, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul makalah tasyri', kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Tasyri’ pada Masa Awal Abad ke dua sampai Pertengahan Abad ke Empat serta Faktor yang Mendorong Perkembangan
1. Faktor Pendorong perkembangan
Tarikh tasyri Islam seperti dikemukakan Ali Al-Ayafi’I adalah ilmu yang membahas keadaan hukum-hukum pada masa nabi dan sesudahnya termasuk penjelasan dan periodesasinya. Yang pada perkembangannya hukum itu menjelaskan karakteristiknya.
Menurut batasan diatas tampak bahwa tarikh tasyri Islam merupakan pembahasan tentang segala aktifitas manusia dalam pembentukan perundang-undangan Islam dimasa lampau, baik masa nabi, sahabat maupun tabi’in.
Sejak masa khulafaur rasyidin berakhir, fase selanjutnya dikenal dengan tabi’in atau sahabat yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayah. Pemerintahan Bani Umayah menggunakan sistem monarki yang menggantikan sistem pemerintahan sebelumnya, yang bersifat kekholifahan.
Umat Islam pada saat itu terpecah menjadi tiga kelompok; khowarij sebagai penentang Ali, syi’ah sebagai pendukung ali, dan kelompok mayoritas (jumhur). Munculnya keompok-kelompok itu berpengaruh besar dalam mewarnai proses perkembangan hukum Islam.
Salah satu langkah awal yang dilakukan Mu’awiyah dalam menjalankan pemerintahannya, yaitu melalakukan ekspansi ke Negara barat sehingga dapat menguasai beberapa wilayah dibagian barat.
Pada masa Abu Bakar dan Ustman sahabat dilarang keluar dari madinah, agar tidak menyebarkan hadits secara sembarangan dan dapat bermusyawarah bersama dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang penting.
2. Sumber-Sumber Hukum Islam Pada Zaman Tabi’in
Pada zaman nabi dan kholifah, berjalannya hukum Islam senantiasa sejalan dengan kebijaksanaan para pemegang kekuasaan pemerintahan karena kekuasaan kehakiman dipegang dan dijalankan langsung oleh pemimpin Negara. Akan tetapi setelah kepemimpinan berpindah ketangan Bani Umayah.
Perkembangan hukum Islam menunjukan arah yang berlainan. Hukum yang seharusnya berfungsi sebbagai sandaran tempat kembali bagi pihak-pihak yang berselisih, sejak zaman muawiyah berubah sifatnya menjadi alat dan pelindung bagi kepentingan-kepentingan golongan yang sedang barkuasa.
Karena pada tahun-tahun permulaan, perhatian pemerintah tercurahkan untuk menghadapi peperangan dengan Negara-negara lain, maka perkembangan hokum Islam banyak sekali mendapat pengaruh dari keputusan-keputusan para qodhi yang diangkat Gubernur dan fatwa-fatwa para ahli hukum diluar pemerintahan yang dianggap mampu dan berpengetahuan luar tentang Al-Qur’an dan Al-sunnah.
Secara umum tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan hukum yang dilakukan oleh sahabat dalam mengeluarkan hukum. Langkah-langkah yang mereka lakukan diantaranya mencari ketentuan dalam Al-Qur’an. Apabila ketentuan itu tidak ada, mereka mencari dalam As-Sunnah. Apabila tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat. Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan demikian sumber hukum pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijmak sahabat, dan ijtihad.
3. Pengaruh Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu Terhadap Hukum Islam
Pada masa tabi’in ini para ulama’ dibedakan menjadi dua aliran yaitu Al-Hadits (madrasah al-madinah), al-hadits ra’yu (madrasah al-kufah). Al-hadits adalah golongan yang banyak menggunakan riwayat dan sangat berhati-hati dalam penggunaan ra’yu. Imam malik brpendapat bahwa, ijma’ penduduk madinah merupakan hujjah yang wajib diikuti. Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini terpecah, seperti aliran maikiyah, syafi’iyah, hanbaliyah, dan hanafiyah.
Adapun ahli ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu ditambah hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum ini semakin mempercepat perkembangan ikhtilaf. Dan pada saat yang sama, semakin memotifasi perkembangan hukum Islam.
Kedua aliran tersebut, masing-masing memiliki pendapat dan pengikut sendiri. Disisi lain munculnya dua aliran pemikiran hukum ini merupakan bukti bahwa dalam Islam terdapat kebebasan berfikir dan masing-masing saling menghargai perbedaan pendapat diantara mereka.
B. Penyusunan Sunah dan Pengaruhnya atas Perkembangan Tasyri’
1. Penyusunan Sunnah
Yang dimaksut dengan menyusun As Sunnah adalah mengumpulkan As Sunnah yang sejenis dalam satu judul, sebagiannya dikumpulkan dengan sebagian yang lain, seperti hadis tentang shalat, puasa dan lain sebagainya. Pemikiran ini timbul diseluruh Negara-negara islam dalam waktu yang berdekatan sehinggga tidak diketahui orang yang memperoleh keutamaan dikarenakan lebih dahulu dalam penyusunan itu.
Termasuk orang yang membukukan pada tahap pertama dalam periode ini adalah Imam Malik bin Anas di Madinah, Abdul Malik bin Abdul Azis bi juraij di Makkah, sufyan bin Tsauri di Kufah, Hamad bin Salmah dan Sa’id bin Arubah di Bashrah., Hasyim bin Basyir di Wasith, Abdurrahman Al Auza’I di syam, Ma’mar bin Rasyid di Yaman, Abdullah bin Mubarak di Khurasan, dan Jarir bin Abdul Hamid di Ray. Hal ini terjadi pada tahun 140 H lebih sdikit. Pada kitab-kitab itu hadis masih bercampur dengan kata-kata shahabat dan tabi’in sebagaiman kita lihat dalam kitab Al Muwatha’ susunan Imam Malik rahimahullah.
