Advertisement
SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA DALAM PRESPEKTIF SIYASAH ISLAMIYAH
SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA DALAM PRESPEKTIF SIYASAH ISLAMIYAH - Hallo sahabat
Kumpulan Makalah Lengkap, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA DALAM PRESPEKTIF SIYASAH ISLAMIYAH, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel dalam prespektif syiasah Islamiyah,
Artikel kajian perbandingan agama,
Artikel sistem perintahan di Indonesia, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul :
SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA DALAM PRESPEKTIF SIYASAH ISLAMIYAHlink :
SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA DALAM PRESPEKTIF SIYASAH ISLAMIYAH
Baca juga
SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA DALAM PRESPEKTIF SIYASAH ISLAMIYAH
BAB I
- Pendahuluan
Islam dan politik, demikian dua kata ini tidak habis-habisnya menjadi perbincangan (discourse) dalam khasanah intelektual muslim sebagai idea Islam. Dan kenyataan sepanjang sejarah.(Esposito, 1990 : xxi) banyak dari para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), modern dan neo modern, (Azar, 1996 : 75-142) yang mencoba memberikan sebuah penjelasan hubungan antara islam dan politik, dengan beragam cara pendekatan dan metode yang berbeda-beda.
Di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan politik (baca : negara). Aliran pertama berpendapat bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna (kafah) dan lengkap (kamilah) yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh utama dari aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridla dan Ahmad A. Maududi.
Aliran kedua berpendapat bahwa islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-Rasul yang lain, dengan tugas utama mengajak (dakwah) manusia kepada jalan Tuhannya dengan menjunjung tinggi nilai moral, dan Nabi tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Pendapat ini dalam khasanah pemikiran Islam kontemporer diwakili oleh seorang ulama Mesir, Ali Abd ar-Raziq, dalam risalahnya yang sangat ramai diperdebatkan, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Kekuasaan), pernah mengemukakan bahwa Muhammad hanyalah seorang rasul dan juru dakwah, bukan seorang pemimpin negara.
Pemisahan agama dan negara, menurut Swidler misalnya hanya representasi dari pemikiran Kristen. Sementara dalam Islam berlaku penyatuan agama dan negara (Swidler, 1996 : 371). Adapun di kalangan Yahudi lebih cenderung ambigu, meskipun pandangan Swidler ini dapat diperdebatkan, sebab seperti dikatakan Davis, Yahudi lebih menerapkan panyatuan agama dan negara atau politik, sebagaimana mereka menggunakan agama untuk menjustifikasi klaim atas tanah Tepi Barat jalur Gaza sebagai hadiah Tuhan. “ hak (atas tanah) ini diberikan kepada kami oleh Tuhan, ayah Abraham, Isaac dan Jacob”, kata Mencachem Begin (Davis, 1989 : 483-495).
Sehingga Smith membagi pemikiran agama dan politik tersebut secara dikotomis ke dalam tipologi religio-political power organic di satu pihak dan sekuler di lain pihak. Kelompok perspektif organik, mengklaim perlunya penyatuan agama dan kekuasaa karena jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan. Sementara itu kelompok perspektif sekuler, cenderung mengklaim perlunya pemisahan antara agama dan kekuasaan, antara lain untuk tujuan menjaga ke “pari-purna”an agama (Smith, 1978 : 85).
Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap (al-Islam huwa al-Din wa al-Daulah). Tetapi aliran ini pula menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Salah seorang tokoh yang mendukung pendapat ini diantaranya adalah Mohammad Husein Haekal, Fazlur Rahman dan di Indonesia tokohnya Nurcholish Madjid.
Konsekwensi dari aliran ketiga itu, melahirkan pemahaman bahwa istilah Islamic State atau Negara Islam tidak ada dalam al-Quran maupun dalam Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan Negara Islam. Yang ada adalah khilafah, yaitu suatu misi kaum Mislimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah swt., maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya, al-Quran tidak menunjukkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja.
Di Dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Di antara ayat-ayat tersebut mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat, seperti prinsip musyawarah atau konsultasi (Q.S. Ali Imran/3:159; asy-Syura/42:38;), ketaatan kepada pemimpin (Q.S. an-Nisa’/4:59), keadilan (Q.S. an-Nahl/16:90; an-Nisa’/4:58), persamaan (Q.S. al-Hujarat/49:13) dan kebebasan beragama (Q.S. al-Baqarah/2:256, Yunus/10:99, Ali Imran/3:64, al-Mumtahanah/60:8-9).
Dalam tulisan ini akan dibahas secara mendalam tentang elaborasi prinsip musyawarah/konsultasi dalam kehidupan bernegara/politik. Salah satu hal penting yang perlu disorot adalah bagaimana prinsip tersebut dapat diaktualisasikan dalam sistem ketatanegaraan modern yang islami dan demokratis. Prinsip syura diaktualisasikan dengan membentuk lembaga syura (legislatif) yang independen dari kekuasaan yang lain (eksekutif dan yudikatif). Bagaimana kekuasaan legislatif terbangun dalam bingkai moral-etik al-Qur’an? Bagaimana kekuasaan legislatif mendapat tempat dalam wacana politik Islam kontemporer? Dan Bagaimana kekuasaan legislatif dipraktekkan dalam sistem ketatanegaraan yang Islami? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan menjadi pembahsan utama dalam tulisan ini.
