Advertisement
KONSEP AKHLAQUL KARIMAH DALAM AL-QUR’AN
KONSEP AKHLAQUL KARIMAH DALAM AL-QUR’AN - Hallo sahabat
Kumpulan Makalah Lengkap, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul KONSEP AKHLAQUL KARIMAH DALAM AL-QUR’AN, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul :
KONSEP AKHLAQUL KARIMAH DALAM AL-QUR’ANlink :
KONSEP AKHLAQUL KARIMAH DALAM AL-QUR’AN
Baca juga
KONSEP AKHLAQUL KARIMAH DALAM AL-QUR’AN
Akhlak secara etimologis merupakan bentuk jamak (plural) dari kata “khuluqun” yang diartikan sebagai perangai atau budi pekerti, gambaran batin atau tabiat karakter. Kata akhlak juga berarti kejadian atau berkaitan dengan wujud lahir atau jasmani. Sedangkan akhlak berkaitan dengan faktor rohani, yaitu sifat atau sikap batin. Faktor lahir dan batin adalah dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dari manusia, sebagaimana tidak dapat dipisahkannya jasmani dan rohani. Untuk itulah islam lewat ajaran-ajarannya yang universal dan eternal mengatur keduanya dalam upaya pemenuhan kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Akhlak merupakan pokok esensi ajaran islam di samping aqidah dan syari’ah karena dengan akhlak, akan terbina mental dan jiwa seseorang untuk memiliki hakikat kemanusiaan yang tinggi. Dengan akhlak dapat melihat corak dan hakikat manusia yang sebenarnya.
Akhlak atau etika menurut ajaran islam meliputi hubungan dengan Allah (khaliq) dan hubungan dengan sesama makhluk (baik manusia maupun non manusia) yaitu kehidupan individu, keluarga rumah tangga, masyarakat, bangsa, dengan makhluk lainnya seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, alam sekitar dan sebagainya. Dengan ajaran akhlak merupakan indikator kuat bahwa prinsip-prinsip ajaran islam sudah mencakup semua aspek dan kehidupan manusia lahir maupun batin dan mencakup semua bentuk komunikasi, vertikal dan horizontal.
Praktek pelaksanaan akhlak adalah berpedoman kepada nash Al-Qur’an dan Al-Hadist, perbuatan yang dianggap benar adalah perbuatan-perbuatan yang berpijak pada kebenaran yang telah digariskan oleh nash agama yang bersumber kepada wahyu yang terdapat di dalam al-Qur’an. Menurut asas ilmu jiwa ( psikologi ), menjelaskan bahwa kehidupan manusia banyak dipengaruhi unsur-unsur hewaniyah (the animal nature of man). Dan unsur hewaniyah inilah yang banyak menjerumuskan manusia ke alam yang lebih rendah dari hewan itu sendiri. Di dalam QS. Al-A’raaf ayat 176 telah diterangkan secara jelas bahwa jika seorang manusia hidup di dunia hanya menuruti hawa nafsunya yang rendah, seakan-akan manusia tersebut diumpamakan seperti seekor anjing yang sama sekali tidak memiliki akhlak mahmudah ( akhlak terpuji ). Maka dalam kehidupannya, manusia yang hidup seperti itupun tidak akan merasakan kenikmatan yang hakiki karena hanya akan diperdaya oleh hawa nafsunya. Jadi, disini akhlak sangat memiliki peran penting yang harus dimiliki oleh setiap individu, apalagi sebagai orang muslim. Yakni akhlak terhadap semua makhluk Tuhan yang telah diciptakan di alam semesta ini. Tidak hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap makhluk-makhluk tak bernyawa sekalipun seperti tumbuh-tumbuhan dan lainnya.
Akhlak sangat berperan untuk menanggulangi unsur-unsur hewaniyah. Urgensi akhlak tidak saja dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perseorangan (sebagai individu), tetapi juga di alam hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Akhlak juga sebagai alat pembeda yang jelas antara manusia dengan hewan. Dengan pengertian bahwa tanpa modal akhlak, manusia akan kehilangan derajat kemanusiaannya sebagai makhluk yang paling mulia, dan hal ini membawa akibat sangat fatal, manusia akan lebih jahat dan lebih buas daripada binatang yang terbuas.
Tenaga penggerak akhlak ialah pada perasaan (emosi) atau hati nurani, dari sini terpancar perbuatan-perbuatan yang baik dan buruk. Pada prinsipnya, menurut akhlak dalam islam (moral islam), yang dikatakan benar dan salah, baik dan buruk, pantas dan tidak pantas dalam amalan seorang muslim adalah yang telah ditentukan oleh syari’at islamiyah yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadist. Agama islam memandang seseorang sesuai dengan fitrahnya baik ditinjau dari segi psikologis, biologis, dan sosiologis. Fitrah ialah tabi’at/watak yang dijadikan Allah yang cocok atau sesuai bagi manusia yang bersangkutan. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang sempurna, yakni memiliki akal agar dapat digunakan dengan baik. Yaitu untuk dapat membedakan mana hal yang baik untuk dilakukan dan mana hal yang buruk untuk ditinggalkan. Di dalam usaha mengerjakan budi baik dan mencegah budi buruk, manusia selalu berada dalam jihad atau perjuangan besar dalam hidupnya. Mengapa begitu ? karena manusia harus selalu berusaha menahan hawa nafsu yang ada dalam dirinya. Hawa nafsu yang seringkali mengajak manusia pada hal-hal yang negative yang pada akhirnya hal tersebut dapat memberikan simbol pada setiap manusia, apakah manusia itu berakhlak ataukah tidak. Ketika manusia mencoba menahan hawa nafsunya itupun merupakan suatu akhlak.