Pada tahap kedua hadis Rasulullah mulai dipisahkan dari kata-kata orang lain, yaitu pada permulaan tahun 200H. Mereka mengarang kitab yang dikenal dengan musnad, seperti musnad Abdullah bin Musa Al- Kufi, Musnad musaddad bin Masrahad Al Bashri, Musnad Asad bin Musa Al Mishri, Musnad Na’im bin hamad Al Kaza’I, Musnad Ishak bin Rahawaih. Musnad Usman bin Abi Saibah dan Musnad Ahmad bin Hambal. Mereka meletakkan hadist pad musnad-musnad perawinya. Mereka sebut Musnad Abu BAkar, Suatu buku yang didalamnya berisikan Hadist yang diriwayatkan dari padanya. Sesudah itu mereka menyebutkan sahabat satu persatu menurut cara ini.
Sesudah tahapan ini datang tahapan lain yang dihadapannnya terlihat perbendaharaan besar makanya terbuka pintu pemilihan Hadist.
Tahap ini, dua imam besar tokoh As Sunnah yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari Al Ja’fi yang meninggal pada tahun 256 H, dan Muslim bin Hajjaj An- Naisaburi yang meninggal pada 261 H, menyusun dua kitab Shahihnya, setelah cermat dalam meriwayatkan dan memilihnya. Dua kitab Shahih itu adalah puncak pembukuan hadits. Jalan dua tokoh itu ditempuh juga Abu Dawud Sulaiman bin Al A’yasy As Sijistani yang meninggal tahun 279 H, Abu Isa Muhammad bin Isa Al Salmi At turmudzi yang meninggal pada tahun 279 H, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al Qazwini yang terkenal dengan ibnu Majah yang meninggal pad atahun 273 H, dan Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib An Nasa’I yang meninggal pada tahun 303 H. Kitab-kitab mereka menurut lisan ahli hadits terkenal dengan kutubus sittah (kitab hadits yang enam). Dikalanga kaum muslimin kitab itu memperoleh derajat yang tinggi karena para perawinya dpat dipercaya apalagi Bukhari dan Muslim. Bukan meereka saja orang-orang yang menyusun sunnah, namun banyak orang lain disamping mereka, hanya saja enam orang itulah yang memperoleh kemasyuran yang tidak diperoleh oleh selain mereka .
Diantara tokoh-tokoh pada periode ini ada yang membahas tentang keadaan perawi hadits dari tabi’in dan orang-orang sesudah mereka. Masing-masing perawi disifati dengan sifat yang ada pada diri mereka yakni kuat ingatan, kerapian dan keadilannya, atau sifat-sifat kebalikannya. Para pembahas itu dikenal sebagai tokoh-tokoh Al-jarh wat ta’dil (mencacatkan dan mengadilakn perawi). Siapa yang dianggap cacat maka hadistnya ditinggalkan.
Persoalan As Sunnah berakhir pada pertengahan periode keempat dan As Sunnah sudah berdiri menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan tokoh-tokoh khusus yang membahasnya.
2. Pengaruh Sunnah Terhadap Tasyri’
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sunnah merupakan sumber islam kedua bagi ilmu fiqh dan syariat setelah Al-qur’an. Oleh karena itu, memandang sunnah sebagai sumber dalil bagi hukum-hukum syariat merupakan suatu pembahasan yang baik dan menciptakan wawasan luas yang mewarnai semua kitab ushul fikih dan semua mazhab fiqih.
Dalam hal ini, Imam Auza’I wafat pada 157 H, mengatakan bahwa Al;qur’an lebih membutuhkan sunnah dari pada sunnah terhadap Al-qur’an. Hal itu karena sunnah berfungsi menjelaskan makna dan merinci keutamaan Al-qur’an. Berdasarkan kenyataan ini, sebagian ulama mengatakan bahwa sunnahlah yang memegang keputusan terhadap Al Kitab. Dengan kata lain fungsi sunnah adalah menjelaskan makna yang dimaksut Al-qur’an.
Akan tetapi Imam Ahmad masih kurang puas dengan ungkapan ini, tapi tidak berani mengatakan demikian dan hanya mengatakan bahwa sunnah itu menjelaskan makna Al-qur’an. Pendapat ini cukup adil, yaitu memandang sunnah sebagai penjelas Al-qur’an dan disisi lain subjek yang dikemukakan sunnah meliputi Al-qur’an dan tidak pernah keluar atau menyimpang darinya.
Status sunnah sebagai sumber hokum bagi pen-tasyri’-an (perintah) dalam masalah ibadah dan muamalah, individu, keluarga, mayarakat dan Negara tidak diperselisihkan lagi. Imam Syaukani mengatakan bahwa ketetapan status sunnah hujjah dan kemandiriannya dalam merealisasikan hokum syariat dan sunnah sebagai keharusan agama, tidak ditentang oleh seorangpun, selain oleh orang yang mempunyai pemahaman dangkal terhadap agama islam.
Seseorang yang membaca kitab fikih islam dan mazhab apapun, akan banyak menemukan dalil sunnah, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan. Dalam hal ini orang-orang atau kalangan yang dikenal dalam tarikh fikih dengan sebutan golongan ahli hadis dan yang dikenal dengan sebutan ahli ra’yu sama saja. Prinsip pokoknya dapat diterima oleh kedua kalangan tersebut.. perbedaan pendapat hanya ada dalam perincian dan penerapannya sebagai konsekuensi perbedaan mereka dalam mensyaratkan hadis yang dapat diterima dan pengamalannya. Dengan demikian, orang yang membaca kitab mazhab Hanafi (aliran nasionalis) akan menemukan banyak hadis yang dijadikan sandaran hokum oleh guru-guru mereka.
