Advertisement
JILBABKU BUKAN MILIKKU Sebuah Kajian Sejarah Dalam Lintas Agama
JILBABKU BUKAN MILIKKU Sebuah Kajian Sejarah Dalam Lintas Agama - Hallo sahabat
Kumpulan Makalah Lengkap, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul JILBABKU BUKAN MILIKKU Sebuah Kajian Sejarah Dalam Lintas Agama, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel jilbab muslimah sejati, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul :
JILBABKU BUKAN MILIKKU Sebuah Kajian Sejarah Dalam Lintas Agamalink :
JILBABKU BUKAN MILIKKU Sebuah Kajian Sejarah Dalam Lintas Agama
Baca juga
JILBABKU BUKAN MILIKKU Sebuah Kajian Sejarah Dalam Lintas Agama
JILBABKU BUKAN MILIKKU
Sebuah Kajian Sejarah Dalam Lintas Agama
Abstrak
Kehidupan muslimah sejatih tidak akan terlepas dari simbol keagamaan yang selalu melekat pada dirinya. Simbol agama tersebut adalah jilbab. Jilbab menjadi ciri tersendiri bagi muslimah sejatih, bagi sebagian orang jilbab adalah cermin kemurnian hati, sehingga anggapan sebagian orang bahwa jilbab adalah milik kita (umat islam), dan setiap yang berjilbab adalah muslim yang shalihah. Seharusnya kita lebih memahami bahwa tidak semua orang islam berjilbab dan setiap yang berjilbab adalah orang islam. Kenapa harus demikian karena sajarah manusia dan dalil tentang itu ada pada setiap agama. Jilbab adalah perintah agama, agama memerintahkan pada setiap pemeluknya untuk menutupi aurat. Setiap agama memiliki dalil dan tradisi, yang mengharuskan setiap pemeluknya untuk mengenakannya, bukan karena mereka berasal dari agama atau kepercayaan tertentu akan tetapi lebih kepada ajaran yang memerintahkan untuk melakukan hal tersebut.
Kata kunci: Jibab, sejarah, dan dalil agama
Pendahuluan
Terkadang tingkat fanatisme terhadap sesuatu membuat kita buta terhadap segala kumungkinan yang ada, apalagi fanatisme dan fundamentalisme terhadap sebuah agama atau kepercayaan-kepercayaan tertentu. Hal ini terkadang membuat kita mengabaikan fakta sejarah yang melatar belakangi datangnya agama dan kepercayaan tertentu. Seringkali kita menganggap bahwa simbol agama yang kita banggakan adalah murni milik kita.
Sikap semacam itu terkadang sulit dihilangkan dalam diri kita. Seperti halnya dengan sibol agama yang menjadi kebanggaan bagi umat Islam khususnya kaum wanita. Segala bentuk simbol yang paling edentik dengan wanita adalah jilbab. Seringkali jilbab disandarkan pada sebuah kewajiban mutlak yang tidak dapat ditawar lagi, dengan berbagai macam argument. Wanita islam harus berjilbab kalau tidak berjilbab bukanlah islam. Padahal islam tidak harus wanita yang berjilbab dan jilbab belum tentu menunjukkan dia islam.
Dengan anggapan sebagian orang yang merasa bahwa jilbab adalah murni kebudayaan islam dan jilbab adalah milik wanita islam, hal tersebut menurut hemat saya justru membuat maslah baru yang bisa saja terjadi, misalnya ketika jilbab di edentikkan dengan islam maka jangan salahkan orang lain yang apabila menuduh kita sebagai teroris karena kita dianggap sebagai penganut islam fundamental.
Alangkah baiknya kita belajar lebih banyak lagi tentang sejarah jilbab agar kita tidak selalu menganggap bahwa jilabab adalah lambang muslimah sejati, bagi saya muslimah yang sejati bukan ditentukan oleh jilbab yang selalu melekat pada diri setiap muslimah akan tetapi, islam yang sejati adalah apabila muslimah mampu membuat jilabab itu bersemayam dalam hatinya sehingga mampu menutupi hatinya dari perbuatan keji dan mungkar.
