, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Harta Kekayaan dalam Perkawinan, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
A. HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
1. Harta Bersama
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sebagai berikut;
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atua warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari pengertian Pasal 35 diatas, dapat dipahami bahwa segala harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan diluar harta warisan, hibah dan hadiah merupakan harta bersama. Karena itu, harta yang diperoleh suami atau istri berdasarkan usahanya masing-masing merupakan milik bersama suami istri. Lain halnya harta yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebelum akad nikah, yaitu harta asal atua harta bawaan. Harta asal itu, akan diiwarisi oleh masing-masing kelaurganya bila pasangan suami istri itu meninggal dan tidak mempunyai anak. Hal ini berdasarkan Firman Allah surat An-Nisa' (4) ayat 32 sebagai berikut:
wur (#öq¨YyJtGs? $tB @Òsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3Ò÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# c%2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJÎ=tã ÇÌËÈ
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Isyarat dari penegasan ayat diatas, yang dijadikan sumber acuan pasal 85, 86 dan 87 KHI.
Pasal 85 KHI
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.
Pasal 86 KHI
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara hart asuami dan harta istri karena perkawinan
(2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh oelhnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya
Pasal 87 KHI
(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dlaam perjanjian perkawinan
(2) Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, shadaqah dan/atau lainnya
Penggunaan harta bersama suami istri atau harta dalam perkawinan, diatur dalam Pasal 36 ayat 1 UU Perkawinan, yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Lain halnya penggunaan harta asal atau harta bawaan penggunaannya diatur dalam Pasal 36 ayat 2 UU Perkawinan, yang menyatakan bahwa menjelaskan tentang hak suami atua istri untuk membelanjakan harta bawaan masing-masing. Pasal 89 KHI
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri
Pasal 90 KHI
Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.
Pengaturan kekayaan harta bersama diatur dalam Pasal 91 KHI;
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud
(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat-surat berharga
(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oelh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Penggunaan harta bersama, lebih lanjut diatur dalam Pasal 93, 94, 95, 96, dan 97 KHI.
Pasal 93 KHI
(1) Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing
(2) Pertanggungjawaban terhadap utangyang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama
(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami
(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri.
Pasal 94 KHI
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang sumai yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunayi istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat 1, dihitung pda saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat.
Pasal 95 KHI
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat 2 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat 2, suami atau istri dapat meminta pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya
(2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin pengadilan Agama
Pasal 96 KHI
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama
(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama
Pasal 97 KHI
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjng tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2. Pertanggungjawaban Terhadap Utang Suami
Pada dasarnya, salah satu tanggung jawab suami adlaah memberikan nafkah kepada istrinya dan keluarga, baik nafkah lahir maupun nafkah batin (ketenteraman, keamanan) sesuai dnegan kemampuannya. Tanggung jawab dimaksud, dijealskan oleh Allah berdasarkan Al-Qur'an surat a-Thalaq (65) ayat 7 sebagai berikut:
÷,ÏÿYãÏ9 rè 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy ( `tBur uÏè% Ïmøn=tã ¼çmè%øÍ ÷,ÏÿYãù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4 w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) !$tB $yg8s?#uä 4 ã@yèôfuy ª!$# y÷èt/ 9ô£ãã #Zô£ç ÇÐÈ
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Berdasarkan firman Allah tersebut, muncul pertanyaan; Bagaimana kalau suami tidak mampu memberikan nafkah kepada istrinya? Undang-Undang Perkawinan dan KHI tidak menjelaskan permasalahan dimaksud, melainkan KHI hanya menyinggung utang suami secra umum dan tidak menyinggung ketidakmampuan suami memberikan nafkah kepada istrinya. Hal ini tampak dalam keadaan dalam kondisi sosial masyarakat saat ini. Sebagai contoh seorang istri setiap harinya bekerja sebagai pegawai negeri dan menerima gaji pada setiap bulan; sementara suami tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan uang sehingga tidak mampu memberikan nafkah lahir kepada istrinya (suami hanya tinggal di rumah). Sang istri yang menggantikan posisi suami untuk memberi nafkah dan biaya keperluan rumah tangga. Permasalahan ini akan diuraikan sebagai berikut:
1) Kalau suami tidak mampu memberikan nafkah kepada istrinya maka gugurlah haknya untuk melakukan hubungan dnegan istrinya (istimtahubungan suami istri). Alasanya, nafkah merupakan perimbangan kesenangan hubungan suami istri yang didasari oleh ketentuan bahwa istri yang nusyuz tidak berhak menerima nafkah dari suaminya. Kalau tidak ada nafkah maka gugurlah hak untuk melakukan hubungan
2) Kalau suami mendapat kesulitan untuk memberikan nafkah kepada istrinya maka perkawinannya tidak fasakh. Pendapat itu berdasarkan hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oelh Muslim yang artinya: Rasulullah saw dimintai oleh istri-istrinya nafkah, kemudian Abu Bakar dan Umar berdiri menemui Aisyah dan Hafsah, keduanya memegang leher mereka, dan keduanya berkata: "Apakah kalian meminta kepada Rasulullah saw sesuatu yang tidak ada pada beliau" (HR Muslim)
3) Suami yang berada dalam kesulitan, ditahan sebagai pemberian kesempatan untuk mengatasi situasi krisisnya
4) Memberi kesempatan kepada suami untuk berbenah terhadap kewajibannya yang menjadi tanggung jawab
5) Apabila si istri mampu dan suaminya kesulitan maka nafkah dibebankan kepada si istri dan tidak menuntut pembayaran kembali apabila suaminya mampu.
6) Apabila seorang perempuan ketika menikah mengetahui bahwa suaminya dalam kesulitan, atua semula dalam keadaan mampu kemudian karena sesuatu hal bangkrut, maka si istri tidak boleh menuntut fasakh. Namun, bila ia tidak mengetahui sebelumnya, ia boleh mengajukan fasakh.