, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Makalah Hak Asasi Manusia, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hak Asasi Manusia
Yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia ialah hak-hak dasar yang dibawa sejak lahir, yang melekat pada esensinya sebagai anugerah Allah swt. Miriam Budiardjo membatasi pengertian hak-hak asasi manusia sebagai “hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadiarannya di dalam masyarakat”
. Sementara menurut Oemar Seno Adji, yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia ialah “hak yang melekat pada martabat manusia sebagai insane ciptaan Allah Yang Maha Esa yang sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun, dan yang seolah-olah merupakan suatu
holy area”
B. Sejarah Penegakan HAM di Barat
Sejarah perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia di dunia Barat baru di mulai di sekitar abad XIII, yaitu ketika pada tahun 1215 Raja John dari Inggris mengeluarkan sebuah Piagam yang terkenal dengan nama “Magna Charta” atau “Piagam Agung”. Di dalam piagam ini memuat beberapa hak yang diberikan kepada kaum bangsawan sebagai buah hasil tuntutan mereka, sekaligus memuat beberapa pembatasan kekuasaan Raja. Magna Charta yang telah dikeluarkan sejak abad XIII tersebut dalam kenyataannya sampai dengan abad ke-17 tak seorangpun mengetahui bahwa ternyata di dalamnya berisi prinsip-prinsip peradilan oleh yuri, surat perintah penahanan dan pengawasan Parlemen atas hak pajak. Mereka sebenarnya tidak mempunyai maksud-maksud demikian, tidak pula mereka tahu apapun tentang konsep-konsep yang dinisbatkan kepada mereka itu. Tegasnya sebelum abad ke-17 orang-orang Barat tidak mempunyai konsep tentang hak-hak asasi manusia dan hak-hak warganegara. Bahkan sesudah abad ke-17, walaupun para filosuf dan pemikir hokum mengemukakan gagasan-gagasan tersebut, namun bukti praktis dan pelaksanaan konsep-konsep tersebut baru bias ditemukan pada akhir abad ke-18, yaitu dalam Proklamasi dan Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis. Sesudah itu, dalam Konstitusi berbagai negera mulai nampak adanya rujukan kepada hak-hak asasi manusia.
Berbagai Piagam dan Deklarasi tentang hak-hak asasi manusia di Barat antara lain:
- First Charter of Virginia tahun 1606 di Amerika
- Ordonance of Virginia tahun 1618 di Amerika
- May Flower Compact tahun 1620 di Amerika
- Habeas Corpus Act tahun 1679 di Inggris
- Bill of Rights tahun 1689 di Inggris
- Pensylvania Privileges tahun 1701 di Amerika
- Declaration of Independence tahun 1776 di Amerika
- Declaration de Droit de’l Homme et du Citoyen tahun 1789 di Perancis
- The Four Freedom of Franklin D. Roosevelt tahun 1941 di Amerika
- Universal Declaration of Human Right tahun 1948 oleh PBB
C. Hak Asasi Manusia Dalam Islam
Perjuangan umat manusia untuk merebut kembali hak-hak asasi yang dibawanya secara heriditer dari tangan-tangan para penguasa tidak saja di mulai sejak Raja John dari Inggris pada tahun 1215, ketika raja memberikan beberapa hak kepada kaum bangsawan bawahannya sebagai hasil perjuangan dan tuntutan mereka. Perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia telah jauh melampaui kurun yang dapat dicatat oleh para sejarahwan.
Perjuangan terhadap hak-hak asasi tersebut telah dirintis dan diperjuangkan oleh para Nabi dan Utusan Allah dengan gigihnya beberapa ribu tahun sebelum Masehi.