Penerapan selanjutnya, budi luhur dalam ajaran islam sangat rapat hubungannya dengan inti ajaran islam yang pertama (keimanan) dan kedua (syari’at/ibadah). Beberapa contoh misalnya perintah mendirikan shalat, dikaitkan dengan penghindaran diri dari perbuatan keji (fahsya) dan mungkar. Hal ini juga disinyalir oleh Imam Ghazali di dalam kitabnya “Khuluqul Muslim”, yaitu: “ Masalah budi pekerti adalah yang terpenting dan harus ada tuntunan/petunjuk yang terus-menerus (kontinue), nasihat, agar budi itu tetap dapat meresap di dalam hati. Sesungguhnya iman, ibadah, dan budi pekerti harus merupakan tri tunggal yang bertalian erat, tidak boleh terpisah. Adapun hal-hal yang mempengaruhi akhlak itu adalah bersumber pada nafsu manusia itu sendiri; yakni nafsu mempertahankan kehidupan dan nafsu mempertahankan jenis (keturunan) atau berupa keinginan hidup dan berkembang biak.
Di samping itu menurut Imam al-Ghazali bahwa kejahatan dan kebaikan masing-masing bersumber atau berinduk pada sepuluh induk akhlak yang buruk dan sepuluh induk akhlak yang baik. Sepuluh induk akhlak yang buruk yang banyak menimbulkan kejahatan, adalah : (1) serakah dalam makan; (2) serakah dalam berbicara; (3) sifat pemarah; (4) sifat pendengki; (5) sifat bakhil dan gila harta; (6) gila pangkat/kehormatan (ambisi); (7) cinta keduniaan; (8) sikap takabur/sombong; (9) suka membanggakan diri; (10) riya (suka pamer).
Adapun sepuluh induk akhlak yang baik yang melahirkan kebaikan bagi kehidupan manusia, adalah (1) taubat (suka mengakui dosa kesalahan); (2) takut kepada Allah; (3) zuhud (menerima apa adanya, tidak mengharapkan apa yang tidak ada); (4) sabar; (5) syukur (menerima karunia Tuhan); (6) ikhlas; (7) tawakkal (serah diri); (8) cinta kepada Tuhan; (9) ridha ( rela terhadap ketentuan Tuhan ); (10) selalu ingat kepada kematian.
Filsafat sebagaimana diketahui adalah suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan sistematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. Dengan begitu, akhlak merupakan suatu sikap yang diterapkan melalui berbagai bentuk, dimana akhlak tersebut tidak akan terealisasikan tanpa adanya panca indera yang mendorong terciptanya sebuah akhlak seorang manusia. Contoh dari akhlak itu sendiri seperti halnya ketika seseorang melakukan suatu hal yang baik ataupun sebaliknya, orang lain pun dapat memberikan penilaian kepada seseorang tersebut apakah dia berakhlak baik atau justru berakhlak buruk.
Al-Ghazali membagi umat manusia ke dalam tiga golongan. Pertama, kaum awam, yang berpikirnya sederhana sekali. Kedua, kaum pilihan yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam. Ketiga, kaum penengkar, kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk. Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat, sedang kaum penengkar dengan sikap mematahkan argumen-argumen. Pemikiran al-Ghazali ini memberi petunjuk adanya perbedaan cara dan pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat dan daya ungkapnya. Pemikiran yang demikian akan membantu dalam merumuskan metode dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Dengan begitu dapat saya simpulkan bahwa dari pemikiran al-Ghazali yang membagi umat manusia ke dalam tiga golongan di atas yaitu dalam menghadapi dan menyikapi berbagai jenis sifat manusia yang berbeda-beda, kita perlu menyesuaikan sifat dari masing-masing manusia tersebut. Kita tidak bisa menyikapi berbagai jenis manusia yang mempunyai sifat dan watak yang berbeda-beda dengan satu sikap yang sama. Karena hal itu tidak akan menemukan adanya kesesuain, tetapi justru akan bertolak belakang. Di sinilah peran akhlak sebenarnya. Sikap yang kita tunjukkan dalam menyikapi tiga golongan yang disebutkan oleh al-Ghazali di atas merupakan sebagai wujud adanya akhlak dalam diri kita.
Jauh sebelum itu, al-Qur’an telah pula menggambarkan manusia dalam sosoknya yang sempurna melalui istilah basyar, insan dan al-nas. Musa Asy’arie melalui penelitiannya yang mendalam terhadap al-Qur’an berkesimpulan bahwa melalui aktivitas basyariahnya manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas lahiriahnya yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, bersetubuh, dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya. Manusia dalam konteks insan adalah manusia adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal. Sementara kata al-nas mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai. Selain itu, filsafat juga membahas tentang Tuhan, alam dan makhluk lainnya. Dari pembahasan ini, akan dapat merumuskan cara-cara bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan serta makhluk-makhluk Tuhan yang lainnya sehingga terciptalah proses pembentukan akhlak yang menjadikan manusia berkembang menjadi lebih baik lagi.
Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Akhlak tersebut, maka seseorang yang akan memperdalam Ilmu Akhlak, perlu pula melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang disebutkan di atas. Selain itu, uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang sangat akrab atau berdekatan dengan berbagai permasalahan lainnya yang ada di sekitar kehidupan manusia.
Demikianlah Artikel KONSEP AKHLAQUL KARIMAH DALAM AL-QUR’AN
Sekianlah artikel KONSEP AKHLAQUL KARIMAH DALAM AL-QUR’AN kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel KONSEP AKHLAQUL KARIMAH DALAM AL-QUR’AN dengan alamat link http://kumpulanmakalahlengakap.blogspot.com/2014/12/konsep-akhlaqul-karimah-dalam-al-quran.html
KONSEP AKHLAQUL KARIMAH DALAM AL-QUR’AN