Alih-alih menganggap jilbab adalah identitas islam, terkadang kita terjebak dalam perdebatan sengit antara umat islam sendiri, dengan alasan bahwa hali itu merupakan perintah Tuhan yang mutlak, dan kalau tidak berjilbab bukanlah wanita muslimah. Hal semacam ini yang kadang membuat kita terjebak dalam sebuah konteks kitab suci yang memerintahkan kepada kita kaum muslim menutupi aurat.
Maka dari itu tulisan ini akan saya ketengahkan untuk membahas masalah tersebut, dengan berusahan memberikan bukti sejarah atau dalil dari agama lain yang membuktikan ternyata jilbab bukan milik muslim.
Untuk menjelaskan masalah tersebut penulis menggunakan metode risert library. Hal ini saya gunakan sebagai cara analisis kritis terhadap beberapa anggapan kalau jilbab adalah lambang islam sejati. Terlebih dengan adanya syarat berpakaian, syarat-syarat pakaian yang wajib dikenakan oleh wanita muslimah sampai dengan mengenakan pakaian yang memenuhi syari’at. Sehingga jadilah wanita muslimah berbeda dengan wanita yang bukan muslimah dan memang seharusnya demikian. Maka dari permasalahan tersebut saya berusaha memberikan jawaban atas permasalahan yang mendasari penulisan ini, yaitu, benarkah jilbab merupakan perintah Tuhan hanya untuk umat islam saja?. Hal ini yang akan coba saya jawab melalui tulisan ini dengan memberikan argumin sejarah dan bukti dalil dari agama lain.
Jilbab Doktin dan Sejarahnya
1. Pengertian Jilbab
Ada dua kosa kata yang dewasa ini dipakai banyak orang untuk makna yang sama. Hijab dan Jilbab. Keduanya merupakan penutup kepala dan tubuhnya, al-Quran sendiri menyebut kata Hijab untuk arti tirai, pembatas penghalang, penyekat. Yakni suatu yang menghalangi, membatasi, memisahkan antara dua bagian atau dua pihak yang berhadapan sehingga satu dengan yang lain tidak saling melihat atau memandang. Islam sebagai agama yang bersifat universal dalam arti mempunyai aturan-aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dimana di dalamnya terdapat aturan/hukum-hukum yang mengatur masalah pakaian baik itu bagi laki-laki maupun bagi perempuan, yang pada intinya pakaian itu baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan digunakan sebagai penutup aurat.
Sehingga yang menjadi permasalahan sekarang adalah manakah batas-batas aurat itu ? Untuk aurat laki-laki sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ahmad, dan Hakim adalah dari pusar sampai dengan lutut. Bagian itulah yang bagi laki-laki harus ditutup sedangkan bagian yang lainnya boleh ditampakkan.
"Dari Muhammad bin Jahsy berkata : Rasulullah lewat di depan Ma'mar kedua pahanya terbuka, maka sabdanya : Hai Ma'mar ! Tutuplah kedua pahamu karena paha itu aurat" (HR. Bukhari, Ahmad, Hakim)
Lalu dimanakah aurat wanita itu? Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dikatakan bahwa aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan hingga pergelangan tangannya.
"Hai Asmaa' ! Sesungguhnya seorang perempuan apabila telah datang waktu haidh, tidak patut diperlihatkan tubuhnya melainkan ini dan ini (Rasulullah berkata sambil menunjuk muka dan kedua telapak tangannya hingga pergelangannya)" (HR. Abu Dawud dari Aisyah r.a).