Al-Qur’an menegaskan bahwa agama Islam adalah agama yang mengandung ajaran yang sangat sempurna (al-Maidah: 3). Di samping memuat ajaran yang berkaitan dengan hablun min Allah sebagai ajaran pokoknya, Islam juga menegaskan tentang arti pentingnya hablun min an-nas (QS. Ali Imran: 112). Penegasan ini bukan saja semata-mata pengakuan (klaim) secara subyektif dari orang Islam sendiri, akan tetapi secara jujur dan obyektif diakui juga oleh para Orientalis bahwa Islam benar-benar merupakan ajaran hidup yang sangat sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan.
Dalam hubungannya dengan ajaran pokok yang kedua seperti diatas ajaran Islam sangat besar sekali menaruh perhatian terhadap perikehidupan umat manusia. Ibrahim Madkour menyatakan bahwa “Dalam al-Qur’an tidak ada suatu subyek yang paling banyak dibicarakan daripada manusia”
. Al-Qur’an telah menempatkan manusia dalam posisi yang sangat mulia, tinggi dan terhormat (QS. Alam Nasyrah: 4 dan Al-Maidah: 32). Dan terhadap alam semesta manuisa diposisikan sebagai subyek (Al-Baqarah: 29 dan Al-Mulk: 15). Al-Qur’an menempatkan manusia selaku khalifah/wakil Allah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30 dan QS. An-Nur: 55). Dari beberapa penegasan di atas dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya ajaran Islam sangat menaruh perhatian terhadap hak-hak asasi yang dimiliki oleh manusia. Bahkan dapat dikatakan Islam merupakan agama yang paling peduli terhadap harkat dan martabat manusia tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi, jauh melebihi dari lainnya.
D. Perbedaan Konsep HAM antara Barat dan Islam
Menurut A.K. Brohi, dalam tulisannya yang berjudul “Islam dan Hak-Hak Asasi Manusia” menyatakan bahwa “ada sebuah perbedaan penting di dalam sudut-sudut pandangan Islam dengan Barat terhadap hak-hak asasi manusia. Sudut pandangan Barat pada umumnya dapat disebut bersifat antroposentris, dengan pengertian bahwa manusia dipandang sebagai ukuran bagi segala sesuatu, karena ia adalah titik tolak dari semua pemikiran dan perbuatan. Sebaliknya, sudut pandangan Islam bersifat teosentris, sadar kepada Allah. Disini Yang Mutlak adalah yang terpenting, sedangkan manusia itu ada hanya untuk mengabdi kepada Sang Pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Ada, satu-satunya penopang susila, mental dan spiritual manusia, menjamin terwujudnya aspeirasi-aspirasi dan yang memungkinkan transendensinya.
Penegasan adanya perbedaan konsep HAM antara Islam dan dunia Barat dikemukakan juga oleh Roger Garaudy bahwa “persamaan dalam Islam, sebagaimana kemerdekaan yang mempunyai dasar yang berbeda secra radikal dengan apa yang terdapat dalam konsep Barat. Persamaan bukannya sifat-sifat individu yang hidup sendirian, akan tetapi ekspresi dan konsekuensi dari rasa terikat pada Dzat Yang Mutlak, ekspresi dari kehadiran Ilahi dalam jiwa manusia dan kehadiran itulah yang memungkinkan manusia untuk mengangkat diri setinggi-tingginya di atas segala lembaga dan segala kemampuan untuk berkuasa”.
Sementara itu Hasbi as-Shiddiqi menyatakan bahwa masalah hak-hak asasi manusia mungkin bebas dari pandangan-pandangan yang kontradiktif, walaupun kenyataannya – karena issue ini juga berkaitan dengan falsafah yang dianut oleh suatu negera – penafsiran terhadap terma yang digunakan dalam kamus hak-hak asasi manusia beragam dan bahkan bertentangan satu sama lain. Menurut Hasbi as-Shiddiqi, Islam menafsirkan halini lebih beragam karena sumber-sumbernya sama, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
E. Piagam Madinah
Konsep dasar yang tertuang dalam piagam yang lahir di masa Nabi Muhammad saw ini adalah adanya pernyataan atau kesepakatan masyarakat Madinah untuk melindungi dan menjamin hak-hak sesame warga masyarakat tanpa memandang latar belakang, suku dan agama. Piagam Madinah atau Mitsaqu al-Madinah yang dideklarasikan oleh Rasulullah saw pada tahun 622 M, merupakan kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku bagi masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi.