Sebagian orang yang fanatic dan tidak objektif mengatakan bahwa di antara mereka ada orang yang wawasannya kurang dalam meriwayatkan hadist karena kurangnya perhatian terhadap bidang ini. Padahal tuduhan itu tidak pantas dilancarkan terhadap imam besar karena sesungguhnya syariat islam hanya dapat disimpulkan dari Al-quran dan sunnah. Orang yang sedikit memiliki perbendaharaan hadist, diharuskan menuntut dan meriwayatkannya, serta bersungguh-sungguh menekuni bidang ini supaya dia dapat menyimpulkan hukum-hukum agama dari sumber-sumber yang benar dan menerimanya dari Nabi yang ditugaskan oleh Allah untuk menyampaikannya.
Agar sunnah dapat dijadikan rujukan dalam hokum tasyri’, terlebih lagi kita harus menelitinya dengan pembuktian yang sumber-sumbernya dari Nabi. Kriteria ini menurut peristilahan ilmu mushthalah hadis-agar hadis dapat dijadikan dalil_ hendaklah hadist itu berpredikat shahih atau hasan. Predikat shahih menurut yudisium yang diberikan oleh universitas, berarti istimewa dan baik sekali, sedangkan predikat hasan berartti baik atau sedang. Oleh karena itu dpat dikatakan bahwa predikat hasan yang tinggi lebih mendekati predikat shahih, sebagaimana predikat hasan yang rendah, lebih dekat dengan criteria dhaif .
Kita dapat menyimpulkan dengan pasti bahwa semua ahli fikih kaum mislimin dari berbagai aliran dan mazhabnya dikota-kota besar, baik dari kalangan yang mazhabnya masih ada maupun yang sudah pudar, baik dari kalangan orang-orang yang diikuti maupun bukan, berpendapat bahwa sunnah merupakan pegangan dan sumber hokum mereka dalam menetapkan hokum-hukum fikih, yaitu apabila dalam sunnah tersebut terdapat suatu penjelasan yang menerangkan hokum agama Allah. Mereka sama sekali tidak mau menentang perintah yng diisyaratkan oleh sunnah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat antara orang yang berasal dari alira ra’yu ataupun aliran hadist.
C. Munazarah Ulama tentang Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Ijtihad dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Tasyri’
1. Munazarah Ulama tentang Sunah, Ijma’, Qiyas dan Ijtihad
a. As Sunnah atau Al-Hadits
Ø Definisi As Sunnah
Al Imam Abu Zahro’, mendifinisikan As Sunnah adalah
Sunnah Nai adalah sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau dan taqrir beliau
Ø Pembagian Sunnah Dilihat dari bentuknya
a. Sunnah Qouliyah
b. Sunnah fi’liyah
c. Sunnah Taqririyah
d. Sunnah Hammiyah
Ø Pembagian As Sunnah dari Bilangan Ruwahya
a. As Sunnah / Al Hadits Mutawatir
b. Hadits Masyhur
c. Hadits Ahad
Ø Pembagian As Sunnah ditinjau dari Shoheh Tidaknya
a. Hadits Shoheh
b. Hadits hasan
c. Hadits dlo’if
d. Hadits Maudlu’ (palsu)
Ø Dalalah dari Al Hadits
Jumhur ulama’ sepakat bahwa status dalil hadits Mutawatir adalah qoth’i (menyakinkan) sedangkan hadits ahad adalah dhonni (disangka kuat kebenarannya), sehingga hanya hadits mutawatir yang dapat dipegangi sebagai dalil/hujjah masalah aqoid, sedangkan hadits ahad hanya dapat sebagai hujjah masalah amalan-amalan.
Ø Status hukum sunnah / hadits
Para ulama’ sepakat bahwa sunnah / hadits adalah merupakan sumber hukum syar’i yang kedua sesudah Al Qur’anul Karim.
Ø Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an
Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an itu sebagai uruta yang mengiringi atau sebagai urutan kedua sesudah Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi hukum yang ada, maka tidak lebih dari tiga masalah ini:
§ As Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada didalam Al-Qur’an.
§ As Sunnah sebagai penjelas atau penafsir dari ketentuan hukum yang ada dalam Al Qur’an, dalam hal ini As Sunnah menjelaskan tentang Mujmalnya Al Qur’an, Mutlaqnya Al Qur’an.
§ As Sunnah membentuk dan menetapkan hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam Al Qur’an, misalnya perihal tata cara makan, pesta dan lain sebagainya.
b. Al-Ijma’
Ø Definisi / ta’arif Ijma’
Yang dimaksud dengan ijma’ adalah
Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad) dari ummat Muhammad SAW setelah wafat beliau dalam suatu waktu dari beberapa waktu dan atas sesuatu perkata / masalah dari beberapa masalah.
Ø Kehujjahan Ijma’
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kehujjahan ijma’ adalah dhonni, bukan qoth’i. Oleh karena itu ijma’ hanya dapat dipergunakan sebagai peganan dalam bidang amal dan tidak bisa dipakai sebagai pegangan dalam bidang aqidah (I’tiqod), sebab urusan aqidah harus berdasarkan dalil yang qoth’i.