BAB II
B. Pembahasan
1. Sejarah dan Pemikiran Politik Islam
Agama, sebagaimana dinyatakan banyak kalangan, dapat dipandang sebagai instrumen Ilahiyah untuk memahami dunia (Bellah, 1991 : 146; Binder, 1988 : 4). Islam, dibandingkan dengan agama lain, sebenarnya merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini. Alasan utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol,. Yaitu sifatnya yang “hadir di mana-mana” (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa “di mana-mana” kehadiran Islam selalu memberikan “panduan moral yang benar bagi tindakan manusia” (Rahman, 1966 : 241). Pandangan itu telah mendorong sejumlah pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang total. Penubuhannya dinyatakan dalam syari’ah(hukumIslam). Bahkan sebagian kalangan Muslim melangkah lebih jauh dari itu:merekamenekankan bahwa “Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkanpemecahan terhadap semua masalah kehidupan”. (Effendy, 1998 : 7)
Dalam konteksnya yang sekarang, tidaklah terlalu mengejutkan, meskipun kadang-kadang mengkhawatirkan, bahwa dunia Islam kontemporer menyaksikan sebagian kaum Muslim yang ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupan sosial, ekonomi dan, politik pada ajaran Islam secara eksklusif, tanpa menyadari keterbatasan-keterbatasan dan kendala-kendala yang bakal muncul dalam praktiknya. Ekspresi-ekspresinya dapat ditemukan dalam istilah-istilah simbolik yang dewasa ini populer seperti revivalisme Islam, kebangkitan Islam, revolusi Islam, atau fundamentalisme Islam (Rahman, 1982).
Pandangan holistik terhadap Islam sebagaimana diungkapkan di atas mempuinyai beberapa implikasi. Salah satu diantaranya, pandanmgan itu telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam secara literer yang hanya menekankan dimensi “luar” (exterior)-nya. Dan kecenderungan seperti itu dikembangkan lebih jauh sehingga , terabaikannya dimensi “kontekstual” dan “dalam” (interior) dari prinsip-prinsip Islam (Effendi, 1998 : 9). Dalam contohnya yang ekstrem, kecenderungan seperti itu telah menghalangi sementara umat Islam untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan al-Qur’an sebagai instrumen Ilahiyah yang memberikan panduan niali-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.
Mengakui syari’ah sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh merupakan suatu hal, sementara memahaminya adalah hal lain lagi. Bahkan dalam konteks “bagaimana syari’ah harus dipahami” inilah, sebagaimana dilihat oleh Fazlur Rahman, terletak persoalan yang sesungguhnya (Rahman, 1966 : 101). Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi dan membentuk pemahaman umat Islam terhadap Syari’ah. Situasi sosiologis, kultural, dan intelektual, atau apa yang disebut Arkoun sebagai “estetika penerimaan” (aesthetic of reception), sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman (Arkoun, 1996 : 199). Sehingga pada akhirnya, kendati setiap Muslim menerima prinsip-prinsip umum yang tertuang dalam syari’ah, pemahaman mereka tentang ajaran Islam diwarnai perbedaan-perbedaan.
Munculnya berbagai madzab fiqih, teologi, dan filsafat Islam, misalnya, menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam itu multi-interpretatif (Hodgson, 1974). Watak multi-interpretatif telah berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam terhadap sejarah. Selebihnya, hal yang demikian itu juga mengisyaratkan keharusan pluralisme dalam tradisi Islam. Karena itu, sebagaimana dikatakan oleh banyak pihak, Islam tidak bisa dan tidak seharusnya dilihat secara monolitik (Effendy, 1996 : 10). Politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejaran Islam yang multiinterpretatif semacam ini. Pada sisi lain, hampir setiap Muslim percaya akan pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan politik. Pada saat yang sama, karena sifat Islam yang multiinterpretatif itu, tidak pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam dan politik dikaitkan secara pas. Bahkan, sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran dan praktik politik Islam, ada banyak pendapat yang berbeda – beberapa bahkan saling bertentangan – mengenai hubungan yang sesuai antara Islam dan politik (Watt, 1960).
Pemikiran politik Islam secara historis terpetakan dalam tiga periode dari awal terbentuknya pemikiran itu sampai sekarang, yaitu periode klasik, pertengahan, dan kontemporer. Pemikiran politik Islam periode klasik dan pertengahan, melahirkan tokoh-tokoh intelektual semacam Ibn Arabi, al-Farabi, al-Mawardi, Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu khaldun. Secara garis besar kesimpulan pemikiran para tokoh itu adalah : pertama, dari enam tokoh, hanya Farabi yang mengadakan idealisasi tentang segi-segi dan perangkat kehidupan bernegara, sedangkan para pemikir yang lain berusaha memberikan sumbangan pemikiran dengan bertitik tolak pada realitas sistem monarkhi yang ada, yang mereka terima masing-masing sebagai sistem yang tidak perlu lagi dipertanyakan kebsahannya. Bahkan diantara mereka ada yang memulai tulisannya dengan terlebih dahulu memberikan legitimasi kepada sistem monarkhi tempat mereka hidup (Sjadzali, 1990 : 108).