Terdapat dua landasan pokok bagi kehidupan bermasyarakat yang diatur dalam Piagam Madinah, yaitu:
- Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku dan bangsa
- Hubungan antara komunitas Muslim dan non Muslim didasarkan pada prinsip-prinsip:
a. Berinteraksi secara baik dengan sesame tetangga
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama
Menurut ahli sejarah, piagam ini adalah naskah otentik (asli) yang tidak diragukan keasliannya. Secara sosiologis piagam ini merupakan antisipasi dan jawaban terhadap realitas social masyarakatnya. Secara umum sebagaimana terbaca dalam naskah tersebut, piagam Madinah mengatur kehidupan social penduduk madinah. Walaupun mereka hetterogen, kehidupan mereka adalah sama, masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama yang mereka yakini dan melaksanakan aktivitas dalam bidang social ekonomi.
Setiap individu memiliki kewajiban yang sama untuk membela Madinah, tempat tinggal mereka. Dengan demikian, Piagam Madinah menjadi alat legitimasi Rasulullah saw untuk menjadi pemimpin bukan saja kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) tetapi bagi seluruh penduduk Madinah. Secara substansial, piagam ini bertujuan untuk menciptakan keserasian politik dan mengembangkan toleransi sosio-religius dan budaya seluas-luasnya.
Piagam ini bersifat revolusioner, karena menentang tradisi kesukuan orang-orang Arab pada saat itu. Tidak ada satu sukupun yang memiliki keistimewaan atau kelebihan dengan suku lain. Jadi dalam piagam tersebut sangat ditekankan asas kesamaan dan kesetaraan (
equality-egalite).
F. Deklarasi Kairo (Cairo Declaration)
Dalam pandangan negera-negara Islam HAM Barat tidak sesuai dengan pandangan ajaran Islam yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Berkenaan dengan hal itu, Negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI atau Organization of the Islamic Conference (OIC) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syariah Islam di Kairo. Deklarasi tentang HAM yang dikeluarkan oleh OKI yang kemudian dikenal dengan sebutan “Deklarasi Kairo” ini memuat 24 pasal, dan seluruhnya berdasarnya al-Qur’an dan as-Sunah.
Dalam realitasnya HAM yang dideklarasikan di Kairo ini memiliki persamaan dengan The Universal Declaration of Human Rights yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 1948.
G. Penegakan dan Perlindungan HAM di Indonesia
1. HAM dalam UUD 1945
UUD 45 disusun oleh Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo. UUD ini disusun oleh Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada akhir masa Pendudukan Jepang. Dalam suasana Negara dalam keadaan perang, dan lagi pula tenggang masa kerjanya teramat sangat singkat (kurang lebih 10 hari), oleh karena itu dapat dimaklumi kalau UUD 45 hanya memuat 37 pasal yang sifatnya masih sangat umum. Dan untuk mengatasi masalah tersebut hamper sebagian besar pasal-pasanya selalu diakhiri dengan kalimat “…ditetapkan dengan Undang-Undang” atau “…dan diatur dengan Undang-Undang”.
Pembahasan mengenai perlu atau tidaknya hak-hak asasi warganegara dimasukkan ke dalam UUD 45 sebagaimana diatas pada akhirnya tercapai dan dapat dirumuskan melalui semacam kompromi antara kedua belah pihak seperti yang terformulasikan dalam tujuh buah pasal, yaitu pasal 27-33 dan pasal 34 pada UUD 45.