Ø Sandaran Ijma’
Ijma’ dipandang sah manakala bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah:
Ø Pembagian Ijma’
Dilihat dari caranya maka ijma’ itu dibagi dua yakni ijma’ qouli dan sukuti.
c. Al Qiyas
Ø Definisi Qiyas
Qiyas itu adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada ketentuan hukumnya oleh Nash (Al Quran dan As Sunnah) disebabkan adanya persamaan illat antara keduanya.
Ø Rukun Qiyas
Rukun qiyas ada empat yaitu:
§ Pokok لاصل yakni yang menjadi ukuran (المقيس عليه) disebut juga dengan tempat menserupakan (المشبه به)
§ Cabang / الفرع yakni hal yang diukurkan (المقيس) atau hal yang diserupakan (لمشلبه)
§ Sebab / العلة yakni sesuatu sebab yang menghubungkan antara pokok dan cabang.
§ Hukum / لحكم yakni hukum cabang yang dihasilkan dari pengqiyasan tersebut.
Ø Macam-macam Qiyas
Macam-macam qiyas itu antara lain:
a. Qiyas Aula (الاء ولى)
b. Qiyas Musawi (المساوي)
c. Qiyas Dalalah (الدلا لة)
d. Qiyas syibih (الشبة)
e. Qiyas Adwan (الآدوان)
Ø Kehujjahan Qiyas
Yang dikehendaki dengan ijtihad menurut pandangan golongan ini adalah dengan kemampuan daya fikiran dan kemampuan lainnya menetapkan hukum dengan tetap melihat ketentuan yang telah ada pada nash yakni dengan cara mengqiyas.
d. Ijtihad
Ø Pengertiannya
Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluuh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dali nash (Al-Qur’an dan Al Hadits).
Mujtahid adalah para ahli fikih yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh keanggupannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengistinbathkan hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Ø Hukumnya
Ada tiga criteria hukum berijtihad:
§ Wajib ‘ain, yakni apabila seseorang yang ditanya perihal hukum suatu peristiwa, sedangkan peristiwa itu akan hilang sebelum ditetapkan hukumnya.
§ Wajib kifayah, yakni bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa hukum, dan tidak dikhawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara disamping dirinya masih ada mujtahid lain yang lebih ahli.
§ Sunnat, yakni berijtihad terhadap sesuatu hukum yang belum terjadi baik ditanya ataupun tidak ada yang mempertanyakan.
Ø Syarat-syarat menjadi mujtahid
§ Mengetahui dengan mendalam nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah dan segala ilmu yang terkait dengannya.
§ Kalau ia memegangi ijma, maka ia harus tahu seluk beluk ijma’ dan apa-apa yang telah di ijma’kan.
§ Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqih karena ilmu ini merupakan dasar pokok didalam berijtihad.
§ Mengetuhi dengan mendalam masalah nasekh mansukh mana dalil yang sudah mansukh mana pula yang tidak mansukh.
§ Mengetahui dengan mendalam bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya, ilmu nahwu shorof, balaghoh, badi’ dan bayan serta mantiqnya.
Ø Pembagian ijtihad
Pada garis besarnya pelaksanaan ijtihad dibagi dua yakni
§ Ijtihad الفردية (fardiyah), yakni ijtihad yang dilakukan oleh orang-perorangan, tanpa melibatkan persetujuan atau pertimbangan mujtahid lain.
§ Ijtihad لجماعية (jam’iyah), yakni ijtihad dengan melibatkan fihak (mujtahid) lan untuk bermusawarah menetapkan hukum sesuatu persoalan.
Ø Keperluan terhadap ijtihad
Sejak Muadz bin Jabal diutus Rosul ke Yaman sampai sekarang ijtihad itu senantiasa tetap diperlukan, karena banyaknya kasus yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh Al Quran dan As Sunnah. apabila zaman sekarang ini, dimana agama Islam telah berkembang dan bertemu dengan budaya dan alam lain dari tempat kelahirannya, maka persoalan yang muncul tentu lebih banyak lagi, apalagi saat ini perkembangan ilmu dan tehnologi dengan pesat sekali. Maka persoalan-persoalan yang muncul itu harus ada kejelasan status hukumnya.
2. Pengaruh Sunnah Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad terhadap Perkembangan Tasyri’
Seiring dengan lajunya prkembangan Islam ke berbagai penjuru, maka muncullah persoalan-persoalan baru yang saat itu terjadi pada masa Rasulullah, padahal al-Qur’an sendiri hanya memuat sebagian hukum terinci, sementara sunnah hanya sebatas pada persoalan-persoalan yang berkembang pada masa Rasulullah. Maka dari itu dalam menyelesaikan persoalan baru dibutuhkanlah konsep “ijtihad”. Hingga pada akhirnya konsep "ijtihad" yang awal mulanya muncul sekitar pada abad keempat Hijriyah, muncul produk pemikiran yang baru.
1. Periode fiqh di Era Kenabian
Nabi melakukan ijtihad apabila terhadap suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya. Dan lamanya Nabi menunggu datangnya wahyu merupakan justifikasi dari al-Qur`an. Kemudian dengan ijtihadnya para sahabat ? sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi, Nabi membolehkan para sahabatnya untuk juga melakukan ijtihadnya
2. Periode fiqh di era Khulafaurrosyidun
Di dalam penetapan suatu hukum para khulafaurrosyidun tetap berpegang dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Tetapi adakalanya dengan menggunakan kesepakatan bersama yang disebut dengan Ijma` dan Qiyas.