Kedua, teori tentang asal mula timbulnya negara dari enam pemikir Islam itu hampir sama, yaitu tampak sekali pengaruh alam pikiran Yunani yang mencoba dikawinkan dengan alam pikiran Islam. Yang berbeda dengan pemikiran Yunani, para tokoh Islam baik secara implisit maupun eksplisit menyatakan bahwa tujuan bernegara tidak semata-mata untuk memenui kebutuhan lahiriyah manusia saja, tetapi juga kebutuhan rohani dan ukhrawi. Ibn ‘Arabi (1970), Ghazali (1975) dan Ibnu Taimiyah (1980) dengan tegas menyatakan bahwa kekuasan kepala negara atau raja, merupakan mandat dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba pilihan. Ketiga tokoh ini perpendapat, bahwa khalifah itu adalah khalifah Allah atau bayangan Allah di bumi. Bahkan kekuasaan khalifah, menurut Ghazali, adalah suci (muqaddas), dengan pengertian tidak dapat diganggu gugat (Ghazali, 1975). Hal ini berbeda dengan Mawardi, yang menyatakan bahwa seorang kepala negara dapat diturunkan dari tahta, jika tidak mampu lagi memerintah, baik disebabkan oleh alasan jasmani, mental dan akhlaq, meskipun dia tidak menunjukan bagaimana penurunan itu dilaksanakan (al-Mawardi, 1973). Dan ketiga, Ibnu Khaldun berpikiran, bahwa lebih baik menggunakan ajaran dan hukum agama (baca : Islam) sebagai dasar kebijakan dan peraturan negara daripada hasil ijtihad (rekayasa pemikiran) manusia (Khadun, 1986 : 189).
Pemikiran politik Islam kontemporer melibatkan para tokoh intelektual Muslim diantaranya ; al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Sayyid Quthb, Ali Abd Raziq, al-Maududi, Muhammad Husein Haikal, dan di Indonesia dikenal antara lain Muhammad Natsir, Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid. Sebagaimana pemikiran politik Islam klasik, pemikiran ini dapat digambarkan secara global sebagai sebuah pemikiran politik yang : Pertama, sejak akhir abad XIX pemikiran politik di aklangan pemikir Islam mengalami pergeseran, dan berkembanglah pluralisme pemikiran tentang Islam dan tatanegara. Para pemikir politik Islam klasik pada dasarnya menerima dan tidak mempertentangkan keabsahan sistem pemerintahan monarkhi yang mereka temukan pada zaman mereka masing-masing, dengan seorang khalifah, sulthan atau raja memerintah atas adsar turun temurun, supra nasionaln dan dengan kekuasaan yang mutlak, berdasarkan prinsip bahwa dia adalah wakil Tuhan di muka bumi (Sjadzali, 1993 : 204).
Pemikiran politik Islam kontemporer pada akhirnya terpetakan dalam tiga kelompok utama, yang masing-masing berbeda nuansa dan variasi pemikiran. Ada kelompok tradisional, yang cenderung anti Barat. Mereka berpendirian bahwa islam tidak sekadar agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi adalah sistem sosial dan politik yang mengatur juga bagaimana mengelola masyarakat dan negara. Kelompok ini diwakili oleh Rasyid Ridla, Sayyid Quthb dan Abu al-A’la al-Maududi meskipun ketiganya tidak selalu sama dalamsegala aspek. Pada intinya pra tokoh ini mengajak kembali kepada pola ketatanegaraan yang pernah dijalankan oleh Khulafau ar-Rasyidin. Tetapi mereka bertiga gagal menyajikan satu konsep utuh yang otentik tentang sistem politik Islam yang dapat dijalankan dalam kehidupan modern saat ini. Yang menarik dari pemikiran mereka selanjutnya – dalam hal ini diwakili oleh Sayyid Quthb dan al-Maududi – yang menyatakan bahwa tidak ada konsep tentang kedaulatan rakyat (Quthb, 1984; al-Maududi, 1985). Bagi mereka, manusia (umat Islam) hanya pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan. Lebih lanjut mereka berpendapat, bahwa hanya orang Islam saja yang memiliki hak sebagai khalifah Allah, oleh karena itu, hak politik untuk memilih dan dipilih sebagai kepala negara atau majlis Syura (legislatif) hanya ada atau dimiliki oleh orang-orang Islam, par exellence.
Kelompok kedua, dengan Ali Abd ar-Raziq sebagai “tokohnya”, sebaliknya juga tidak bisa menyakinkan umat Islam bahwa Islam tidak berbeda dengan agama lain, yaitu tidak mengatur secara detail bagaimana mengelola masyarakat dan negara. Dalam bagian pertama bukunya (al-Islam wa Ushul al-Hukmi), dia menyatakan dengan tegas bahwa pemerintahan menurut Islam tidak harus berbentuk khalifah tetapi satu hal yang perlu diperdebatkan adalah, ketika dia menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw hanyalah seorang Nabi/Rasul yang tidak berbeda dengan nabi-nabi terdahulu dan bukan seorang politikus (dalam hal ini seorang kepala negara). Ulil Abshar Abdalla dalam tulisannya di web site Islamlib.com berpendapat bahwa pemikiran ar-Raziq tersebut berat sebelah, dalam arti Muhammad memang seorang rasul, tetapi lebih penting lagi dia adalah pemimpin suatu komunitas konkret yang menjadi ‘embrio’ sebuah negara di Madinah. Karena itulah, tidak salah seandainya generasi intelektual muslim modern mencoba mencari dalam contoh Nabi di Madinah itu suatu ilham untuk mengelola masyarakat modern. Salah satu kebijakan politik yang sering dianggap sebagai ‘kejeniusan Muhammad’ (‘Abqariyyat Muhammad), adalah ketika dia memprakarsai suatu ‘kontrak politik’ antara umat Islam dan kelompok-kelompok sosial lain di Madinah saat itu. Dokumen kontrak ini, dalam sejarah Islam, dikenal sebagai ‘Mitsaq al-Madinah’ atau Perjanjian Madinah, atau Piagam Madinah (Ulil, 2004).