2. HAM dalam Konstitusi RIS
Pada waktu bangsa Indonesia memasuki babakan baru, yaitu ketika Negara Indonesia berbentuk Serikat, maka UUD yang digunakannya adalah UUD yang baru, yang lebih terkenal dengan sebutan Konstitusi RIS. Sewaktu para perumus konstitusi tengah membahas masalah hak-hak asasi warganegara, mereka menyadari sepenuhnya betapa perlunya menuangkan hak-hak asasi warganegara secara lebih terperinci lagi, yang dapat mencakup seluruh aspek hak-hak dasar yang semestinya dimiliki oleh setiap warganegara.
Dengan segala kesungguhannya akhirnya team perumus dapat menformulasikan sebanyak 27 pasal yang berhubungan dengan pengakuan HAM sebagaimana yang termuat dalam Bagian V tentang “Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia”, yang secara berturut-turut termuat dalam pasal 7 sampai dengan padal 33.
3. HAM Dalam UUD-S tahun 1950
UUD-S 1950 pada hakekatnya adalah merupakan penjelmaan dari Konstitusi RIS setelah terlebih dahulu direvisi agar cocok diterapkan dalam bangunan Negara yang berbentuk Negara Kesatuan. Oleh karena dapat dimaklumi kalau pasal-pasal yang memuat hak-hak asasi manusia dalam UUD-S 1950 hampir serupa dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Konstitusi RIS. Bahkan masih ditambah satu pasal lagi, hingga jumlahnya menjadi 28 pasal seperti yang termuat dalam Bagian V tentang “Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia” mulai dari pasal 7 hingga dengan pasal 34.
4. HAM Sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Sesudah Negara Indonesia kembali ke UUD 45 lewat Dekrit 5 Juli 1959, MPRS dalam sidangnya pada tahun 1968 menilai bahwa pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia selama masa Demokrasi Terpimpin sama sekali terabaikan. Berbagai langkah kebijaksanaan pemerintah yang nyata-nyata
telah melanggar HAM selalu saja dinyatakan bahwa apa yang dilakukannya tetap dalam koridor UUD 1945, dalam setiap kebijakannya mereka selalu berdalih
“atas dasar Pancasila dan UUD 45”.Semua itu bias terjadi karena memang “tidak lengkapnya hak-hak asasi dicantumkan dalam UUD yang ada”.
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia ialah hak-hak dasar yang dibawa sejak lahir, yang melekat pada esensinya sebagai anugerah Allah swt. Miriam Budiardjo membatasi pengertian hak-hak asasi manusia sebagai “hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadiarannya di dalam masyarakat”
Berbagai Piagam dan Deklarasi tentang hak-hak asasi manusia di Barat antara lain:
- First Charter of Virginia tahun 1606 di Amerika
- Ordonance of Virginia tahun 1618 di Amerika
- May Flower Compact tahun 1620 di Amerika
- Habeas Corpus Act tahun 1679 di Inggris
- Bill of Rights tahun 1689 di Inggris
- Pensylvania Privileges tahun 1701 di Amerika
- Declaration of Independence tahun 1776 di Amerika
- Declaration de Droit de’l Homme et du Citoyen tahun 1789 di Perancis
- The Four Freedom of Franklin D. Roosevelt tahun 1941 di Amerika
- Universal Declaration of Human Right tahun 1948 oleh PBB
DAFTAR PUSTAKA
Abdul A’la Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam, terjemahan A. Nashir Budiman, Pustaka. Bandung. 1985
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terjemahan Muhammad Rasjidi. Bulan Bintang. Jakarta. 1980
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta. 1977
Roger Gaurady, Janji-Janji Islam, terjemahan Muhammad Rasjidi, Bulan Bintang. Jakarta. 1957
Santiaji Pancasila, Laboratorium IKIP Malang
Ubaidillah, A. dkk, Pendidikan Kewargaan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, IAIN Hidayatullah, Jakarta. 2000