Advertisement
Makalah Fiqih Nafkah
Makalah Fiqih Nafkah - Hallo sahabat
Kumpulan Makalah Lengkap, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Makalah Fiqih Nafkah, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul :
Makalah Fiqih Nafkahlink :
Makalah Fiqih Nafkah
Baca juga
Makalah Fiqih Nafkah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Perbincangan mengenai hak ataupun kewajiban yang bersifat materi, seperti nafkah dibahas dalam fiqh sebagai bagian dari kajian fiqh keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah) Al-Qur’an yang tidak memberikan ketentuan yang jelas dan pasti mengenai berapa besarnya ukuran nafkah seorang suami kepada isteri baik berupa batas maksimal maupun batas minimal. Tidak adanya ketentuan yang menjelaskan berapa ukuran nafkah secara pasti, justru menunjukkan betapa fleksibelnya Islam dalam menetapkan aturan nafkah.
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertia dari nafkah ?
- Berapakah macam- macam nafkah ?
- Sebab gugurnya nafkah ?
C. Tujuan masalah
Agar kita mengetahui apa itu NAFKAH serta mengetahui macam- macam nafkah tersebut,dan apa- apa saja penyebab gugurnya nafkah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian Nafkah
Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infaqan (
انفق- ينفق- انفاقا). Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan dengan “ pembelanjaa
n dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluara
. Berdasarakn pengertian ini maka seorang perempuan yang sudah dinikahi secara sah oleh seorang laki-laki berhak untuk mendapatkan nafkah dari suaminya itu. Hal itu karena memang nafkah adalah kewajiban suami terhadap istri yang wajib ditunaikan dan jika dialnggar
akan mendapatkan balasan dosa dari Allah SWT.
Dalam kitab-kitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekuensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al- Syarkawi : “Ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya” .
Defenisi yang dikemukakan oleh al-Syarkawi di atas belum mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan dalam ayat dan sunnah Rasul. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah sebagai berikut :
“Nafkah Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”. Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik.
B. Dasar Hukum Nafkah
Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, hadis Rasulullah, kesepakatan para imam madzhab maupun UU yang ada di Indonesia, diantaranya adalah:
1. Surat Ath-Thalaq ayat 6-7
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (6) لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (7)
“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka karena ingin utuk menyempitkan mereka. Jika mereka hamil berikan mereka belanja sampai lahir kandungan mereka. Jika mereka menyusukan untukmu (anakmu) berilah upah (imbalannya). Bermusyawarahlah kamu dengan sebaik-baiknya.Tetapi jika kamu kepayahan hendaklah (carilah) perempuan lain yang akan menyusukannnya”(6) “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan (kekurangan) rezkinya hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya, Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang diberikan Allah. Semoga Allah akan memberikan kelapangan setelah kesempitan”(7)
Dalam ayat dapat kita pahami bahwa:
a. Suami wajib memberikan istri tempat berteduh dan nafkah lainnya.
b. Istri harus mengikuti suami dan bertempat tinggal di tempat suami. Besarnya
kewajiaban nafkah tergantung pada keleluasaan suami. Jadi pemberian nafkah berdasarkan atas kesanggupan suami bukan permintaan istriAl-Qurthubi berpendapat bahwa firman Allah (لينفق) maksudnya adalah; hendaklah suami memberi nafkah kepada isterinya, atau anaknya yang masih kecil menurut ukuran kemampuan baik yang mempunyai kelapangan atau menurut ukuran miskin andaikata dia adalah orang yang tidak berkecukupan. Jadi ukuran nafkah ditentukan menurut keadaan orang yang memberi nafkah, sedangkan kebutuhan orang yang diberi nafkah ditentukan menurut kebiasaan setempat. Sedangkan yang dimaksud dengan لينفق ذو سعة من سعته adalah bahwa perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan kepada suami bukan terhadap isteri. Adapun maksud ayatلا يكلف الله نفسا الا مأ تا ها adalah bahwa orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya orang kaya dalam memberi nafkah.
2. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A
عَنْ عَائِشَةَ قَالَت دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْر عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيك
“Dari Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw. bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik secukupnya untukmu dan anak-anakmu.” (HR.Muslim)
Hadis tersebut jelas menyatakan bahwa ukuran nafkah itu relatif, jika kewajiban nafkah mempunyai batasan dan ukuran tertentu Rasulullah SAW. akan memerintahkan Hindun untuk mengambil ukuran nafkah yang dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah hanya memerintahkan Hindun untuk mengambil sebagian harta suaminya dengan cara baik dan secukupnya. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah Al-Mujtahid mengemukakan pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang ukuran nafkah ini bahwa besarnya nafkah tidak ditentukan oleh syara’, akan tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami-isteri dan hal ini akan berbeda–beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan keadaan.