Kelompok ketiga diwakili oleh Muhammad Husein Haekal, yang menolak pendapat bahwa Islam itu lengkap dengan segala pengaturan bagi semua aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk sistem politik, tetapi sebaliknya tidak beranggapan bahwa Islam tidak berbeda dengan agama-agama lain dalam arti tidak memiliki sangkut paut sedikitpun dengan masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Kelompok ini lebih lanjut berpendapat, walau Islam tidak memberikan preferensi kepada suatu sistem politik tertentu, telah meletakkan seperangkat prinsip atau tata nilai etika dan moral politik untuk dianut oleh umat Islam dalam membina kehidupan bernegara (Haekal, 1983).
Muhammad Abduh, meskipun tidak memiliki konsepsi politik yang utuh, dari pokok-pokok pikiran yang dikemukakan dapat digolongkan dalam kelompok ketiga ini. Dia perpendirian bahwa tidak ada orang atau lembaga yang memegang kekuasaan keagamaan dan mempunyai kewenangan sebagai wakil Tuhan di bumi. Bagi Abduh, seorang penguasa sipil diangkat dan diberhentikan oleh rakyat, dan kepada mereka seorang penguasa bertanggung jawab secara politik dan moral (Sjadzali, 1993 : 208-209).
Sementara para pemikir politik Islam kontemporer di Indonesia yang diwakili antara lain oleh Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid, secara umum mereka berpendapat bahwa tidak ada konsep tentang negara Islam. Dan mereka juga sepakat untuk menerapkan secara maksimal nilai moral-etis al-Qur’an dalam mengembangkan sistem sosial dan politik yang lebih egaliter, demokratis, adil dan manusiawi (Anjar, 2002).
Lebih jauh lagi dalam pandangan Nurcholish Madjid, selain keharusan sebuah pembaruan pemikiran politik Islam Indonesia, Nurcholish juga mengatakan bahwa sebagai masyarakat majmuk dan cita-cita keislaman di Indonesia juga sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya, maka, menurutnya, sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia ini ialah sitem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi yang sekiranya juga akan membawa kebaikan untuk semua masyarakat Indonesia (Nurcholish, 1992 : 52).
Islam, menurut Nurcholish, memang berbeda dengan prasangka banyak orang selama ini, yang seolah tidak menghargai pluralisme. Padahal, orang-orang Arab itu tidak pernah memaksakan suatu sistem monolitik kepada rakyat. Masing-masing kelompok mendapatkan perlindungan dengan kuat, dan diberi hak untuk memempuh cara hidup seperti yang mereka pilih dan terapkan sendiri. Nurcholish mengakui, memang pluralisme sosial dunia Islam tidak sepenuhnya bisa bertahan terhadap perkembangan sejarah – semacam timbulnya gerakan syu’ubiyah, semacam nasionalisme pada abad pertengahan dan diterjemahkan ke dalam bentuk gerakan-gerakan keagamaan yang ekslusivistis. Namun, menurut Nurcholish, prinsip pluralisme dalam Islam itu tetap bertahan secara sehat, malah mengagumkan. Hal ini dapat ditegaskan kembali bahwa agama sendiri, menurut Nurcholish juga tidak mewajibkan kepada umatnya untuk memperjuangkan suatu sistem sosial-politik yang ekslusif. Hal ini ia ungkapkan Sebagaimana berikut:
“…. kiranya dapat ditegaskan bahwa agama itu dalam keasliannya tidak memaksakan atau memperjuangkan suatu sistem sosial-politik yang ekslusif. Gejala ekslusivisme pada sementara orang-orang Islam saat ini dapat dicari keterangannya dalam berbagai kaitan nisbinya, dan jelas bukan sesuatu yang menjadi genius agama Islam. Dalam hal ini kita tidak bisa meremehkan psikologi sebagian kaum Muslim akibat pengalaman hidup dan berjuang melawan kaum imperialis. Pengalaman serupa tidak hanya dimiliki oleh umat Islam,tetapi juga oleh kelompok-kelompok sosial-politik lain termasuk mereka dengan latar-belakang keagamaan dan kebudayaan yang sama dengan kaum imperialis.” (Ibid : 56)
Sistem politik yang didasarkan atas nama agama bagi Nurcholish Madjid, dengan demikian merupakan bukan asli ajaran agama. Namun tidak dapat dilepaskan dari kesadaran historis dan sosiologis yang mempengaruhi emosi umat manusia. Hal ini tidak semata terjadi di dalam umat Islam semata, melainkan juga menjadi gejala umum dan terjdi di semua agama. Atas dasar ini, Nurcholish tidak sepakat dengan sebuah sistem politik Islam yang baku, dan tidak berubah.
Hal ini diakui oleh Amien Rais, bahwa pembicaraan tentang konsep negara Islam di dunia Muslim sendiri merupakan fenomena yang relatif belum terlalu lama (Amien, 1992 : 38). Dalam sebuah seminar yang membahas topik pemikiran politik Islam yang diadakan pada tahun 1982 menyimpulkan: (Mumtaz, 1993) Pertama, dalam rangka menyusun teori politik Islam, yang ditekankan bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda-beda di satu tempat dan tempat yang lain. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin yang dapat berubah-ubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya merupakan prinsip-prinsip umum dalam bernegara secara Islami. Kedua, tercapai kesepakatan bahwa demokrasi merupakan jiwa sitem pemerintahan Islam meskipun mereka sepakat untuk menolak asumsi filosofis “demokrasi Barat”.
