, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Makalah Formalisme Hukum, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Legal Utilitarisme (Utilitarisme Hukum) Aliran utilitsris ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748 – 1832), seorang filsuf ekonomi, juris dan reformer hukum. Bentham mampu menenun dari “ benang ” prinsip kemanfaatan” menjadi “permadani” doktrin etika dan ilmu hukum yang luas dan yang dikenl sebagai utilitarisme.
Bagi Jeremy Bentham, hukum barulah dapat diakui sebagai hukum, jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar – besarnya terhadap sebanyak – banyaknya orang. Prinsip itu dikemukakan oleh Bentham dalam karyanya Introduction to the principles of morals and legislation ( 1789 ), yang bunyinya bahwa hukum bertujuan untuk ‘ the greatest happiness of the greatest number’
Bagi Bentham, tujuan perundang – undangan adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Suatu undang – undang barulah dapat diterima sebagai hukum jika undang – undang itu bertujuan untuk mencapai tujuan : kelimpahan perlindungan terhadap status dan kepemilikan, serta untuk meminimasi ketidakadilan.
Tokoh lain dari utilitarisme adalah John Stuart Mill, inti ajaran Stuart Mill adalah
“ Action are right in proportion as they tend to promote man’s happiness, and wrong as they tend to promote the reverse of happiness.”( tindakan itu hendaknya ditujukan terhadap pencapaian kebahagiaan, dan adalah keliru jika ia menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan).
B. Formalisme Hukum
Pemikiran formalisme hukum adalah menganggap hukum sekadar ketaatan terhadap undang-undang saja. Formalisme sering diidentifikasi sebagai dalil aplikasi mekanik dari aturan-aturan yang telah ditetapkan, melayani terutama sebagai “loosely employed term of abuse”. Formalisme berfokus pada fenomena yang teramat menunjukkan aspek yuridis dari kehidupan sosial kita, terhadap interaksi antara pihak-pihak yang kepentingannya terpisah dan terhadap peranan pengadilan-pengadilan dalam menyelesaikan kontroversi-kontroversi yang merupakan akibat dari perbedaan kepentingan tersebut.
Tokoh aliran formalisme salah satunya adalah Ernest J. Weinrib yang menyatakan bahwa formalisme menggambarkan keinginan akan ketaatan yang berlebihan terhadap undang-undang.
Kelebihan aliran ini adalah menjelaskan bentuk-bentuk dari argumentasi moral yang cocok bagi adjudikasi yang adil bagi pihak-pihak yang bersengketa. Kelemahannya adalah tidak semua suatu hubungan hukum merupakan kebulatan dari semua unsur-unsur yang otonom.
Pemikiran formalisme adalah menganggap hukum sekadar ketaatan terhadap undang-undang. Jadi, hukum diidentikkan dengan perundang – undangan saja. Ernest J. Weinrib ( Dennis Paterson, 1999 : 332 ) menyatakan bahwa formalisme menggambarkan keinginan akan ketaatan yang berlebihan terhadap undang – undang : “ to be an immanently intelligible normative practice ” ( Weinrib, 1988, 1995 : 1 – 55 ).
Jadi formalism adalah suatu teori tentang justifikasi hukum. Sebagai suatu teori tentang justifikasi, formalism memandang hukum tidak semata – mata sebagai suatu koleksi posited norms ( norma – norma yang telah ditetapkan ) atau suatu pelaksanaan kekuasaan resmi, melainkan a social arrangement ( suatu pengaturan social ) yang merupakan respons terhadap argumentasi moral ( moral argument ).jadi, proyek formalisme adalah untuk menjelaskan bentuk – bentuk dari argumentasi moral yang cocok bagi adjudikasi yang adil bagi pihak – pihak yang bersengketa.
Para pakar penganut formalisme ingin memahami bagaimana bagian – bagian itu berhubungan satu sama lain dan sebagai totalitas dibagian – bagian ini secara bersama – sama membentuknya.
Bagi para pakar formalistis, suatu hubungan hukum adalah hubungan diantara konsiderasi – konsiderasi yang bersifat membenarkan.