3. Kesepakatan Imam Madzhab
“Para Imam yang empat sepakat menetapkan wajibnya suami memberikan nafkah bagi anggota keluarga yang dikepalainya, seperti orang tua, istri dan anak yang masih kecil”
dalam kitab Mizanul Kubra Juz II halaman 138. mencontohkan bahwa anggota keluarga tidak sekedar istri, melainkan juga anak yang masih kecil (belum mampu mencarinafkah sendiri) dan orang tua (yang sudah tidak mampu mencari nafkahlagi). Hal ini lebih menegaskan bahwa semua orang yang ada di dalamkekuasaan suami, termasuk pembantu ataupun buadk, adalah anggota yang nafkahnya menjadi tanggungan suami.
Sebagai kewajiban, maka setiap suami muslim harus mencukupi nafkah keluarga itu sesuai dengan kemampuannya. Jika dia menjalankannya dengan baik, maka Allah akan memberikan pahala. Dan jika dia meninggalkan atau melalaikannya maka dia berdosa dan akan mendapat siksa dari Allah .
4. Undang-undang yang ada di Indonesia
Mengenai nafkah sudah tercantum dalam Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 Bab VI mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri Pasal 34 ayat 1 sampai 3 yang berbunyi:
a. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
b. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
c. Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
C. Macam-macam Nafkah
Menurut jenisnya nafkah dibagi menjadi dua yaitu Pertama, nafkah lahir yang bersifat materi seperti sandang,pangan, papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya pendidikan anak. Kedua nafkah batin yang bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian dan lain-lain
Menurut objeknya, Nafkah ada dua macam yaitu:
Ø Nafkah untuk diri sendiri. Agama Islam mengajarkan agar nafkah untuk diri sendiri didahulukan daripada nafkah untuk orang lain. Diri sendiri tidak dibenarkan menderita, karena mengutamakan orang lain.
Ø Nafkah untuk orang lain karena hubungan perkawinan dan hubungan kekerabatan. Setelah akad nikah, maka suami wajib memberi nafkah kepada istrinya paling tidak kebutuhan pokok sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan
D. Kadar Nafkah
Kadar Nafkah yang paling ideal diberikan oleh para suami kepada segenap keluarganya adalah cukup, Tetapi, ketentuan cukup ini sangat bervariasi dan relatif apalagi jika dilihat dari selera pihak yang diberi yang notabene manusia itu sendiri memilliki sifat dasar tidak pernah merasa cukup.
Kaitannya dengan kadar nafkah keluarga, Islam tidak mengajarkan untukmemberatkan para suami dan juga tidak mengajarkan kepada anggota keluarga untuk gemar menuntut. Sehungga kadar cukup itu bukan ditentukan dari pihak keluarga yang diberi, melainkan dari pihak suami yang memberi. Kecukupan disesuikan dengan kemampuan suami, tidak berlebihan dan tidak terlalu kikir.
E. Syarat-syarat Wajib Nafkah
Perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Artinya istri berhak mendapatkan nafkah sesuai dengan ketentuan ayat dan hadis sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa setelah terjadinya akad nikah istri berhak mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama berbeda pendapat ketika membahas apakah hak nafkah itu diperoleh ketika terjadi akad atau ketika istri telah pindah ke tempat kediaman suami.
Sedangkan Syafi’i dalam qaul jadid, Malikiyah dan Hanabilah mengungkapkan bahwa istri belum mendapatkan hak nafkahnya melainkan setelah tamkin, seperti istri telah menyerahkan diri kepada suaminya. Sementara itu sebagian ulama muta’akhirin menyatakan bahwa istri baru berhak mendapatkan hak nafkah ketika istri telah pindah ke rumah suaminya.
Menurut jumhur ulama suami wajib memberikan nafkah istrinya apabila: Istri menyerahkan diri kepada suaminya sekalipun belum melakukan senggama; Istri tersebut orang yang telah dewasa dalam arti telah layak melakukan hubungan senggama, perkawinan suami istri itu telah memenuhi syarat dan rukun dalam perkawinan; Tidak hilang hak suami untuk menahan istri disebabkan kesibukan istri yang dibolehkan agama.
Maliki membedakan syarat wajib nafkah istri setelah dan belum disenggamai. Syarat nafkah sebelum disenggamai adalah : Mempunyai kemungkinan untuk disenggamai. Apabila suami mengajak istrinya melakukan hubungan suami isteri namun istri menolak, makA
a. istri tidak layak untuk menerima nafkah.
b. Istri layak untuk disenggamai. Apabila istri belum layak disenggamai seperti masih kecil maka ia berhak menerima nafkah.
c. Suami itu seorang laki-laki yang telah baligh. Jika suami belum baligh sehinggga belum mampu melakukan hubungan suami istri secara sempurna maka ia tidak wajib membayar nafkah.
d. Salah seorang suami atau istri tidak dalam keadaan sakratul maut ketika akan diajak bersenggama.