Kedua kesimpulan ini senada dengan pendapat Amien Rais, (Amien, 1992 : 44) bahwa “keabadian wahyu Allah justru terletak pada tiadanya perintah dalam al-Qur’an dan Sunnah agar mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyyah). Jika umpamanya ada perintah tegas untuk mendirikan negara Islam, maka al-Qur’an dan Sunnah juga akan memberikan tuntunan terinci tentang struktur institusi-institusi negara yang dimaksudkan. Seperti sistem perwakilan rakyat, hubungan antar badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sistem pemilihan umum (apakah sistem distrik atau sistem proporsional), dan detil-detil lain yang benar-benar terinci. Bila demikian halnya, maka negara Islam itu tidak akan tahan zaman. Mungkin negara itu cocok dan sangat tepat untuk masa 14 abad yang silam, tetapi perlahan-lahan ia akan menjadi usang (out of date), dan tidak dapat lagi memiliki kemampuan menanggulangi masalah-masalah modern yang timbul sejalan dengan dinamika masyarakat manusia, dan pasti tidak akan serasi dengan dinamika sejarah yang terus mengalami perubahan dan pertumbuhan sesuai dengan sunnatullah.”
Namun, menurut Amien, dengan demikian tidak berarti lantas kaum muslimin diperkenankan membangun negara sesuai dengan kemauan manusiawinya sendiri, dan terlepas dari ajaran-ajaran pokok (fundamentals) agama Islam. Bagi Amien, membangun suatu negara yang terlepas dari fundamentals ajaran Islam berarti membangun negara yang sekularistis, yang kehilangan dimensi spiritual dan menjurus pada kehidupan yang serba-material, yang di dalamnya petunjuk wahyu hanya disebut-sebut secara berkala dalam kesempatan-kesempatan tertentu. (Ibid : 44).
Dalam pemikiran Amien, terdapat beberapa catatan fundamentals yang harus ditegakkan oleh umat Islam dalam membangun suatu negara dan masyarakat (Ibid : 46-47). Pertama, negara dan masyarakat harus ditegakkan di atas dasar keadilan (al-‘adalah). Dalam pandangan Islam, pendirian suatu negara harus bertujuan untuk melaksanakan keadilan dalam arti seluas-luasnya, tidak saja keadilan hukum, melainkan juga keadilan sosial dan ekonomi. Keadilan hukum yang menjamin persamaan setiap orang di muka hukum belumlah cukup, karena tanpa keadilan sosial-ekonomi masih dapat timbul ketimpangan-ketimpangan tajam di antara kelompok-kelompok masyarakat. Dalam pandangan Amien, Islam juga tidak membenarkan konsep persamaan kesempatan (equality of opportunity) yang menjadi semboyan kebanggaan liberalisme-kapitalisme. Persamaan kesempatan secara sekilas terlihat bagus, akan tetapi ia justru akan melahirkan ketidaksamaan dan ketimpangan di antara kelas-kelas di tengah masyarakat, karena titik berangkat masing-masing kelas sudah tidak sama. Si kaya akan terus dapat memanfaatkan dan memborong kesempatan ini, sedang si miskin akan mengalami kebangkrutan dan tak mungkin mampu menggunakan kesempatan yang diberikan, lantaran ia memang tidak memiliki apa-apa, kecuali badan dan tenaganya. Maka berdasarkan persamaan kesempatan ini, si kaya akan menjadi semakin kaya, sedang si miskin akan tetap miskin (Ibid : 46).
Pada intinya baik pemikiran Nurcholish maupun Amien Rais mengungkap pentingnya aktualisasi ajaran-ajaran Islam secara utuh dan konsekuen dalam sistem politik Islam sehingga menciptakan suatu kemashlahatan sebagaimana yang dicita-citakan as-siyasah asy-Syar’iyyah. Kuntowijoyo menawarkan -sekali lagi- enam kaidah-kaidah dalam kehidupan bernegara (baca : berdemokrasi), yaitu ; 1) ta’aruf (saling mengenal); 2) syura (musyawarah); 3) ta’awun (kerjasama); 4) mashlahat (menguntungkan masyarakat); 5) ‘adl (keadilan); 6) taghyir (perubahan) (Kuntowijoyo, 1999 : 91-105).
Apa yang ditawarkan oleh Nurcholis, Amien, maupun Kuntowijoyo itu, jika ditarik ke belakang terdapat benang merah yang menghubungkannya dengan pemikiran al-Maududi. Al-Maududi meringkas pemikiran politiknya dalam beberapa bagian. Pertama, Islam adalah agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua aspek kehidupan. Dalam lapangan politik, kekuasaan tertinggi (disebut kedaulatan) ada di tangan Allah, manusia hanya sebagai pelaksana kedaulatan itu. Sistem politik Islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-iakatan geografi, bahasa dan kebangsaan.
Kedua, Sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut demokrasi, karena dalam demokrasi yang berdaulat adalah rakyat, artinya rakyat pula yang berkuasa untuk membuat undang-undang dan mekalsanakan undang-undang itu. Maka al-Maududi menawarkan istilah baru yang dinamakan teo-demokrasi yang artinya adalah kedaulatan rakyat yang terbatas.
Ketiga, kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau badan hukum ; legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Kepala negara merangkap kepala badan eksekutif atau pemerintahan yang bertanggungjawab kepada Allah dan kepada rakyat.