2. Doktrin Agama
Allah Ta’ala menyuruh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam agar dia menyuruh wanita-wanita mukmin , istri-istri ,dan anak-anak perempuan beliau agar mengulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka. Sebab cara berpakaian yang demikian membedakan mereka dari kaum wanita jahiliah dan budak-budak perempuan. Jilbab berarti selendang/kain panjang yang lebih besar dari pada kerudung. Demikian menurut Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, dan sebagainya. Kalau sekarang jilbab itu seperti kain panjang. Al-Jauhari berkata,”Jilbab ialah kain yang dapat dilipatkan”.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ummu Salamah dia berkata: ”Setelah ayat diatas turun, maka kaum wanita Anshar keluar rumah dan seolah-olah dikepala mereka terdapat sarang burung gagak. Merekapun mengenakan baju hitam”
Az-Zuhri ditanya tentang anak perempuan yang masih kecil. Beliau menjawab menjawab:”Anak yang demikian cukup mengenakan kerudung, bukan jilbab “Tatkala ayat ini turun, maka wanita-wanita Ansharpun keluar rumah sekan-akan diatas kepala-kepala mereka itu terdapat gagak karena pakaian (jilbab hitam) yang mereka kenakan”
Dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad Shahih. Disebutkan pula dalam kitab Ad-Duur berdasarkan riwayat Abdur Razaq, Abdullah bin Humaid, Abu Dawud, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih dari hadits Ummu Salamah dengan lafal:”Tatkala ayat ini turun, maka wanita-wanita Ansharpun keluar rumah seakan diatas kepala-kepala mereka terdapat gagak lantaran pakaian (jilbab) yang mereka kenakan” Kata”Ghurban” adalah bentuk jamak dari “Ghurab” (gagak). Pakaian (jilbab) mereka diserupakan dengan burung gagak karena warnanya yang hitam.
Dari hadits diatas dapat difahami bahwa mengenakan jilbab dengan warna gelap merupakan sunnahnya wanita-wanita shahabiyah dan tentu saja istri-istri Nabi kita yang mulia. Dalil yang lain adalah Hadits Shahih Riwayat Bukhari yang dimasukkan oleh Imam Syaukhani dalam kitabul Libas dimana Rasulullah shalallahu alaihi wassalam memakaikan pakaian warna hitam kepada Ummu Khalid lengkapnya adalah sebagai berikut :
“Dan dari Ummu Khalid, ia berkata: Beberapa pakaian dibawa kepada Nabi diantaranya terdapat pakaian berwarna hitam. Lalu Nabi bertanya: Bagaimana pandanganmu kepada siapa kuberikan pakaian hitam ini?Lalu terdiamlah kaum itu. Kemudian Nabi bersabda :Bawalah kemari Ummu Khalid, lalu aku dibawa kepada Nabi , kemudian ia memakaikan pakaian itu kepadaku dengan tangannya sendiri, dan bersabda:selamat memakai dan semoga cocok! Dua kali. Lalu Nabi melihat kepada keadaan pakaian itu dan mengisyaratkan tangannya kepadaku sambil berkata: Ya, Ummu Khalid, ini bagus, ini bagus (sanna dalam bahasa Habasyah artinya: bagus)”
(HR. Bukhari)
Yang namanya jilbab adalah kain yang dikenakan oleh wanita untuk menyelimuti tubuhnya diatas pakaian (baju) yang ia kenakan. Ini adalah definisi pendapat yang paling shahih (yang paling benar). 3. Sejarah Jilbab
Jika menengok pada sejarah, jilbab sudah hadir saat pra-Islam. Syariat Islam menyebut: ’’Hai Nabi, katakan pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita yang beriman untuk mengenakan jilbab mereka sehingga mereka dapat dikenali dan tidak diganggu’’. Seruan ayat ini bukan tanpa alasan. Tuhan hendak melindungi kaum hawa dari segala perbuatan nista yang kerap dialami, entah dari dirinya sendiri atau dari kaum adam. Dalam teologi Kristen dan Katolik, jilbab dijelaskan dalam relasi sakral manusia dan Tuhan. Para suster gereja kerap mengenakan jilbab sebagai pelindung tubuh dan bermakna sakral. menyebut: Pertimbangkanlah sendiri: patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala tidak bertudung? Bunda Theresa (Agnes Gonxha), salah satu tokoh umat Kristen selalu mengenakan jilbab. Kerap ia mengenakan jilbab bernuansa putih dan sentuhan garis biru. Warna yang dipilih menandai keramahan dan kepeduliannya terhadap sesama.