Selanjutnya syarat wajib nafkah bagi istri yang telah disenggamai adalah pertama : Suami itu mampu. Apabila suami tidak mampu maka selama ia tidak mampu maka ia tidak wajib membayar nafkah istrinya. Kedua : Istri tidak menghilangkan hak suami untuk menahan istri dengan alasan kesibukan istri yang dibolehkan agama.
F. Gugurnya Hak Nafkah
Konsekuensi akad perkawinan yang sah suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Hak mendapatkan nafkah isteri hanya didapat apabila syarat-syarat untuk mendapatkan hak seperti diuraikan diatas telah terpenuhi, serta isteri terhindar dari hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah tersebut.Berkaitan dengan gugurnya hak nafkah berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah isteri. Adapun penyebab gugur hak nafkah tersebut adalah sebagai berikut :
a. Nusyuz
Kata nusyuz merupakan bentuk jamak ( plural ) dari nusyz yang secara etimologi berarti dataran tanah yang lebih tinggi atau tanah bukit, sesuai dengan pengertian ini, maka wanita yang nusyuz menurut pengertian bahasa berarti wanita yang merasa lebih tinggi dari suaminya, sehingga tidak mau terikat dengan kewajiban patuh terhadap suami. Dari pengertian ini pula selanjutnya dipahami pengertian nusyuz secara umum yaitu sikap angkuh, tidak patuh seseorang dengan tidak bersedia menunjukkan loyalitas kepada pihak yang wajib dipatuhinya Kata nusyuz secara resmi telah dipakai dalam tata bahasa Indonesia yang secara terminologi berarti : perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suaminya (tanpa alasan) yang dibenarkan hukum (Islam).
b. Wafat salah seorang suami istri
Nafkah isteri gugur sejak terjadi kematian suami, kalau suami meninggal sebelum memberikan nafkah maka istri tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya. Dan jika istri yang meninggal dunia terlebih dahulu, maka ahli warisnya tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya
c. Murtad
Apabila seorang istri murtad maka gugur hak nafkahnya karena dengan keluarnya istri dari Islam mengakibatkan terhalangnya suami melakukan senggama dengan istri tersebut. Jika suami yang murtad, maka hak nafkah istri tidak gugur karena halangan hukum untuk melakukan persenggamaan timbul dari pihak suami padahal kalau ia mau menghilangkan halangan hukum tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa melakukannya.
d. Talak
Berkaitan dengan talak, para ulama sepakat bahwa hak nafkah bagi isteri hanyalah selama isteri masih dalam masa iddah. Adapun setelah habis masa iddah tidak satu pun dalil yang mengungkapkan bahwa suami masih tetap berkewajiban memberi nafkah bekas istrinya. Hal ini bisa dipahami kenapa setelah habisnya masa iddah isteri tidak berhak lagi untuk menerima nafkah dari suami.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik dan halal. Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam Al-Qur’an salah satunya Surat Ath-Thalaq ayat 6-7; Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah dan dibukukan di Shahih Muslim ; kesepakatan para imam madzhab dalam kitab Rahmatul Ummah Fikhtilafil A’immah Juz II halaman 91 dan dalam kitab Mizanul Kubra Juz II halaman 138; maupun UU yang ada di Indonesia yaitu Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 Bab VI mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri Pasal 34 ayat 1 sampai 3.Macam-macam nafkah dibedakan berdasarkan bentuk dan objeknya. Kadar dari nafkah yang diberikan adalah cukup yaitu sesuai kemampuan suami, tidak berlebihan dan tiadak kikir.
Terjadinya perbedaan pendapat ulama dalam hal kapankah seorang istri berhak atas nafkah dari suaminya dikarenakan ayat dan hadis tidak menjelaskan secara khusus syarat-syarat wajib nafkah istri. Oleh karena itu tidak ada ketentuan secara khusus dari nabi SAW mengenai hal tersebut sehingga di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan syarat-syarat wajibnya seseorang istri mendapatkan nafkah.Hal-hal yang bisa menggugurkan hak nafkah antara lain: Nusyuz, Salah satu dari suami atau istri wafat, Murtad dan Talak.
DAFTAR PUSTAKA
- Al- Munjid fi Al – Lughat wa Al-i`lam , (Beirut:al-Maktabah al – Syirkiyah , 1986)
- Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al Munawwir, (Yogyakarta:Pondok Pesantren al – Munawwir, 1984)
- RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya ,
- Hakim, Rahmat. Hukum Pernikahan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Demikianlah Artikel Makalah Fiqih Nafkah
Sekianlah artikel Makalah Fiqih Nafkah kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Makalah Fiqih Nafkah dengan alamat link http://kumpulanmakalahlengakap.blogspot.com/2015/01/makalah-fiqih-nafkah.html
Makalah Fiqih Nafkah