2. Keputusan Majlis Syura (legislatif) pada umumnya diambil atas dasar suara terbanyak, dengan catatan bahwa suara terbanyak dalam Islam tidak mencerminkan kebenaran.
3. Anggota Majlis Syura tidak dibenarkan terbagi ke dalam kelompok-kelompok atau partai-partai.
4. Keanggotaan Majlis Syura terdiri dari warga neraga yang beragama Islam, dewasa dan laki-laki, yang shaleh serta cukup capable dalam menafsirkan dan menerapkan syari’at (Sjadzali, 1993 : 167-168).
Jika dirangkum semua pemikiran para tokoh politik Islam kontemporer, inti dari semua tema dan gagasan yang dikemukakan adalah bagaimana membatasi kekuasaan yang di tangan penguasa sipil dan menerapkan etika-moral Islam dalam kehidupan berpolitik secara utuh. Satu hal yang paling menonjol dalam pemikiran mereka adalah, mutlak adanya lembaga permusyawaratan (syura) sebagai implementasi kongkret dari perintah melakukan musyawarah yang terdapat dalam al-Qur’an. Lembaga Syura (legislatif) mempunyai kekuasaan yang independen dan bebas campur tangan penguasa atau kepala negara bahkan mempunyai fungsi untuk melakukan kontrol terhadap keputusan dan kebijakan yang akan dan telah diambil penguasa atau kepala negara.
2. Prinsip Syura dalam Kekuasaan Legislatif
Ketika ayat ‘Syura’ (Q.S. Ali Imran/3 : 159) turun, Muhammad saw., mengetahui bahwa sistem syura telah menjadi suatu kewajiban yang include dalam tugas-tugas kerasulannya. Dia harus menjelaskan kepada masyarakat tanda-tanda yang diwahyukan kepada mereka (tentang bagaimana syura dilaksanakan). Dalam situasi demikian Muhammad saw. mampu menjelaskan relevansi nilai normatif syura dalam kehidupan sehari-hari umat kala itu dalam bentuk praksis.
Ayat al-Qur’an yang mewajibkan Rasulullah untuk menerapkan syura bukanlah ayat yang pertama tentang masalah itu; ayat tersebut telah didahului oleh ayat-ayat lain yang berbicara tentang hal yang sama. Jika Q.S. Ali Imran/3 : 159 adalah ayat madaniyyah, maka ditemukan ayat syura yang lain dalam ayat Makiyyah. Perbedaan antar kedua jenis ayat ini didasarkan pada fakta bahwa ayat madaniyyah menegaskan kewajiban (obligator),sedangkan ayat Makkiyah tidak (Rahardjo, 2002 : 445).
Menjelaskan fenomena al-Qur’an seperti itu tidaklah sulit. Penjelasannya akan berawal dari persepsi tentang situasi Rasulullah dan umat Islam di Mekkah dan Madinah. Di Makkah, umat Islam adalah minoritas, mereka ditindas, dan seruan (kepada Islam) harus dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi. Situasi yang mereka hadapi menyebabkan mereka tidak bisa membangun institusi-institusi dengan otoritas atau kewenangan legislatif lain selain otoritas Tuhan.
Segala sesuatu berubah di Madinah, di mana umat Islam menjadi pemerintah yang berkuasa. Mereka menjadi kekuatan baru yang berusaha untuk membangun kembali kehidupan dari awal dengan fondasi yang baru, fondasi-fondasi yang didirikan berdasarkan wahyu. Rasul dan para sahabatnya mengembangkan rincian-rinciannya dan membuat legislasi yang didelegasikan Tuhan kepada Rasul dan umat Islam. Situasi di Madinah sudah sedemikian rupa sehingga memungkinkan pendirian lembaga-lembaga legislatif menurut tuntunan al-Qur’an, sehingga Rasul sendiri merasa mendapat mandat untuk membangun lembaga-lembaga tersebut, dan kondisinya sangat memungkinkan di periode Madinah. Maka, Rasulullah mendirikan lembaga legislatif tersebut sebagai respon terhadap al-Qur’an.
Selanjutnya Rasulullah membentuk lembaga legislatif berdasarkan al-Qur’an surat an-Nisa’/4 : 83. Pada Q.S. Ali Imran/3 : 159 mewajibkan Rasulullah untuk membangun institusi syura (lembaga legislatif), lalu Q.S. an-Nisa’/4 : 83, mengkhususkan bidang-bidang kegiatan lembaga ini, yang secara simultan mengkhususkan bentuk kegiatan atau tindakan mana yang harus diambil. Bidang-bidang kegiatan tersebut menyangkut masalah keamanan, ketertiban dan semacamnya. Dan bentuk tindakan yang diambil adalah merujukkan masalah-masalah yang muncul kepada Rasulullah dan Ulul Amri, sehingga dapat diselesaikan masalah-masalah itu sesuai dengan asas kepentingan umum (mashlahah ammah).
Pendelegasian otoritas Tuhan tentang masalah-masalah duniawi kepada umat Islam, dan mereka menerima pendelegasian itu dalam kerangka kemaslahatan umum, dapat membantu memahami maksud ayat al-Qur’an sebagai berikut (Khalaf-Allah, 2003 : 21):
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) sesuatu yang, jika diterangkan kepadamu, menusahkan kamu. Tetapi jika kamu menanyakan ketika al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan apa yang sudah lalu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sebelum kamu dulu sudah ada golongan yang menanyakan hal-hal demikian, lalu mereka menjadi kafir.” (Q.S. al-Maidah/5 ; 101-102)
Ayat tersebut berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa hidup Rasulullah saw. Ketika untuk pertama kali umat Islam datang kepada beliau dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah yang tidak dapat diselesaikan, memintanya untuk menjelaskan pandangan agama mengenai masalah ini. Rasulullah lalu meminta petunjuk Allah dan memohon agar diturunkan ayat yang akan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dan menjawab permintaan mereka. Al-Qur’an kemudian meminta mereka agar berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Rasulullah yang memerlukan wahyu untuk menjawabnya.