Sebagai pengganti Nabi dalam mengambil sumber hukum untuk menentukan suatu perkara, mengambil dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijtihad "ra`yu" baik kolektif (hasil musyawarah dari sahabat disebut dengan ijmak.), kemudian ijtihad individu
3. Periode fiqh di era Sahabat dan Tabi’in
Di era ini perkembangan fiqh membingungkan banyak pengamat. Karena akibat dari warisan pergolakan antara `Ustman dan Ali. Hingga sampai pada pemerintahan daulah Umayyah. Hingga sampai melahirkan agitas teologi yang cukup tajam. Sehingga banyak pengamat sejarah yang mengatakan bahwa dalam periode ini perkembangan fiqh tenggelam di bawah perpecahan antara kesatuan agama dan negara.
Bahwa pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas teologi, ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh berikutnya yaitu era kodifikasi yang munculnya Imam-imam mazhab. Pada pembahasan "fiqh dalam era keemasan". Sehingga fiqh dari masa kemasa mempunyai kesinambungan antara yang satu dengan yang lain. Periode ini dalam perkembangan fiqhnya bermula ketika pemerintahan Islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abu Sofyan tahun 41 H hingga awal abad kedua Hijrah.
4. Periode fiqh di era zaman keemasan
Masa ini sangat terkenal dengan perkembangan kebudayaan perluasan perdagangan dari semua cabang ilmu ekonomi serta kemajuan dalam ilmu pengetahuan. kira-kira pada abad ke delapan adalah banyak ilmu pengetahuan yang berbahasa ajam kedalam bahasa arab, terutama dari bahasa Parsi dan bahasa Yunani. Ilmu-ilmu fiqh berkembang sangat pesat yaitu banyaknya tafsir-tafsir al-Qur`an dan kumpulan-kumpulan hadis. Hingga yang paling menonjol dalam periode ini adalah lahirnya beberapa fuqaha sunni yang terbagi ke dalam dua golongan yaitu fuqaha sunni ahli ra`yi di Irak dengan pelopor Imam Abu Hanifah, dan golongan yang kedua fuqaha sunni hadis di Hijaz yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas.
5. Periode fiqh diera stabnasi dan jumud
Pada pertengahan abad IV Bani Abasiyah mulai terdapat tanda-tanda kejatuhannya, karena disebabkan banyak daerah-daerah dominannya melepaskan diri dari khalifah Abbasiyah dengan mendirikan negara sendiri. Akibatnya kekuasaan menjadi lemah dan mundur. Dengan demikian yang dahulu pemerintahan selalu dipegang oleh seorang muslim, akhirnya berpindah tangan kepada orang yang tak mengenal TuhþKan, bengis, kejam, yaitu Jenghis Khan serta anak keturunannya. Hal ini pergolakan politik semacam ini sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan dalam dunia Islam mengalami kemunduran. Dari situasi politik yang kacau pada waktu itu, menyebabkan kemunduran dalam hal ilmu pengetahuan. Hingga akhirnya munculah faham taqlid, Yaitu menerima pendapat secara mutlak dari seorang imam (mazhab) yang tertentu untuk mengikuti fatwa-fatwa hukumnya. akhirnya fuqaha SunnþÃmenutup pintu ijtihad, sehingga berkembang bid`ah, kurafat kejumudan berpikir
6. Periode fiqh di era kebangkitan kembali
Kita dapat melihat dalam era kebangkitan fiqh ini dapat kita lihat sekurang-kurangnya terdapat empat pola utama yang menonjol. Pertama, modernisme, dalam pola ini digandrungi oleh banyak ulama yang terdidik dalam alam sekuler. Kedua, Survivalisme, agaknya berbeda dengan pola pertama. Dalam pola kedua ini bercita-cita ingin membangun pemikiran fiqh dengan berpijak kepada mazhab-mazhab fiqh yang sudah ada. Dengan menggali permasalahan yang didasarkan pada pemikiran mazhab tersebut tanpa memandang kepedulian sosial. Ketiga, tradisional, pola ini keþÃnderungan dengan aliran salafiyah, yang lebih menekankan pada kembalinya kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dengan mendakwahkan keharusan mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi`ien) dengan karakteristiknya adalah benar-benar memegang sunnah Nabi yang sekiranya tidak keluar dalam nash al-Qur`an. Keempat, neo survivalisme, dalam perkembangan terakhir ini, banyak di kalangan ulama dan fuqaha merespon perkembangan yang baru. Dengan memfokuskan terhadap kepedulian sosial
D. Munculnya Istilah-Istilah Fiqhiyah dan Tokoh-Tokoh Mujtahid serta Pengaruhnya dalam Tasyr’
1. Timbulnya Istilah-Istilah Fiqh
Al-Qur'an menuntut tuntutan yang dikehendaki dengan gaya bahasa yang telah kami terangkan pada periode pertama. Gaya bahasanya tidak mempunyai kelebihan atas yang lain dalam kekuatan menuntutnya, seluruhnya sama. Demikian juga as-Sunnah dalam menuntut tuntutan yang dikehendakinya. Ketika tuntutan-tuntutan itu berbeda-beda di hadapan pandangan para fuqaha maka mereka membutuhkan untuk memilih nama-nama yang menunjukkan yaitu: fardhu, wajib, sunnah, mandub dan mustahab.
Fardhu dan wajib adalah dua buah nama bagi sesuatu yang dituntut dengan tuntutan pasti. Hanya saja menurut golongan Hanafiyah sesuatu yang tuntutannya itu tetap dengan dalil yang qath’i baik sampainya maupun dilalahnya seperti ayat-ayat al-Qur'an dan as-Sunnah yang qath’i shaihnya karena mutawatir atau tersohor apabila dia itu nash, dan wajib adalah sesuatu yang tuntutannya itu tetap dengan dalil yang zhanni baik sampainya maupun dilalahnya atau kedua-duanya bersama-sama.