Agama lain, seperti Buddha dan Hindu juga tak luput dari tradisi berjilbab. Dewi Kwan Im (Avalokitesvara Bodhisattva) digambarkan memakai pakaian suci yang panjang menutup seluruh tubuh dengan kerudung berwarna putih menutup kepala. Atau di India, orang Hindu banyak mengenakan jilbab sebagai pakaian keseharian. Bisa diambil konklusi secara teologis, jilbab merupakan identitas berbagai budaya dan agama. Istilah jilbab di Indonesia pada awalnya dikenal sebagai kerudung untuk menutupi kepala (rambut) wanita. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijâb di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Terlepas dari istilah yang digunakan, sebenarnya konsep hijâb bukanlah ‘milik’ Islam. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijâb seperti tif’eret. Demikian pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani (Kristen dan Katolik) juga ditemukan istilah semakna. Misalnya istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.
Menurut Eipstein, seperti dikutip Nasaruddin Umar dalam tulisannya, hijâb sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi (Yahudi dan Nasrani / Kristen). Bahkan Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa pakaian yang menutupi kepala dan tubuh wanita itu sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM)). (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab bahkan sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Terlepas dari adanya kewajiban memakai jilbab bagi wanita Islam, sejarah mencatat bahwa jilbab sendiri merupakan bagian dari pakaian kebesaran sebagian besar agama, terutama agama-agama besar di dunia. Pakaian penutup kepala yang seringkali digabung dengan pakaian panjang (semacam toga) yang menutupi hampir seluruh tubuh itu bahkan tidak hanya dipakai oleh wanita, melainkan juga dipakai oleh guru-guru (pendeta) agama. Sehingga perdebatan tentang jilbab sendiri menjadi tidak begitu penting, karena faktanya jilbab telah menjadi tradisi dan identitas hampir semua agama. Apapun namanya, jilbab atau penutup kepala dan pakaian yang menutupi sebagian besar tubuh wanita, diakui atau tidak adalah bagian dari tradisi dan ajaran agama-agama. Jilbab merupakan identitas tentang sebuah kebaikan, kesopanan dan ketaatan. Tentu saja jika dikaitkan dengan moralitas secara personal, tetap bergantung pada ahlak pemakainya.
Akar kultural-spiritual menandai jilbab bukan identitas dari agama tertentu. Persoalannya, kebermaknaan jilbab kini terasing dari entitas aslinya. Jilbab sendiri telah menjadi komoditas pasar. Ditambah maraknya iklan dan para artis yang mengenakan jilbab tentu membuat jilbab semakin populer.
Dari konvensi kultural-spiritual, jilbab memiliki ruang yang lebih simplistis. Ia tak lagi dikekang pada aturan agama, tapi lebih elastis dalam bergerak menemukan dirinya. Terbukti dengan tampilan jilbab yang sekarang berkembang dengan segala tampilannya. Kendati demikian, mungkin naif jika hanya mempermasalahkan pasar dalam tataran tertentu. Pada tataran dimensi fungsional, Fadwa El Guindi dalam Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan menulis, jilbab memiliki dimensi material, dimensi ruang, dimensi komunikatif, dan dimensi religius. Pertama, dimensi material berisi pakaian dan ornamen-ornamen seperti jilbab, dalam arti bagian dari pakaian yang menutupi kepala, bahu, dan wajah. Kedua, dimensi ruang, mengartikan jilbab sebagai layar yang membagi ruang secara fisik. Ketiga, dimensi komunikatif, menekankan makna penyembunyian dan ketidaktampakan. Keempat, dimensi religius bermakna pengasingan diri dari kehidupan dunia dan kebutuhan seksual (tidak kawin).
Perempuan berjilbab kerap diidentikan dengan kesalehan dan kesantunan. Saya berpikir, bukan jilbab yang menentukan kesalehan (spiritualitas) pemakainya. Dengan kata lain, niat dalam pengenaan jilbab itu yang lebih berlaku secara fundamental. Hingga akhirnya, di kala terjadi ’’penyelewengan perilaku’’ pada perempuan berjilbab, orang tidak lekas menyalahkan agamanya. Ada relasi lain yang perlu dibuktikan hingga orang tidak lekas menyalahkan. Relasi keimanan seseorang lebih menentukan kebermaknaan jilbab itu sendiri bagi si pemakai. Niscaya jilbab dapat menemukan rohnya kembali dalam tataran fungsional.