Dalam Studi hukum kritis (critical legal studies) merupakan sebuah studi yang relatif baru dalam perkembangan pemikiran hukum (kira-kira dimulai tahun 1970-an). Studi ini dinisiasi oleh sekolompok pakar Hukum di Amerika Serikat dimana mereka berusaha menempatkan hukum dalam sorotan berbagai aspek, entah politik, ekonomi, budaya, bahasa maupun pendekatan kajian sosial lainnya. Dalam perkembangannya, studi ini telah menjadi aliran tersendiri dalam pemikiran hukum dengan bumbu berbagai variannya. Namun, menurut Prof Soetandyo Wignyosoebroto secara keseluruhan pemikiran-pemikiran di dalamnya terbentuk sebagai reaksi atas kebekuan formalisme hukum dimana aparatus hukum melihat fakta hukum semata-mata sebagai persoalan menerapkan pasal-pasal undang-undang, sementara persoalan empiris yang menyangkut kepekaan terhadap latar belakang sosial-budaya, kondisi politik, ekonomi dan sebagainya justru luput dari perhatian (Soetandyo: 2002, 76-82). Ambil contoh, orang miskin yang lapar kemudian mencuri roti di toko dijatuhi sanksi yang sama dengan koruptor kaya raya yang memakan uang negara milyaran rupiah. Pada tingkat masyarakat, merebak gejala apatisme sosial terhadap praktek-praktek pelanggaran hukum yang ada di depan mata. Misalnya, perampokan dalam sebuah rumah persis depan batang hidung tetangga dianggap semata-mata sebagai urusan polisi. Singkatnya, formalisme membuat masyarakat sedemikian percaya bahwa hukum dan aparat penegaknya akan menyelesaikan segala perkara dengan netral, mengikuti prosedur yang ada dan memenuhi kebutuhan akan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Di Indonesia, formalisme ternyata menunjukkan banyak kontradiksi. Salah satunya adalah konsep tentang penegakan hukum. Dalam formalisme, hukum dan penegakannya dengan mata tertutup pun, akan berjalan sistematis ibarat rumusan matematika yang jelas, tegas dan pasti. Tidak ada kekeliruan di dalamnya. Kita, misalnya, kerap mendengar aparat hukum yang menyatakan bahwa aparat telah bertindak sesuai prosedur. Artinya, dengan bertindak sesuai prosedur maka keadilan telah terpenuhi. Namun, di seberang sana, begitu banyak orang berteriak minta tolong datangnya keadilan. Keadilan yang banyak orang harapkan, justru berubah menjadi ketidakadilan ganda. Studi bank dunia terhadap hukum dan keadilan masyarakat di tingkat lokal di Indonesia yang dipublikasikan tahun 2004 yang lalu, misalnya, memperlihatkan praktek perang terhadap korupsi tidak hanya ditujukan terhadap pelaku kejahatan tetapi paling rumit justru pada penyelesaian (prosedur) secara hukum yang berhubungan dengan aparat negara. Joke “lapor kehilangan kambing, maka akan kehilangan kerbau” sungguh-sungguh terjadi.
Kejahatan yang terus berulang seperti korupsi, selain bentukan faktor sosial, ekonomi dan variable berpengaruh lainnya, sebetulnya bisa dilihat sebagai salah satu bentuk kesalahan formalisme yang menempatkan aparat dan prosedur hukum sedemikian sakralnya. Sehingga, penyembuhan kejahatan seolah-olah sebanding dengan aparat yang mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Tidaklah mengherankan jika kontrol terhadap mekanisme penegakan hukum masih sangat minim. Padahal wilayah itu adalah garis depan yang mempertemukan sisi gelap manusia dengan kebaikannya. Disanalah perang penegakkan hukum yang sesungguhnya: antara keinginan untuk sungguh menjadikan prosedur hukum sebagai salah satu alat menggapai keadilan dengan dorongan untuk menjadikannya sebagai jembatan mendapatkan keuntungan perut sendiri.
C. Mazab formalisme
Dibagi menjadi 2, yakni:
1. Analitycal jurisprudence
- Tokoh: John Austin
- Teori: hukum itu sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup.
- Isi: hukum merupakan perintah dari pemengang kekuasaan tertinggi, hukum tidak didasarkan pada nilai baik-buruk, terpisah dengan keadilan tetapi semata-mata atas dasar kehendak dari penguasa.
2. Stufenbow theory
- Tokoh: Hans Kelsen
- Sistem hukum itu sebagai suatu bangunan bertingkat dari kaidah, dimana kaidah hukum tertentu dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi dan puncaknya disebut grund norm (norma dasar)
Kaitan dengan hukum positif Inodnesia:
Menurut analitycal jurisprudence, hukum merupakan perintah dari penguasa yang tertinggi, begitu pula halnya hukum di Indonesia. Hukum di Indonesia yang berupa undang-undang, undang-undang tersebut dibuat oleh DPR bersama dengan Presiden. Dalam hal ini, undang-undang berlaku di seluruh wilayah yurisdiksi Indonesia. Begitu pula dengan suatu peraturan yang berlaku di suatu wilayah tertentu dalam wilayah yurisdiksi Indonesia, yakni Perda. Perda dibuat oleh DPRD tingkat I berserta Gubernur. Jadi, antara analitycal yurisprudence dan hukum positif Indonesia memiliki keterkaitan.
Menurut stuffenbow theory yang menyatakan bahwa sistem hukum itu merupakan bangunan bertingkat, begitu pula hukum positif Indonesia juga memiliki sistematika hukum seperti halnya yang diatur dalam UU No 12 Tahun 2011
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Pemikiran formalisme hukum adalah menganggap hukum sekadar ketaatan terhadap undang-undang saja. Formalisme sering diidentifikasi sebagai dalil aplikasi mekanik dari aturan-aturan yang telah ditetapkan, melayani terutama sebagai “loosely employed term of abuse”. Formalisme berfokus pada fenomena yang teramat menunjukkan aspek yuridis dari kehidupan sosial kita, terhadap interaksi antara pihak-pihak yang kepentingannya terpisah dan terhadap peranan pengadilan-pengadilan dalam menyelesaikan kontroversi-kontroversi yang merupakan akibat dari perbedaan kepentingan tersebut.
Tokoh aliran formalisme salah satunya adalah Ernest J. Weinrib yang menyatakan bahwa formalisme menggambarkan keinginan akan ketaatan yang berlebihan terhadap undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA