kurang bahagia neh.” Jawab Doyok.
“ha ha ha ha ha ha, mamas neh, selalu bisa bikin aku ketawa ..” jawab Rossya.
Lalu Doyok berkata “Ros, ada waktu gak, pengen bicara sebentar neh. Kalo kamu gak keberatan seh?”
Rossya mengangguk dan berkata “mau ngomong apa mas ? serius amat seh.”
“ada deh, ntar kamu pasti tau kok. Yang pasti, penting banget neh.”
Lalu Doyok mengajak Rossya untuk duduk di depan parkiran sepeda motor yang ada di kampus mereka.
Tapi entah kenapa, Doyok malah diam. Lidahnya benar-benar beku. Wajahnya sekarang basah oleh keringat dingin.
“ jangan pernah takut untuk mengatakan perasaanmu, berjuanglah. Kebahagiaan bukan terletak pada hasil yang akan kau dapat tetapi terletak pada saat kamu mengatakannya” terniang nasehat Fadil sahabatnya yanga agak konyol itu.
“jangan terlalu banyak berpikir. Apabila kamu memang serius dengan dia, just do it. Nikahi dia, jadikan dia halal bagimu. Bener tuh kata Fadil, jangan mikirin hasil, yang penting hati kamu plong.” Eri menambahkan.
Tiba-tiba, “kak, kok diam seh ? katanya tadi mau ngomong.” Rossya memecahkan kesunyian yang terjadi di antara mereka.
“eh, gak papa kok. Duh, tiba-tiba jadi gugup neh.” Jawab Doyok.
Rossya bingung dengan jawaban Doyok dan wajahnya sekarang penuh dengan kebingungan dan keheranan.
Berusaha menekan rasa kegugupannya yang ada di dalam dadanya Doyok membatin “harus sekarang, selagi ada kesempatan ngomong. Aku harus berani. Dan tidak perduli dengan hasilnya yang penting hatiku akan terbebas dari persaan yang menyiksa ini.” Dan Doyok berkata “sebelumnya aku minta maaf padamu. gini dek, kita sudah kenal hampir 6 bulan. Selama ini, aku merasakan hal aneh pada hatiku dan aku merasa sangat tersiksa karenanya. Sekarang, ingin kuledakkan perasaan ini dan membebaskan hatiku dari perasaan ini. Rossya, selama ini, di dalam dada ini tumbuh rasa aneh tentang dirimu. Aku mulai mengenal dirimu dengan perasaan suka, dan setelah mengenalmu lebih jauh, perasaan suka ini tumbuh menjadi perasaan saying, Hatiku secara tulus mengakui bahwa aku benar menyayangimu.”
Selesai mengatakan, Doyok hanya bisa menundukkan wajahnya dan mulai berdoa. Dia tidak berani menatap wajah Rossya, wajah yang selama ini menghantui setiap detik kehidupannya.
Rossya benar-benar kaget dengan perkataan Doyok. Dia benar-benar tidak tau harus berkata apa. Tapi dalam hati kecilnya, sebenarnya dia juga ada sedikit perasaan suka pada Doyok. Pada kakak angkatannya yang selama ini jadi teman curhatnya. Tapi hatinya bingung, karena Rossya bukanlah tipe wanita yang ingin berpacaran.
“itukah yang mas rasakan terhadap Rossya?” tanya Rossya.
“iya dek, aku benar-benar menyayangimu dengan hatiku. Bahkan aku siap melamarmu apabila aku sudah munaqasyah. Aku ingin kamu menjadi pendampingku pada saat wisuda kelak.” Jawab Doyok.
Mendengar perkataan itu, hati , Rossya jadi berbunga-bunga, senyum yang indah mulai mengembang seperti sekuntum bunga yang mekar di pagi hari.
Rossya berkata “kak, maaf Rossya gak bisa menerima kakak sebagai pacar Rossya, karena Rossya anti dengan pacaran kak.”
Mendengar jawaban Rossya, Doyok hanya tertunduk dan diam. Dia merasa inilah akhir dari kisah cintanya.
Namun Rossya menambahkan “tapi Rossya menerima kakak sebagai calon suami Rossya. Dan jangan lupa dengan janji kakak, setelah maju munaqasyah, kakak harus segera melamar, sehingga Rossya bisa menjadi pendamping kakak sewaktu wisuda nanti.”
Tidak percaya dengan jawaban Rossya, Doyok mendongakkan kepalanya dan berkata “benarkah itu Rossya?”
Rossya pun mengangguk. “iya.” jawab Rossya.
Jawaban Rossya membuat perasaan Doyok melayang. Saat ini dia seperti memiliki sayap dan terbang ke langit. Menggapai langit biru dengan tangannya.
Doyok tersenyum dengan senyum penuh kebahagiaan. Dan berkata “setelah skripsiku selesai, tunggulah aku dirumahmu Rossya. Aku akan datang bersama ayah dan ibuku, untuk menjadikanmu kekasih halalku. Terima kash Rossya. Cinta ini kuharap mampu membuat kita menjadi hamba Allah yang mencapai kebahagiaan secara sempurna, dunia dan akhirat.” Rossya pun mengangguk.
Doyok pun berlari kencang ke arah sahabat-sahabatnya di kelas, dan di sana dia berteriak “aku sudah mendapatkan kekasih halalku, kekasih yang akan menemaniku di dunia dan di akhirat kelak!”
Sahabat-sahabatnya pun tersenyum dan berteriak
“AMIIIIN !!!!!!!!!!”
Pada saat itulah Doyok merasakan begitu banyak anugerah Allah dalam dunia ini. Salah satu anugerah Allah yang selalu bisa membuat dua hal yang berbeda menjadi satu adalah cinta. Tanpa cinta, dunia akan terasa hambar dan membosankan. Namun dengan cinta, dunia akan berwarna-warni seperti pelangi. Sama seperti yang dirasakan oleh Doyok sekarang ini.
TENTANG PENULIS
Muhlisin adalah orang yang mudah untuk bergalu dimapun ia bergaul, ia dilahirkan di paku Negara, 09 September 1988, anak dari pasangan orang tua yang berbeda suku ayahnya berasal dari Jawa Timur-Banyuwangi sedangkan ibunya berasal dari Pesisir Barat-Paku Negara. Muhlisin adalah anak pertama dari lima saudara, pada masa mudanya sejak ia menamatka sekolah di jenjang pendidikan sekolah dasar SDN 04 Paku Negara pada tahun 2002. Setelah itu ia melanjutkan jenjang pendidikannya di MTs NU 01 Biha Pesisr Barat tamat pada tahun 2005.setelah menamatkan di MTs NU ia langsung melanjutkan di man 01 krui, mengambil jurusan Bahasa pesisir barat tamat tahun 2008. Hingga akhirnya ia melanjutkan keperguruan tinggi pada tahun 2010 di STAI Maarif Metro Lampung, selain sebagai mahasiswa yang aktif kuliah beliau juga aktif di organisasi baik intra maupun ekstra. Di organisasi intra beliau menjabat sebagai Wakil Sekertaris DEMA ST, dan di exstranya beliau menjabat sebagai Ketua Rayon PMII hingga saat ini.