Dalil Agama
1. Islam
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# úüÏRôã £`Íkön=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºs #oT÷r& br& z`øùt÷èã xsù tûøïs÷sã 3 c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÎÒÈ
Artinya: “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". ûÓÍ_t6»t tPy#uä ôs% $uZø9tRr& ö/ä3øn=tæ $U$t7Ï9 ͺuqã öNä3Ï?ºuäöqy $W±Íur ( â¨$t7Ï9ur 3uqø)G9$# y7Ï9ºs ×öyz 4 Ï9ºs ô`ÏB ÏM»t#uä «!$# óOßg¯=yès9 tbrã©.¤t ÇËÏÈ
Artinya:“Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”. @è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ ( wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷r& Írr& úüÏèÎ7»F9$# Îöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# úïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàt 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( wur tûøóÎôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøä `ÏB £`ÎgÏFt^Î 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. Mengenai dalil bahwasanya syara’ telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA bahwasanya Asma` binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi SAW dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah SAW berpaling seraya bersabda :
‘Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini (Rasulullah menunjuk muka dan telapak tangan).’ (HR. Abu Dawud).
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi SAW tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi SAW kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :‘Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.’(HR. Ahmad dan Al-Baihaqi). 2. Dalil Kristen
I Kor 11:5 Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya.
I Kor 11:6 Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.
I Kor 11:13 Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung.
I Timotius 2:9 Demikian juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal,
Wahyu 16:15 "Lihatlah, Aku datang seperti pencuri. Berbahagialah dia, yang berjaga-jaga dan yang memperhatikan pakaiannya, supaya ia jangan berjalan dengan telanjang dan jangan kelihatan kemaluannya."
Ulangan 22:5 "Seorang perempuan janganlah memakai pakaian laki-laki dan seorang laki-laki janganlah mengenakan pakaian perempuan, sebab setiap orang yang melakukan hal ini adalah kekejian bagi TUHAN, Allahmu. Imamat 16:4 Ia harus mengenakan kemeja lenan yang kudus dan ia harus menutupi auratnya dengan celana lenan dan ia harus memakai ikat pinggang lenan dan berlilitkan serban lenan; itulah pakaian kudus yang harus dikenakannya, sesudah ia membasuh tubuhnya dengan air.
Bukti Dari Agama Lain
Dalam Islam, memakai jilbab adalah suatu keharusan bagi seorang wanita dengan maksud untuk menutupi aurat. Sedangkan dalam Kristen dan Katolik, pakaian semacam jilbab selalu digunakan oleh para Biarawati dan para Suster.
Bunda Theresa (Agnes Gonxha), salah satu tokoh panutan umat Kristen dan Katolik selalu memakai jilbab dalam hidupnya. Jilbab dengan nuansa putih dan sentuhan garis biru sang Bunda telah menjadi bagian dari keramahan dan kepeduliannya terhadap sesama.
Rabbi Rachel, salah satu Rabbi yang sangat dihormati oleh umat Yahudi juga selalu menggunakan penutup kepala dan longdress dalam kesehariannya, terutama pada saat memimpin prosesi keagamaan.
Bahkan Dewi Kwan Im (Avalokitesvara Bodhisattva) , yang dikenal sebagai Buddha dengan 20 ajaran welas asih, juga digambarkan memakai pakaian suci yang panjang menutup seluruh tubuh dengan kerudung berwarna putih menutup kepala.
Hal yang sama juga dilakukan dalam tradisi orang-orang India yang sebagian besar penganut ajaran Hindu. Pakaian yang panjang sampai menyentuh mata kaki dengan kerudung menutupi kepala adalah pakaian khas yang dipakai sehari-hari.