Menyerahkan permasalahan-permasalahan kepada umat menyebabkan mereka berkembang dan tumbuh, dan mendorong munculnya perubahan dalam masyrakat. Mengembalikan persoalan kepada langit dan menunggu wahyu yang akan meberikan sebuah titik pandang dalam sebuah masalah tertentu, hanya aanmemberikan keputusan yang konstan dan stagnan, tidak dapat membawa perkembangan dan perubahan.
Dalam banyak hal dan kesempatan, al-Qur’an mewajibkan Rasulullah untuk meminta saran kepada para sahabatnya, untuk memutuskan dengan mereka bagaimana mencapai kepentingan umum, dan untuk melaksanakan putusan tersebut tanpa menunggu wahyu. Dalam hal ini pernyataan Allah “Dan ketika kamu telah mengambil keputusan, bertawakallah kepada Alah” (Q.S. Ali Imran/3:159), berarti : laksanakan keputusan ini tanpa menunggu wahyu Allah. (Khalaf-Allah, 2003 : 23)
Musyawarah, oleh para pemikir modern, dianggap sebagai doktrin kemasyarakatan dan kenegaraan yang pokok, tidak saja karena jelas nash-nya dalam al-Qur’an, tetapi juga karena hal ini diperkuat oleh hadis, serta merupakan sunnah atau keteladanan Nabi (Rahardjo, 2002 : 444). Para pemikir politik modern mengacu kepada bentuk-bentuk musyawarah yang telah berkembang di zaman modern, yang sudah tidak akan ditemukan secara persis contohnya pada awal perkembangan Islam. Misalnya munculnya lembaga legislatif (parlemen) yang belum ada pada zaman Rasulullah sampai zaman pertengahan.
Seorang ahli tafsir Syi’ah, Syekh Abu Ali al-Fadlal, dalam kitab tafsirnya, Majma’ al Bayan fi Tafsir al-Qur’an, dalam menjelaskan asbab an-nuzul Q.S. asy-Syura/42 : 38, mengatakan bahwa kaum anshar telah biasa melakukan musyawarah, jauh sebelum zaman Islam, juga sebelum kedatangan Rasulullah ke Madinah (Ibid : 445).
Pembentukan kekuasaan legislatif dalam sistem ketatanegaraan masyarakat Muslim adalah sesuatu yang menjamin pencapaian tujuan-tujuan legislatif, menurut ayat al-Qur’an “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam semua urusan” (Q.S. asy-Syura/42:38). Pembentukan otoritas yang demikian memungkinkan ditempuhnya berbagai cara dalam menanggapi pertanyaaan-pertanyaan yang banyak yang diajukan oleh umat seraya berusaha untuk mengetahui dasar dan prinsip tentang fondasi-fondasinya yang harus dijadikan pedoman dalam kehidupan umat Islam di dunia.
Pembentukan sistem musyawarah (lembaga legislatif) merupakan salah satu masalah yang pelaksanaannya diserahkan Tuhan kepada manusia (umat Islam). Dan umat Islam sendiri punya kepentingan untuk membentuk seperti itu dalam rangka mengakomodasi berbagai aspirasi yang muncul dari berbagai lapisan anggota masyarakat, karena sekali lagi Tuhan telah mendelegasikan masalah-masalah keumatan untuk diselesaikan oleh umat sendiri tanpa campur tangan dari-Nya. Dan ini adalah prinsip kemurahan Allah atas manusia, sehingga manusia bisa menemukan sistem yang terbaik dan sempurna untuk membangun negara dan menjalankan pemerintahan dengan bijak.
Tak pelak lagi bahwa kekuasaan legislatif telah menjadi mainstream dalam kajian kritis tentang politik Islam kontemporer yang ingin menarik gerbong umat dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan umat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik. Tidak akan pernah ada kekuasaan yang absolut dan mutlak di tangan penguasa sipil di bumi, karena yang absolut dan mutlak itu hanya kekuasaan Allah di langit. Institusi legislatif menjadi tempat orang-orang terpercaya untuk mengontrol kekuasaan eksekutif (penguasa sipil/kepala pemerintahan). Orang-orang terpercara tersebut memiliki kewenangan legislatif sebagaimana yang telah digambarkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’/4:83 :”Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita keamanan ataupun ketakutan, lalu mereka menyiarkannya. Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan mereka yang memiliki otoritas (ulu al-amr) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya”.
Orang-orang yang disebut dalam al-Qur’an “orang-orang yang memiliki otoritas” atau “orang-orang yang berwenang” (those in authority) adalah orang-orang yang berada disekitar Rasul. Institusi Legislatif ini memiliki hak untuk meninjau masalah-masalah dan menarik kesimpulan hukum dalam kasus-kasus tersebut dengan metode (thariqah) interpretasi atas teks (nash) dengan mempertimbangkan pada kemashlahatan atau kepentingan umum (mashlahah ammah).