Adapun menurut pendapat yang lain tidak ada perbedaan antara fardhu dan wajib bahkan seluruh hal yang dituntut dengan dalil pasti (qath’i) maupun zhanni (singkatan). Tetapi mereka membedakan antara fardhu dan wajib yang dituntut dimana mereka mengatakan bahwa sesuatu yang dituntut oleh syara’ dan tidak ada penggantinya maka dia fardhu seperti wuquf di Arafah dam ifadhah. Sesuatu yang dituntut dan meningalkannya diganti dengan dam, itu namanya wajib seperti ihram, dan di kalangan mereka fardhu itu dikenal dengan fardhu kifayah yaitu setiap pekerjaan yang dituntut oleh syara’ tanpa merujuk kepada pelakunya, manakala seorang mukalaf telah mengerjakannya maka dosanya gugur dari seluruh orang, dan manakala mereka meninggalkannya semua, maka mereka berdosa.
Sunnah menurut istilah Hanafiyah adalah sesuatu yang terus dilakukan oleh Rasulullah saw. Namun kadang-kadang beliau meninggalkannya tanpa udzur. Mandub dan mustahab adalah sesuatu yang beliau tidak terus menerus mengerjakannya meskipun beliau tidak mengerjakannya sesudah menggemarkannya pada pada orang lain. Dalam istilah lain, sunnah, mandup dan mustahab adalah satu pengertian yaitu sesuatu yang dituntut dengan tuntutan yang tidak pasti, hanya mereka katakana sunnah muakkadah bagi sesuatu yang oleh hanafiyah disebut sunnah, dan sunnah ghairu muakkadah bagi sesuatu yang mereka namakan mandub dan mustahab.
Mereka istilahkan atas sesuatu yang dituntut oleh syara’ untuk mencegahnya dengan haram dan makruh. Haram menurut Hanafiyah akebalikan fardhu, makruh tahrim adalah kebalikan wajib, dan makruh tanzih adalah kebalikan sunnah. Menurut selain mereka (Hanafiyah) haram itu kebalikan fardhu dan wajib, karena fardhu dan wajib adalah dua persamaan kata (sinonim). Makruh tahrim atau makruh syaidah adalah sesuatu yang berlawanan dengan sunnah ghairu muakkadah.
2. Tokoh-Tokoh Mujtahid
Disebutnya salah seorang fuqaha periode-periode yang lampau hanyalah karena sekedar dinukilnya pendapat-pendapat mereka di tengah kitab-kitab perbedaan pendapat fuqaha sahabat dan tabi’in yang memiliki peninggalan-peninggalan besar dalam membina hukum Islam karena mereka adalah orang salaf yang shahuh, mereka adalah pelita bagi orang yang hidup sesudah mereka. Dalam pada itu sesungguhnya nama-nama mereka terlipat dalam salah seorang dari mereka tidak terhitung sebagai ikutan, sedikit jumhur atas pengaruhnya dan diikuti dalam kumpulan pendapat-pendapatnya. Dalam periode ini muncullah para mujtahid yang oleh jumhur dianggap sebagai imam-imam yang mengatur langkah-langkah mereka dan beramal dengan menerapkan pendapat-pendapat mereka sehingga dijadikannya menduduki nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah yang tidak boleh dilampauinya.
a. Imam Pertama Abu Hanifah
Abu Hanifah adalah salah seorang yang arif (mengetahui) tentang hadits dan fiqih penduduk Kufah, dan ia sangat mengikuti kepada sesuatu yang dijalankan oleh manusia di negerinya. Pada masanya di Kufah ada tiga ulama besar yaitu:
Ø Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri, termasuk imam ahli hadits.
Ø Syarik bin Abdullah An Nakha’i
Ø Muhammad bin Abdur Rahman bin Abi Laila
b. Imam Kedua Malik
Dia adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir. Nasabnya berakhir sampai Dzu Ashbah dari Yaman. Salah seorang kakeknya datang ke Madinah dan menetap di sana. Neneknya Abu Amir termasuk sahabat Rasulullah saw. yang ikut berperang bersama beliau pada seluruh perang kecuali perang Badar. Ia (Imam Malik) dilahirkan di Madinah tahun 93 H.
Ia menuntut ilmu pada ulama Madinah. Orang pertama yang menjadi tempat belajar adalah Abdur Rahman bin Hurmuz. Ia tinggal bersama Abdur Rahman dalam waktu yang lama dan tidak bergaul dengan orang-orang lain. Ia belajar pada Nafi’ maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun guurnya dalam fiqh adalah Rabi’ah bin Abdur Rahman yang terkenal dengan Rabi’ah Ar Ra’yu. Ketika gurunya telah mengakui kepadanya dalam hadits dan fiqh ia duduk untuk meriwayatkan hadits dan berfatwa. Malik berkata: “Saya tidak duduk (untuk berfatwa=pen) sehingga tujuh puluh guru dari ahli ilmu telah mengakui bahwa saya berhak menempati kedudukan itu”.
Orang-orang sepakat bahwa dia adalah imam dalam hadits dan terpercata kebenaran riwayatnya. Guru-guru, teman-temannya dan orang-orang yang sesudahnya sepakat atas yang demikian itu sehingga sebagian dari mereka berkata “hadits yang paling shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, kemudian Malik dari Abu Zinad dari A’raj dari Abu Hurairah”.
Dari segi yang kedua ulama-ulama besar dari imam-imam madzabnya mengambil masalah-masalah dari padanya, dan penurutan mereka akan datang kemudian.