Demikian juga pakaian orang-orang Eropa dan Amerika sejak abad pertengahan. Pakaian panjang yang anggun dengan penutup kepala yang khas itu tidak hanya dipakai oleh kerabat kerajaan dan kaum borjuis, namun juga dipakai oleh rakyat kebanyakan. Bahkan style fashionera ini telah menginspirasi para perancang busana saat ini untuk dipakai pada acara-acara agung seperti pernikahan.
Begitu juga dalam tradisi masyarakat Jepang dan tradisi-tradisi sebagian besar kelompok masyarakat di bumi yang telah memiliki peradaban.
Faktanya sejak dahulu sampai saat ini jilbab tidak hanya menjadi bagian dari dinamika peradaban, namun telah menjadi simbol kebaikan dan ketaatan terhadap sebuah keyakinan. Hampir semua agama menggunakan dan menghormatinya sebagai simbol pakaian yang agung, meski tidak semua menetapkannya sebagai kewajiban. Fakta ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa jilbab tidak selayaknya dianggap sebagai problem, apalagi dipersepsikan menjadi bagian dari kekerasan. Perdebatan apapun mengenai jilbab hanyalah pepesan kosong tanpa makna.
Dari perspektif tradisi (culture) bersama inilah seharusnya jilbab tidak menjadi penghalang kebersamaan, namun seyogyanya dapat menjadi pemersatu dalam keragaman agama dan budaya. Jilbab semestinya dimaknai sebagai keagungan berbudaya dan bukan sebaliknya. Bagaimanapun jilbab terbukti merupakan identitas dan milik semua agama, sehingga naif jika hanya dikaitkan dengan salah satu agama dan diidentikkan dengan keterbelakangan budaya(eksklusifisme). Akhirya, karena jilbab adalah keniscayaan, bagian dari keagungan budaya, dan diterima oleh semua agama, terlepas kita memakainya atau tidak, mestinya kita bisa menerima keberadaannya kan. Islam adalah agama yg menjunjung tinggi harkat kaum wanita sehingga dalam ajaran Islam terdapat hukum-hukum yg dikhususkan bagi kaum wanita. Salah satu diantaranya adalah aturan dalam berbusana. Syariat Islam telah memberikan batasan-batasan yg boleh dan yg tidak boleh terlihat dari seorang wanita. Islam telah memberikan peringatan serta telah menganjurkan kepada setiap umatnya untuk menutup aurat baik laki-laki ataupun perempuan. Walaupun demikian hal ini jangan lantas membawa kita pada sebuah konsep pemahaman yang fundamentalisme. Sebab ketika konsep ini telah mengakar kuat dalam diri setiap muslim hal ini juga yang akan menimbulkan jastifikasi terhadap kelompok-kelompok tertentu yang apa bila kelempok tersebut tidak memakai jilbab (menutup aurat) akan dianggap orang yang tidak beriman.
Seperti yang telah saya sajikan diatas bahwa jilbab bukanlah sebuah edintitas pemeluk agama meskipun al-Quran sebagai wahyu dari Tuhan dan Hadist Nabi telah menjelaskan tentang kewajiban menutup aurat. Namun hal itu tidak cukup untuk mengklaim bahwa kalau orang yang tidak memakai jilbab, mereka bukanlah orang baik atau bukanlah muslim. Saya bukan mencoba untuk menjadi skuler atau seorang yang antipasti terhadap perintah Tuhan, akan tetapi saya hanya ingin mengajak pembaca untuk berfikir dengan melihat fakta sejarah dan dalil agama. Yang telah menjelaskan kepada kita semua, bahwa jilbab bukanlah edintitas agama tertentu dan bukan merupakan doktrin agama tertentu atau budaya agama tertentu.
Dan apabila kita terjebak dalam satu pemahaman yang membuat kita beranggapan kalu jilbab adalah edintas islam. Terkadang saya merasa geli dan ingin tertawa jika jilbab kita jadikan sebagai edentitas Islam, saya pernah membuka foto-foto orang yang berjilbab maka yang keluar adalah foto Malinda Dee, Maria Ozawa, serta foto-foto yang diatas berjilbab sedangkan dibawah pakai rok mini. Hal tersebut membuat aku tersenyum, jika foto-foto tersebut dilihat apakah kita akan mengatakan bahwa dia Islam sejati dan bagi Maria Ozawa apakah dia telah masuk Islam. Hal tersebut sangat lucu kalau acuan kita seperti itu. Jadi sekali lagi saya bukan orang yang anti terhadap agama akan tetapi saya hanya ingin memberikan sebuah refrensi baru.
Dengan paparan yang telah saya ketengahkan diatas bahwa perintah jilbab ada dalam setiap agama. Sekali lagi saya tidak untuk membuat pembaca menjadi orang yang akan meninggalkan jilab. Jilabab adalah cara untuk menutupi aurat, akan tetapi tulisan ini hanya ingin mencoba menghilangkan pandangan sekeptis terhadap seseorang yang apabila dia tidak memakai jilbab adalah agama dan akhlaknya jelek, sedangkan orang yang selalu berjilbab adalah baik.
Dan jika seorang yang memakai jilbab melakukan kesalahan terhadap ajaran syariat lalu yang dislahkan adalah agamanya. Kita harus memahami bahwa jilbab bukanlah jaminan seseorang menjadi lebih baik dari orang yang tidak memakai jilbab. Sebab apa sekali lagi jilabab bukanlah identitas kesalihan atau penganut agama tertentu. Sebab dalam agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan lain sebagainya memiliki budaya menutupi aurat yang dalam hal ini adalah jilbab.
Dalam paparan diatas telah saya coba ketengahkan bukti-bukti dari dalil setiap agama yang mendukung bahwa setiap agama mempunyai kebiasaan dan mendapatkan perintah langsung dari Tuhan. Saya rasa itu cukup untuk menjadi bahan renungan buat kita semua. Bahwa Islama bukanlah pemilik jilbab yang sepenuhnya.
Penutup
Jibab adalah sebuah keharusan bagi setiap pemeluk agama yang senantiasa menjalankan perintah agamanya, jilab adalah sebuah perintah Tuhan kepada setiap hambanya agar mentup aurat, karena dengan menutupi aurat dapat, Meninggikan derajat wanita, Mencegah dari gangguan laki-laki tak bertanggung jawab, Memperkuat kontrol sosial.
Tuhan memerintahkan untuk menutup aurat kepada hambanya bukan pada masa dimana Islam telah ada sebagai agama penyempurna, akan tetapi perintah itu telah ada jauh sebelum Islam turun sebagai agama yang di ridhai Tuhan. Kita jangan pernah beranggapan bahwa Islam adalah berjilbab dan jilbab adalah Islam. Karena jilbab bukan milik kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Husein. ISLAM AGAMA RAMAH PEREMPUAN. Yogyakarta: LKiS, 2007.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/09/07/158309/Mengembalikan-Roh-Jilbab/ diakses.tanggal/03/12/2011
http://7wolu.blogspot.com/2010/12/sejarah-jilbab-dari-berbagai-negara-dan.html/ diakses.tanggal/03/12/2011
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/09/07/158309/Mengembalikan-Roh-Jilbab/
diakses.tanggal/03/12/2011 http://7wolu.blogspot.com/2010/12/sejarah-jilbab-dari-berbagai-negara-dan.html/ diakses.tanggal/03/12/2011
http://kolom-inspirasi.blogspot.com/2011/09/ternyata-jilbab-bukan-dipakai-agama.html/diakses.tanggal/03/12/2011
Demikianlah Artikel JILBABKU BUKAN MILIKKU Sebuah Kajian Sejarah Dalam Lintas Agama
Sekianlah artikel JILBABKU BUKAN MILIKKU Sebuah Kajian Sejarah Dalam Lintas Agama kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel JILBABKU BUKAN MILIKKU Sebuah Kajian Sejarah Dalam Lintas Agama dengan alamat link http://kumpulanmakalahlengakap.blogspot.com/2011/12/jilbabku-bukan-milikku-sebuah-kajian.html
JILBABKU BUKAN MILIKKU Sebuah Kajian Sejarah Dalam Lintas Agama