3. Lembaga Legislatif dan Demokrasi
Lembaga legislatif sebagai penjelmaan konsep syura di zaman modern, apakah dapat ditafsirkan sebagai demokrasi? Masalah ini menjadi ramai untuk diperdebatkan, bahkan sudah dimuali perdebatannya pada era pertengahan. Beberapa masalah yang diperdebatkan adalah : 1) apakah demokrasi Barat itu cocok dengan Islam, 2) dan apakah majlis syura (konsep modern : lembaga legislatif) sama dengan parlemen model demokrasi Barat?, 3) apakah lembaga syura (legislatif) lebih tepat diartikan sebagai dewan pertimbangan atau dewan penasehat bagi seorang penguasa atau kepala negara, 4) apakah seorang penguasa dalam pemerintahan Islam wajib memiliki suatu dewan pertimbangan, dan jika ya, apakah dewan itu ditunjuk penguasa atau dipilih rakyat, apakah bersifat konsultatif saja, atau mandataris? 5) apakah partisipasi rakyat langsung dalam proses politik, misalnya dalam pemilihan kepala negara/pemerintahan diperbolehkan dalam konsep syura? 6) apakah anggota lembaga syura (legislatif) harus dipilih oleh rakyat atau cukup ditunjuk penguasa? 7) Apakah fungsi pokok lembaga syura (legislatif)? siapa yang fit and proper (layak dan patut) menjadi anggota majlis syura, apakah ada kriteria menurut syara’?
Kontroversi di atas muncul, pertama-tama, sebagaimana dikatakan Hamka (1981), karena al-Qur’an maupun as-Sunnah tidak memberikan ketentuan rinci tentang apa bentuk kongkret syura tersebut, bagaimana proses pembentukannya dan apa fungsi dan tugasnya. Suatu bentuk pemerintahan republik yang demokratis memang diisyaratkan dari teladan para sahabt di masa Khulafa ar-Rasyidin, tetapi teladan itu pun mengandung banyak variasi. Sesudah masa itu, bentuk pemerintahan Islam ternyata adalah kerajaan, bahkan monarkhi absolut (Rahardjo, 2002 : 449).
Faktor kedua adalah kenyataan, bahwa pada zaman modern sekarang ini, bentuk dan sistem kenegaraan dan pemerintahan di negara-negara Muslim, tidak semuanya republik demokratis. Sistem monarkhi masih ada di Arab Saudi, Marko, Yordania, Kuwait, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Seandainya telah terbentuk pemerintahan republik, maka konsep yang dipakai lebih banyak diambil dari Barat. Bahkan di negara-negara republik tertentu secara temporal terjadi praktek pemerintahan yang otoriter dan diktator.
Faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah kenyataan bahwa di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, pada umumnya berada di tangan penguasa yang mengekang demokrasi. Ecara formal para penguasa di banyak negara Muslim menolak “demokrasi liberal” atau “demokrasi Barat” yang tidak atau kurang sesuai dengan kepribadian atau niali-niali yang dianut masyarakatnya. Demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi “terbatas” atau demokrasi “terpimpin” dalam satu dan lain bentuk. Dalam situasi demikian, kebebasan mengeluarkan pendapat menjadi sangat terbatas dan para ulama/cendekiawan cenderung membela pendangan resmi penguasa (Rahardjo, 2002 : 450).
Menghadapi fakta-fakta historis dan fakta-fakta yang ada sekarang ini – dari Sunnah Rasul, teladan Khulafa ar-Rasyidin – , timbulnya kerajaan-kerajaan Islam, masih bertahannya pemerintahan-pemerintahan kerajaan di beberapa kawasan Islam, juga dengan melihat kepada negara-negara kerajaan (yang menganut demokrasi-konstitusional parlementer) serta situasi politik di Indonesia sendiri, maka kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim cenderung berhari-hati dalam berpendapat bahwa syura – dalam arti demokrasi populis – meminjam istilah Fazlur Rahman, adalah suatu ketentuan agama. Lembaga syura itu sendiri memang tidak bisa dibantah oleh siapapun, sebagai perintah Allah dan Sunnah Rasul, tetapi bentuk dan sifatnya tidak dijelaskan secara rinci. Dan perinciannya menunggu pemikiran-pemikiran lanjutan dari para pemikir politik Islam kontemporer yang lebih cerdas, jernih dan bijak, semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulum al-Din, Beirut : Dar al-Fikr, 1975
Al-Mawardi, Abu Hasan, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Mesir : al-Halabi, 1973
Al-Raziq, Ali , al-Islam wa Ushul al-Hukmi, Beirut : Maktabah al-hayah : 1966.
Arkoun, Mohemmed, Rethinking Islam : Common Questions, Uncommon Answers, Yudian W. Asmin (Penterjemah), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat, PT Raja Grafindo, Jakarta, 1996
Bellah, Robert, N., Beyond Belief : Essay on Religion in a Post-Traditionalist World, Berkeley and Los Angeles : University of California press, 1991
http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/tag/ulil-abshar-abdalla
.http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/24/kekuasaan-legislatif-dalam-pemikiran-politik-islam. . http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/tag/ulil-abshar-abdalla
Demikianlah Artikel SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA DALAM PRESPEKTIF SIYASAH ISLAMIYAH
Sekianlah artikel SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA DALAM PRESPEKTIF SIYASAH ISLAMIYAH kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA DALAM PRESPEKTIF SIYASAH ISLAMIYAH dengan alamat link http://kumpulanmakalahlengakap.blogspot.com/2012/01/sistem-pemerintahan-indonesia-dalam.html
SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA DALAM PRESPEKTIF SIYASAH ISLAMIYAH