Dalam fatwanya, Malik rahimatulullah berpegang kepada:
Ø Kitabullah
Ø Sunnah Rasulullah saw. yang dianggap shahih. Dalam hal ini pegangannya adalah muhadits-muhadits besar dari ulama Hijaz dan ia memberikan perhatian yang besar atas sesuatu yang telah berlaku untuk diamalkan di Madinah, lebih-lebih amalan para imam dan kadangan-kadang ia menolah hadits karena tidak adanya pengalaman hadits itu.
Ø Kemudian ia berpegang kepada qiyas, apabila tidak ada kitab atau sunnah.
c. Imam Ketiga Asy Syafi’i
Dia adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ Asy Syafi’i Al Muththalibi dri Abdul Muththtalib yaitu ayah yang ke IV bagi Rasulullah saw., dan ayah yang ke IX bagi Asy Syafi’i. ibunya berbangsa Yaman dari Al Azdi dan ibunya termasuk wanita yang bernaluri paling cerdas.
Asy Syafi’i dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H suatu daerah di Asqalan. Ghuzzah itu bukan tanah air nenek moyangnya, namun ayahnya yang bernama Idris datang kesana karena suatu keperluan dan meninggal di sana. Asy Syafi’i berumur dua tahun, ia dibawa oleh ibunya pulang ke tanah air nenek moyangnya yaitu Makkah. Di sanalah ia besar sebagai anak yatim dalam asuhan ibunya. Ia hafal al-Qur'an di kala masih kanak-kanak.
Ia terus menetap disana sampai wafatnya pada tahun 204 H. dan dimakamkan di perkurburan Bani Abdul Hakim. Orang-orang Mesir memuliakannya baik dikala hidupnya maupun sesudah wafatnya. Ia dianggap orang yang berkebangsaan Mesir dimana dulunya berkebangsaan Hijaz. Asy Syafi’i adalah seorang imam yang menyiarkan madzabnya sendiri dengan melakukan perjalanan-perjalanan dan dialah orang yang menulis sendiri kitab-kitabnya serta mendiktekan kepada murid-muridnya. Hal ini tidak dikenal pada imam-imam besar lain.
Asas madzab Asy Syafi’i tertulis dalam Risalah ushul-nya yakni ia berhujjah dengan zhahir-zhahir al-Qur'an sehingga ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksudkannya bukan zhahir-zhahirnya. Setelah itu berasaskan as-Sunnah, dan ia telah mempertahankan dengan sekaut-kuatnya untuk mengalamkan hadits ahad selama perawinya itu bersambung sampai kepada Rasulullah saw. Ia tidak mensyaratkannya, dan ia tidak mensyaratkan kemasyhuran hadits sebagaimana penduduk Irak mensyaratkannya. Pembelaan itu memperoleh bagian yang besar di kalangan ahli hadits sehingga penduduk Baghdad menjulukinya sebagai penolong as Sunnah. Ia memandang as-Sunnah yang shahih sebagaimana memandang kepada al-Qur'an, dimana anda lihat masing-masing dari keduanya wajib diikutinya. Kemudian ia mengamalkan ijma. Pengertian ijma’ menurut Asy Syafi’i adalah tidak diketahui adanya perbedaan pendapat, karena mengetahui dengan sepakat menurut pandangannya tidaklah mungkin, sebagaimana kami kemukakan. Apabila di sana tidak ada dalil yang dinash-kan maka ia menuju kepada qiyas dan mengamalkannya dengan sarat hal itu mempunyai pokok yang tertentu. Dengan kerasnya ia menolak apa yang oleh orang-orang disebut dengan istihsan, dan apa yang oleh orang-orang Maliki disebut istishlah, tetapi ia mengamalkan sesuatu yang mendekatinya yaitu istid-lal. Dengan menghimpun fiqih orang-orang Hijaz, fiqih orang-orang Irak, dan kefasihan orang-orang Badui maka Asy Syafi’i punya jalinan yang tersendiri dalam berdiskusi dan kebaikan tulisannya yang tingkatan tulisannya tidak aklah dengan tulisan penulis yang paling petah pada waktu itu seperti Al Jahizh dan orang-orang yang semisalnya.
d. Imam yang Keempat Ahmad bin Hambal
Dia adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal Adz Dzahili Asy Syaibani Al Maruzi Al Baghdadi, dilahirkan pada tahun 164 H. ia mendengar pembesar-pembesar hadits dari Hasyim, Sufyan bin Uyainah dan orang-orang lain yang setingkat.
Ia belajar fiqih pada Asy Syafi’i ketikat ia datang di Baghdad, dan dia adalah muridnya yang tersohor dari orang-orang Baghdad, kemudian ia ijtihad untuk diirnya sendiri. Ia termasuk mujtahid ahli hadits yang mengamalkan hadits ahad tanpa syarat selama sanadnya shahih seperti jalan Asy Syafi’i dan ia mendahulukan pendapat-pendapat sahabat dari pada qiyas.
3. Pengaruh Fiqih Terhadap Perkembangan Tasyri’
Munculnya madzab-madzab fiqih pada periode ini merupakan puncak dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya madzab-madzab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.
Munculnya madzab dalam sh terlihat adanya pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzab-madzab fiqih pada periode ini. Seperti contoh hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalin ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggalkan mati oleh suaminya.
Adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong di antaranya:
- Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum Islampun menghadapi berbagai macam masalah yang berbeda-beda tradisinya.
- Munculnya ulama-ulama besar pendiri madzab-madzab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama Al-Madzab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
- Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madzab ketika menghadapi masalah hukum.
E. TumbuhnyaJiwa Taqlid, Timbulnya Mazhab dan Kegiatan Fuqaha dalam Periode Taqlid
Periode berlangsung dari abad 10 / 11 M sampai abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah Abbasiyyah. Periode ini disebut taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada seperti madzhab Hanbali.
1. Pengertian Taqlid
Taqlid menurut bahasa adalah mengikuti orang lain tanpa berpikir. Sedangkan taqlid secara syara’ adalah melaksanakan pendapat orang lain tanpa disertai hujjah yang kuat. Misalnya orang awam yang mengambil pendapat seorang mujtahid, atau seorang mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain.
2. Asal Usul Istilah
Periode ini disebut sebagai periode Taqlid karena para fuqoha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta madzhab lain yang sudah mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan ilmu-ilmu syar’i yang lainnya.
3. Sejarah Kemunculan Taqlid
Bagi orang yang mengamati perjalanan syariat islam pada fase ini, tentu akan mendapati bahwa jiwa kemandirian sebagian para fuqoha sudah mati dan beralih kepada taklid , tanpa ada semangat untuk mencari terobosan dan kreatifitas baru.
Mereka telah meletakkan diri pada ruang yang sempit ,yaitu ruang madzhab yang tidak boleh dilewati apalagi dilompati, sehingga mereka hanya ikut-ikutan( Taqlid) saja.
Walaupun fase ini penuh dengan semangat taqlid, namun sebenarnya masih ada beberapa ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan mengistinbatkan hukum seperti pendahulu mereka. Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu para ulama mazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan ke-wara’ an mereka sehingga lebih memilih berputar diatas bahtera fiqih yang sudah ada. Diantara ulama-ulama tersebut adalah Abu Al Hasan Al Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Rusyd Al Qurthubi dari mazhab Maliki, Al Juwaini Imam Al Haramain dan Al Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’i.
Dari penjelasan diatas, dapat kita ketahui bahwa ada sebagian fuqoha yang memiliki kapasitas untuk memahami, beristinbat, dan berijtihad secara mutlak, namun mereka lebih memilih untuk ber-taklid dan mengikat pikiran mereka dengan semua prinsip serta masalah cabang yang ada dalam mazhab. Adapun sebab terjadinya taqlid adalah sebagai berikut:
1. Pembukuan Kitab Mazhab
Dalam pembahasan sebelumnya, kita telah membahas bahwa kebangkitan fiqh Islam telah ditandai dengan telah ditulisnya fiqh Islam serta dijadikan rujukan dalam menjawab semua persoalan yang dihadapi masyarakat sehingga sangat mudah untuk diketahui secara cepat. Sehingga hal tersebut membuat para ulama pada periode ini tidak mempunyai keinginan untuk berijtihad lagi.
2. Fanatisme Mazhab
Para ulama pada masa ini sibuk dengan menyebarkan ajaran mazhab dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha tertentu. Bahkan sampai kepada tingkat di mana seseorang tidak berani berbeda pendapat dengan imamnya, seakan keberadaan semuanya ada pada sang guru kecuali beberapa ulama yang tidak ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al-Kurkhiy dari ulama Hanafiyah, bahkan ada yang berani mengatakan,”Setiap ayat yang bertentangan dengan pendapat mazhab kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau dihapuskan,” termasuk juga hadis Nabi. Inilah bentuk pemikiran yang tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam secara berlebihan, yang kemudian menutup mata mereka dari Ijtihad.
3. Jabatan Hakim
Para khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali kepada mereka yang memang mampunyai kemampuan dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta memiliki kemampuan untik berijtihad dan menggali hukum. Dan manhaj para khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan logika yang dekat dengan kebenaran. Namun , ketika kondisi sosial sudah berubah bersama pergeseran waktu, para khalifah lebih mengutamakan para hakim yang hanya bisa bertaqlid, ikut pada mazhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah. Inilah salah satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim harus mengikuti salah satu mazhab dan tidak melangkahinya.
4. Ditutupnya Pintu Ijtihad
Petaka besar menimpa Fiqih Islam pada periode ini, dimana kesucian ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil Fiqih yang pada akhirnya mereka berbicara tentang agama tanpa Ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad keempat hijriah agar mereka mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah memberi efek yang negatif terhadap Fiqih Islam sehingga menjadi jumud dan ketinggalan zaman. Seharusnya para fuqoha periode ini meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan untuk membantah pendapat ulama gadungan tersebut. Salah satunya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang menyingkap aib mereka didepan orang banyak, dan melarang masyarakat untuk mengikutinya karena fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan dan bukan menutup pintu ijtihad. Andaikan hal ini mereka lakukan , niscaya mereka telah memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan fiqih Islam dan lebih baik dari pada menutup pintu ijtihad sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA
As-sayis, Syekh Muhammad Ali, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995
…………………………………, Tarikh Al-Fiqh al-Islam, Jakarta : Akademika Presindo, 1996
DR. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ ( Sejarah Legislasi Hukum Islam ), diterjemahkan ol eh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A ( Jakarta: Amzah, 2009 )
Jaih Mobarok, Kodifikasi hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002.
Muh, Dr. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, PT. Rajagrafindo Husada, 1996. Cet. 1
Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H, Hukum Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 )
Daud Ali, Muhammad. Hukum Islam (Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: PT. Grafindo Persada. 1999
Harjono, Anwar. Hukum Islam (Keluasan dan Keadilan). Jakarta: Bulan Bintang. 1987
Pulungan Suyuthi. Fiqih Siyasah (Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran). Jakarta: PT. Grafindo Persada. 1999
Zuhri Muhammad, Tarikh Al Tasyri’ Al Islami, Darul Ikhya’, Semarang, 1980